Ketiga, isu ketidakakuran antara Mou dengan beberapa pemainnya, salah satunya adalah Paul Pogba. Konon, hal ini menyebabkan ruang ganti dan sesi latihan tak dapat berjalan kondusif bagi persiapan tim menghadapi setiap pertandingan.
Tiga hal yang sebenarnya wajar terjadi bagi setiap klub sepakbola, namun menjadi tidak biasa ketika hal ini terjadi pada sebuah klub sebesar Manchester United. Namun, ada suatu kerugian ketika Manchester United sudah tak bersama Mourinho saat ini.
Yaitu, kehilangan seorang pemilik mental juara.
Setenarnya taktik parkir bus di pikiran gibolers saat ini, namun, jika dilihat apa yang telah dihasilkan oleh Mourinho dari masa awal kepelatihannya sampai musim lalu, adalah gelar juara. Tak tanggung-tanggung, gelar juara domestik di Portugal, Inggris, Italia, dan Spanyol telah berhasil dipersembahkan kepada Porto, Chelsea, Inter Milan dan Real Madrid. Begitu pula dengan kompetisi level Eropa dan Dunia. Bahkan di klub yang sudah berpisah dengannya saat ini; MU, telah diberikan pula gelar Liga Europa (2017) yang sekaligus menjadi tiket ke Liga Champions di musim selanjutnya---2017/18.
Artinya, di balik permainan pragmatisnya, pria Portugal ini dapat membuktikan diri sebagai salah seorang pelatih hebat sampai saat ini. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah sudah tepatkah MU berpisah dengan Mourinho saat ini? Di saat musim kompetisi baru berjalan nyaris setengah musim, dan MU masih berada di kompetisi elit Liga Champions.
Perpisahan Mourinho dengan MU seperti perpisahan antara Arsene Wenger dengan Arsenal. Perpisahan yang berdasarkan kelelahan dalam melihat permainan sebuah tim besar yang tak kunjung memberikan hasil positif dan konsisten sampai akhir musim kompetisi. Perpisahan yang kemudian menjadi solusi paling logis agar suporter dan fans klub tersebut menjadi berharap terhadap adanya perubahan---segera. Sedangkan, perubahan tidak akan selalu dapat berjalan dengan baik.
Guardiola perlu beradaptasi, Antonio Conte (saat itu di Chelsea) perlu beradaptasi, bahkan Jose Mourinho juga perlu beradaptasi ketika kembali ke Chelsea. Namun, dengan adanya kata adaptasi, seperti ada pemakluman bahwa sebuah klub terlihat masih (boleh) tertatih-tatih. Suatu hal yang terjadi pula di Arsenal di musim ini---musim pertama kalinya The Gunners mengganti pelatihnya setelah sekitar dua dekade bersama seorang pelatih yang sama.
Hal ini yang kemudian terjadi pada MU. Sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson, MU sepertinya kesulitan menemukan pelatih yang tepat untuk menjadi suksesor terbaik figur asal Skotlandia tersebut. Namun, selama ini, siapakah pelatih terbaik yang berada di kursi kepelatihan MU?
MOURINHO.
Namun, selayaknya sebuah makanan yang awalnya terasa lezat dan menyehatkan, namun pada akhirnya harus menuju ke masa kedaluarsa.
Mungkin, hal ini juga terjadi pada seorang profesional di sepakbola. Masa-masa keemasan akan mulai memudar seiring berjalannya waktu menuju perubahan yang baru dan gagal diimbangi dengan perubahan pendekatannya---tidak mempelajari hal yang baru dan relevan. Hal ini, tak hanya terjadi pada pemainnya, namun juga dapat dialami oleh para pelatihnya. Seperti masanya Arsene Wenger di Liga Inggris yang (sebenarnya) sudah (lama) memudar, dan mungkin kini, tongkat estafet itu dipegang oleh Jose Mourinho yang mau tidak mau harus mendapatkan gilirannya.