Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ondel-ondel Lumut

19 Desember 2018   15:08 Diperbarui: 19 Desember 2018   15:14 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: bisniswisata.co.id

"Berbaur atau terkunci sampai mati?"

Tidak perlu menjadi warga Jakarta, atau memiliki garis keturunan dari suku Betawi untuk mengetahui Ondel-ondel. Karena, Ondel-ondel merupakan salah satu hasil dari karya seni rakyat Betawi yang kemudian dikenali oleh banyak orang. Hal ini, tak bisa lepas dari fakta bahwa Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia, sehingga informasi tentang Jakarta sangat terekspos. Tak hanya tentang pemerintahannya, namun juga dunia hiburan, termasuk jagad hiburan tradisionalnya.

Namun, jika dibandingkan dengan pengeksposan kabar tentang dunia hiburan modernnya, tentu kabar dari dunia hiburan tradisionalnya, masih cukup minim. Apalagi dengan status kota sebesar Jakarta yang nyaris segala hal tentang sendi perputaran kehidupan masyarakat Indonesia terpusat di sini. Seperti dunia hiburannya. Siapa yang tidak ingin merantau ke Jakarta dan kemudian eksis menjadi selebritis---figur publik di dunia hiburan, papan atas di sana?

Banyak.

Di sinilah kemudian, ranah hiburan di Jakarta semakin didominasi oleh bentuk-bentuk hiburan modern. Hiburan yang tak bisa lepas dengan kesenian ini, pada akhirnya lebih terfokus untuk menghasilkan banyak karya seni yang lebih modern dibandingkan pengenalan kembali kesenian yang sudah dimiliki kota tersebut.

Salah satu bentuk kehadiran kesenian lokal yang dimiliki oleh kotanya Abang-None ini adalah Ondel-ondel. Boneka besar yang di dalamnya ada orang yang memeragakannya ini konon kabarnya sudah ada di tanah Jayakarta sejak lama---mungkin beberapa ratus tahun yang lalu. Sehingga, tak mengherankan, jika Ondel-ondel salah satu bentuk kesenian yang wajib dijaga dan dilestarikan, agar tidak punah.

Bahkan, Ondel-ondel sebenarnya menjadi ciri yang paling menonjol dari sang ibuk ota ketika sendi-sendi kesenian khasnya sudah tergerus dengan pembaharuan. Bahkan sebagai warga non-Jakarta, bisa mengingat Ondel-ondel ketika harus menyebutkan salah satu kesenian tradisional dari Jakarta. Artinya, Ondel-ondel masihlah memiliki pengaruh bagi masyarakat Jakarta termasuk orang asli Betawi.

Lalu, bagaimanakah dengan eksistensinya saat ini?

Jika dibandingkan dengan kesenian yang lain, Ondel-ondel masihlah cukup diperhitungkan eksistensinya. Selain karena merupakan karya seni dari kota setenar Jakarta, juga karena media yang mengeksposnya masih cukup ada, walau bisa dihitung dengan mudah.

Hal ini bisa dibandingkan dengan karya seni tradisional dari kota lain. Misalnya, 'Bantengan' atau 'Topeng Malangan'. Dua kesenian ini masih hanya bisa dinikmati ketika kita pergi ke pelosok desa di Kabupaten Malang, itupun harus menunggu adanya perayaan desa atau memperingati hari besar, seperti Hari Kemerdekaan. Artinya, harus ada panggung khusus dan hanya bisa dinikmati di waktu tertentu.

Apa bedanya dengan Ondel-ondel?

Ondel-ondel kini kabarnya menjadi bahan untuk mengamen di jalanan di daerah ibu kota. Sehinga, menimbulkan perdebatan di berbagai khalayak dengan sudut pandangnya masing-masing. Kenapa?

Pertama, karena ini adalah kesenian tradisional memiliki unsur kebudayaan leluhur Betawi. Sehingga, sangat diperhitungkan nilai-nilai seninya---kesuciannya.

Kedua, karena ini merupakan ranah komersialisasi terhadap seni dan budaya---ditambah dengan berada di jalanan.

Dua poin ini sepertinya menjadi  suatu pemikiran bahwa Ondel-ondel harus berada di panggungnya sendiri. Harus menjadi sebuah karya seni yang memiliki wadah dan tidak untuk dikomersialkan. Apalagi jika komersialisasinya hanya untuk menguntungkan kantong-kantong pribadi, bukan untuk komunitas yang mencoba melestarikan seni dan budaya yang ada di Ondel-ondel.

Tapi, apakah keberadaan Ondel-ondel di jalanan serta-merta akan membuat citra yang negatif terhadap kesenian Betawi? Apakah image ngamen kemudian melunturkan makna dan simbolisasi dari keberadaan dua tokoh di Ondel-ondel tersebut?

Mari kita kembali lagi ke perbandingan dengan seni Bantengan dan Topeng Malangan milik Malang. Kita akan menganggap bahwa seni Bantengan itu eksklusif, karena tidak mudah untuk menonton pertunjukannya---jika anda tinggal di kotanya tentu akan sangat jarang atau bahkan tidak bisa menontonnya. Sekali-dua kali Bantengan dan Topeng Malangan akan hadir di tengah kota ketika memang ada perayaan besar di kota Malang. Namun, selebihnya kita akan mencari informasi terhadap dua kesenian itu dengan harus berkunjung ke desa-desa yang memang memiliki kehidupan yang dekat dengan dua kesenian tersebut.

Artinya, keeksklusifan terhadap suatu karya seni bisa membuat karya seni itu semakin dekat pada kepunahan, dan di sisi lain keeklusifan tersebut membuat kehadirannya menjadi terlihat menarik. Segi menarik inilah yang kemudian kita coba cari pada seni Ondel-ondel.

Apa yang menarik dari seni Ondel-ondel?

Apakah anak kecil bisa mengerti, kenapa Ondel-ondel ada dua, yang satu merah, yang satunya putih?

Kenapa Ondel-ondel memiliki wajah sebesar itu dan membuat anak kecil sering ketakutan?

Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tentang Ondel-ondel yang mungkin akan membuat kita mulai berpikir, bahwa Ondel-ondel memiliki suatu keunikan yang seharusnya bisa menjadi keindahan di masa kini.

Jika melihat Ondel-ondel, sama seperti melihat seni Topeng Malangan dan Bantengan. Ada unsur pewayangan---namun bukan wayang, yang membuat penikmatnya tak hanya melihat apa yang sedang dipertontonkan namun juga filosofinya.

Namun, yang menjadi perbedaan adalah seni Bantengan dan Topeng Malangan cukup dekat dengan ranah koreografi. Suatu hal yang masih mudah dinikmati banyak kalangan sampai saat ini. Hal ini sulit untuk ditemukan saat melihat adanya Ondel-ondel. Siapa yang pernah melihat Ondel-ondel bergerak dinamis---loncat ke sana-ke mari mengikuti irama musik? Tentu saja sulit untuk menemukan hal semacam itu, tapi tak menutup kemungkinan ada yang melihat hal itu terjadi, bukan?

Di sinilah yang kemudian menjadi pertimbangan, mengapa Ondel-ondel mulai 'dilestarikan' dengan cara yang berbeda. Diajak mengamen ke sana-ke mari, kemungkinan tak hanya untuk menjadi pengantar rejeki bagi orang yang memeragakannya. Tapi, bisa jadi ini adalah langkah untuk membuat Ondel-ondel dapat 'berdiri sendiri'. Karena, selama ini Ondel-ondel terlihat mendekati peran sebagai maskot dan pagar bagus/ayu di setiap acara yang ada kaitannya dengan budaya Betawi.

Lalu, di manakah letak keistimewaan Ondel-ondel?

Dan mengapa ada judul artikel Ondel-ondel Lumut?

Bukan suatu kebetulan, namun juga bukan suatu perencanaan bahwa artikel ini berjudul Ondel-ondel Lumut. Namun, penjudulan ini sedikit ada upaya dengan sebuah pemberian makna terhadap eksistensi Ondel-ondel yang berusaha diselamatkan namun masih belum tahu setelah itu diapakan oleh para penyelamatnya.

Dimulai dari Ondel-ondel, yang kita ketahui sebagai boneka raksasa yang didalamnya ada orang pemeraga. Hal ini tak jauh bedanya jika kita melihat maskot yang pada umumnya, bukan?

Maskot event olahraga, maskot tim sepakbola, maskot multi-events lainnya,  dan maskot brand produk smartphone pun sudah dapat kita lihat dan kita kenali. Begitu pula, dengan Ondel-ondel. Kita mengetahui Ondel-ondel layaknya sebagai maskot abadi dari kota Jakarta---dari masyarakat Betawinya. Hal ini yang kemudian sedikit membedakan antara maskot yang biasanya kita temui di berbagai lokasi dengan Ondel-ondel. Hanya, secara penampakan Ondel-ondel tak beda jauh dengan maskot-maskot tersebut.

Lalu, apakah Ondel-ondel tidak bisa seperti para maskot tersebut---dikenal dan dinikmati oleh semua orang termasuk anak-anak?

Seharusnya bisa, hanya, sepertinya terdapat perbedaan esensi dan awal mula keberadaan di antara keduanya. Inilah yang kemudian, menjadi suatu cikal-bakal terjadinya pro-kontra ketika Ondel-ondel kini marak 'turun ke jalan'. Layaknya, seperti seorang guru pertapaan yang akhirnya turun gunung demi menyapa para muridnya dan kemudian mati dikubur bersama muridnya di kuburan yang sama. Artinya apa?

Keberadaan Ondel-ondel yang semakin dikenal rakyat tanpa rakyat harus mengunjungi perayaan khusus berbau kesenian tradisional dan kebudayaan lokal, akan membuat persamaan citra antara Ondel-ondel dengan maskot. Yaitu, sebagai penghibur yang receh dan tidak perlu diketahui apa makna (sebenarnya) dari keberadaannya.

Jadi, apakah Ondel-ondel mau disamakan dengan para maskot---termasuk maskot brand smartphone yang bahkan bisa 'nge-dance'?

Kemudian, kita beralih pada istilah Lumut. Iya, lumut yang menempel di bebatuan atau batu-bata yang lembab. Itulah istilah yang mungkin tepat untuk disertakan pada Ondel-ondel. Mengapa?

Karena Ondel-ondel adalah bagian dari kesenian tradisional yang kemudian menjadi perantara budaya khas setempat---asal dari kemunculannya. Bisa jadi, bahwa maskot yang memiliki usia tua adalah Ondel-ondel. Hal ini selayaknya seperti lumut. Sebuah kehidupan yang lama dan dapat membuat alam menjadi terlihat seimbang. Bahwa unsur kehidupan di dunia ini ada alam yang mati (batu, gunung, air, udara, dan api) dan dapat menyatu dengan alam yang hidup (seperti flora-fauna), salah satunya adalah lumut.

 Lumut adalah bukti nyata dari adanya hasil pertemuan panas, dingin, hujan dan sengatan matahari yang membuat apapun di alam ini yang awalnya kering dan tergerus menjadi lembab dan menghasilkan kehidupan---muncul bunga yang tumbuh dari spora (contohnya bunga Sepatu). Selain itu, lumut tumbuh untuk membuat adanya pendauran kembali dari alam yang mati dan keras tersebut.

Lalu, siapa yang peduli jika lumut punah?

Belum ada.

Namun, puluhan ribu atau jutaan batang pohon yang tertebang setiap bulannya, membuat semua orang panik. Tapi hanya panik. Sedangkan, jika seandainya tak ada lumut, itu justru akan menjadi sangat berbahaya. Karena keseimbangan ekosistem pada alam tandanya sudah terganggu. Artinya, tak ada lagi perjumpaan antara dingin-panas, hujan-kemarau, dan bahkan mungkin siang-malam.

Tapi, kita tidak begitu menghiraukan lumut seperti sikap kita terhadap pohon, bunga dan semacamnya jika mereka punah.
Hal ini sedikit mirip dengan Ondel-ondel. Ketika, dia tidak pernah keluar dari panggung Betawinya, siapa yang peduli? Namun, ketika dia keluar dari panggungnya, semua langsung berbondong-bondong mengucapkan bela sungkawa terhadap mirisnya eksistensi seni-budaya yang mengharuskan mereka untuk dibawa ngamen.

Selayaknya lumut yang membaur di tanah, bebatuan, bahkan di dinding-dinding yang tak terawat, Ondel-ondel bisa jadi akan menjadi lebih menarik ketika dirinya berhasil menjadi maskot yang 'ramah' menyapa rakyat---melebur bersama maskot lainnya yang lebih muda darinya. Memang tak harus nge-dance dan guling-guling untuk mendapatkan perhatian dan tepuk tangan. Namun, dengan keberadaannya di jalanan, itu artinya ada upaya besar---walau beresiko---untuk dapat mempertahankan eksistensi.

Lalu, apakah harus ngamen?

Tentu tidak.

Namun, yang patut diperhatikan adalah adakah panggung yang dapat menjamin Ondel-ondel tersebut untuk tak hanya terjaga dan lestari, namun juga berguna dan mandiri dalam melahirkan pengaruh tersendiri bagi penikmat seni dan budaya tradisional?

#OndelOndelNgamen

Malang,
19 Desember 2018
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun