"Suarakan keluhanmu dengan caramu, bukan cara teman, saudara, atau orangtuamu"Â
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mulai sering melihat sajak-sajak liar mengudara di sosial media milik tokoh-tokoh publik. Selebritis, seniman, sastrawan (profesinya memang untuk bersajak/berkata-kata "indah"), pejabat, pebisnis, sampai politisi.
Sajak atau yang lebih dikenal dengan puisi oleh khalayak umum ini memang bisa menjadi senjata ampuh untuk meraih simpatisan dari masyarakat apalagi warganet---khususnya generasi milenial akhir. Mereka yang terbiasa dengan ungkapan-ungkapan semi galau namun terbumbui dengan maksud terselubung, akan sangat mudah untuk tertarik dengan cuitan-cuitan dari orang-orang yang kemudian dikenal sebagai figur publik.
Termasuk dengan fenomena penyairan yang dilakukan oleh politisi yang kemudian menjadi viral, yang kemudian seolah-olah karya dan penulisnya tersebut sudah dapat disejajarkan dengan para penyair "asli".
Unik, tapi memang itulah yang terjadi. Membuat politisi dan figur publik dari segi pemerintahan mulai terlihat nyambi jadi sastrawan dengan sajak-sajak penuh propagandanya. Apakah itu tidak boleh?
Boleh. Toh, politisi juga manusia, sama seperti mahasiswa-mahasiswa galau dengan masa putus pacarannya atau masa-masa sulit menempuh fase akhir sebagai maba. Mahasiswa basi. Tapi, bukan soal kebolehan dan soal persamaan hak sebagai orang yang boleh bersyair.
Tapi, ini tentang kesucian dari barisan kata-kata yang kemudian disebut secara gampang tanpa bersalah dengan menyebutnya sebagai puisi.
Apakah anda tahu apa itu puisi?
Apakah anda tahu ciri-cirinya?
Apakah anda tahu metodenya?
Teorinya?
Prinsipnya?
Itu yang sangat penting untuk diperhatikan sebelum orang tersebut menulis kata-kata yang kemudian dicap sebagai puisi. Apakah tulisan tersebut sudah layak disebut puisi dan penulisnya disebut penyair?
Joko Pinurbo, Hasta Indriyana, Aan Mansyur, dan penyair lainnya yang kemudian sangat pantas disematkan "gelar" sastrawan saja tak bisa hanya mengandalkan satu dua puisinya untuk kemudian dapat disebut demikian.
Mereka juga tidak menjadikan "anak tangannya" itu untuk melakukan penggalangan massa. Mereka melakukannya untuk mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan, berdasarkan daya tangkapnya terhadap realitas di sekitarnya.
Mereka mencoba melukiskan keindahan dunia dengan bait-bait penuh makna terbaik untuk dapat diketahui oleh para pembaca. Mereka juga mendedikasikan hal tersebut untuk kebaikan negerinya bukan untuk mempengaruhi dan memecah-belah bangsa.