Menjadi persoalannya adlaah lemahnya sumber daya manusia yang mampu memahami persoalan secara khusus dari marga "Mbarapapa" yang membuat rencana ini dapat dijalankan oleh elit dan pengusaha untuk mengeruk sumber daya alam yang tersisa, seolah berjalan mulus tanpa halangan.
Jika kondisi demikian terus saja dibiarkan, hal ini akan berpotensi membuat masyarakat terhegemoni oleh janji manis perusahaan.
Jika sebelumnya pada tahun 2015 ketika sosialisasi awal dilakukan perusahaan menjanjikan kepada masyarakat Wanga bahwa mereka tidak akan menggunakan sumber air irigasi bagi masyarakat tetapi menggunakan sumber air laut dengan menggunakan teknologi Israel.
Namun pada kenyataannya, perusahaan malah mengambil sumber air irigasi masyarakat, bahkan perusahaan melakukan pembendungan pada hulu air.
Tidak hanya sebatas itu, perusahaan pun melakukan pembalakan tegakan-tegakan pohon sepanjang sepadan sungai sumber irigasi rakyat yang berdampak pada menyusutnya debit air. Hingg saat ini janji mereka untuk merubah air laut untuk mensuplai kebutuhan air perusahaan tidak pernah terlaksana. Mereka tetap memanfaatkan sumber air irigasi masyarakat sebagai penopang utama bagi jalannya operasionalperusahaan.
Hal ini tidak bisa didiamkan, rencana pengambilan sumber air di Hutan Mbula merupakan upaya perusahaan untuk memprivatisasi sumber daya air yang dimiliki masyarakat Wanga. Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya sistem ekologi di kawasan hutan mbula, dimana selama ini masih terjaga.
Sumber air yang direncanakan tersebut berada dalam hutan, tentu saja proses pengambilannya akan berdampak pada terganggunya Hutan Mbula. Padahal Hutan Mbula merupakan salah satu mata rantai ekologi yang tersisa di Sumba Timur.
Hutan Mbula merupakan salah satu hutan mangrove yang berstatus hutan lindung. Sehingga tidak dapatdiganggu dengan alasan apa pun.
Penggunaan teknologi dalam kawasan hutan akan berdampak pada terganggunya satwa-satwa yang hidup didalamnya, juga akan menghancurkan tegakan-tegakan dalam upaya pembersihan.
Sumber air ini merupakan satu-satunya yang belum tersentuh oleh siapa pun selama ini. Ini merupakan sumber air terakhir masyarakat setempat yang seharusnya tetap dipertahankan untuk keberlanjutan. Jika pemerintah dan masyarakat setempat tetap memilih diam, maka harapan satu-satunya akan menjadi miliki perusahaan tebu.
Pemerintah harus menegakkan Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan yang menjelaskan bahwa sumber air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya bukan untuk dimiliki perseorangan atau kelompok.