Â
      Segudang persoalan terkait dengan pengakuan masyarakat adat hari ini belum secara serius direspon oleh pemerintah daerah di di NTT. dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat, seperti tercantum dalam pasal 18B ayat (2) menyatakan pengakuan dan penghormatan negara atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
      Selain itu, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat juga terdapat di berbagai peraturan dan perundangan sektoral, sementara undang-undang yang khusus mengatur mengenai hak-hak masyarakat adat belum berhasil disahkan hingga saat ini.
      Dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tanggal 17 Maret 2017 1999, menyatakan bahwa "jika negara tidak mengakui kami (masyarakat adat), maka kami (masyarakat adat) tidak mengakui negara" ini adalah pernyataan keras yang mengakumulasi dari pengabdian negara atas keberadaan masyarakat adat di Indonesia. salah satu syarat dalam peraturan perundangan agar masyarakat adat bisa mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara, adalah adanya peta wilayah adat yang jelas. keberadaan wilayah adat harus dibuktikan dengan peta wilayah adat yang disusun bersama oleh masyarakat adat, harapannya adalah pemerintah daerah wajib untuk mengawal proses ini bersama AMAN.
      Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 angka 43menegaskan kembali mengenai desa dan desa adat sebagai desa kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
      Di dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk melakukan penetapan status tanah ulayat dan penetapan keberadaan masyarakat hukum adat beserta dengan perlindungan terhadap budaya dan kearifan lokal masyarakat adat. Selanjutnya dalam Undang-Undang  Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana dalam pasal 6 menyatakan perlindungan atas identitas budaya hukum masyarakat adat, termasuk hak atas tanah ulayat selaras dengan perkembangan zaman.
Banyak Perubahan Tetapi Belum Banyak Yang Berubah
      Tanggal 16 Mei 2013 merupakan hari penting bagi masyarakat adat karena pada saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terhadap permohonan pengujian undang-undang kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dengan dua komunitas masyarakat adat dari kenegarian Kuntu di provinsi Riau dan kesepuan Cisitu di Provinsi Banten. Putusan dengan nomor putusan MK No. 35/PPU-X/2012 tentang pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan itu kemudian dikenal dengan ptusan MK 35.Â
Putusan MK 35 pada intinya menyatakan bahwa hutan adat yang sebelumnya ditetapkan sebagai bagian dari hutan negara berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan menjadi suatu  kategori hutan yang termasuk dalam hutan hak. keputusan tersebut menjadi dasar yang sangat kuat untuk mengoreksi kesewenangan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini dalam memperlakukan masyarakat adat. Pada intinya dalam putusan MK 35 ada dua isu konstitusional, pertama mengenai hutan adat dan kedua mengenai pengakuan bersyarat terhadap masyarakat adat.
      Sebelum putusan MK hutan adat adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat, setelah putusan MK menjadi Hutan adat adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan adat dikeluarkan dari posisinya dari hutan negara kemudian dimasukkan ke dalam kategori hutan hak. Di dalam putusan MK 35 secara tegas disebutkan dengan cetak tebal bahwa " hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara",kategori hutan hak di dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat.
Â
Harapan Ada di Daerah
       Jika bicara soal adat seringkali di benak orang  hanya pada budaya, bahasa dan istiadat, sedikit sekali menyentuh pada persoalan krusial yang sebenarnya yakni pengakuan hak pengelolaan masyarakat adat (hak ulayat) UU No. 5 Tahun 1960 tentang  Peraturan  Dasar  Pokok-Pokok  Agraria  (UUPA).  Bila  dilihat  rujukan konstitusionalnya, UUPA sebetulnya dimaksudkan sebagai turunan atau pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, khususnya tentang implementasi dari hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam.Â
Dalam konteks inilah UUPA menegaskan, bahwa walaupun pada prinsipnya bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara, namun keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dihilangkan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, hak ulayat masyarakat hukum adat diakui sepanjang kenyataannya masih ada.
       Ketentuan ini terdapat secara khusus dalam Pasal 3 UUPA sebaga berikut:Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
       Persoalan utama yang dihadapi masyarakat adat adalah pewarisan dari zaman kolonial  mengenai domain verklaring (hak negara atas tanah yang tidak dapat dilakukan pembuktian sevara formal) memberi implikasi yang sangat besar bagi pengelolaan tanah-tanah adat oleh masyarakat adat, bahkan di NTT terdapat Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 8 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah. Bab I pasal 1 (3) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan "tanah" ialah tanah bekas pengusaan masyarakat hukum adat/tanah suku. Kemudian pada pasal 2 (1) dinyatakan "tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan sebagai tanah-tanah di bawah penguasaan Pemerintah Daerah cq Gubernur Kepala Daerah. Secara tersirat, terbitnya peraturan tersebut sebagai gambaran semakin berkurangnya hak atas tanah ulayat di bawah penguasan masyarakat hukum adat dengan alasan tertentu, dan berpindah menjadi di bawah penguasan Pemerintah Daerah.
       Dengan perkembangan regulasi yang berlaku di Indonesia saat ini,        beban pengakuan terhadap masyarakat adat terletak pada pemerintah daerah melalui pembentukan peraturan daerah, meski di satu pihak memunculkan persoalan bahwa  sebagian besar pemerintah daerah tidak siap baik karena alasan anggaran, alasan ketidaktahuan tentang perubahan hukum yang tengah berjalan, maupun alasan-alasan yang bersifat politis.
      Masih minimnya implementasi Permendagri No. 52 Tahun 2014 di daerah terkait dengan pemberian tugas kepada pemerintah daerah untuk mempercepat pengakuan terhadap masyarakat adat. Menteri dalam negeri mengeluarkan peraturan menteri dalam negeri No. 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Permedagri ini merupakan kelanjutan dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 552/8900/SJ mengenai pemetaan sosial masyarakat hukum adat yang ditandatangani pada 20 Desember 2013. Permendagri ini pada pokoknya berisi perintah kepada Gubernur, Bupati/Walikota membentuk panitia masyarakat hukum adat (PMHA). Panitia ini bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi, untuk selanjutnya mengusulkan penetapan masyarakat adat oleh Gubernur, Bupati/walikota. Permendagri ini menyediakan prosedur baru dalam melakukan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya.
      Menjadi sangatlah penting kerjasama multi stakeholder untuk melakukan Advokasi perda inisiatif,  Mengingat masyarakat hukum adat Sumba yang  heterogen model regulasinya bisa dilakukan dengan membentuk Perda Penetapan, sebagaimana best practice yang telah dilakukan oleh kawan-kawan AMAN di wilayah lain di bagian Indonesia. Tidu cukup sampai di situ, untuk beberapa daerah  kesatuan masyarakat hukum adatnya sebagai desa adat, sebagai dimaksud UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mendorong regulasi Perda Pembentukan Desa Adat.
Selain itu, persoalan tata kelola air menjadipersoalan krusial di Sumba, mendorong perda hingga perdes mengenai tata kelola air, termasuk Advokasi pemantauan Tata Kelola Hutan,  Lahan termasuk  kawasan pesisir. hal ini akan lebih optimal jika  dibarengi dengan Advokasi Pemetaan partisipatif  wilayah adat (hutan dan pesisir) untuk sinergisitas Indonesia satu peta.
       Hal ini pula diungkapkan oleh Rato (kepala Suku) Nono Buni Kose di Kampung Tabera -Sumba Barat-NTT  yang menyampaikan pesan kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat. Masyarakat Adat Sumba berharap pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota ikut serta mendorong pengakuan wilayah masyarakat adat Sumba secara nyata sesuai ketentuan perundang-undangan.
         Sebuah harapan yang semoga masyarakat adat dapat mengelola wilayahnya sendiri agar tetap lestari, juga tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang dianggap melanggar UU kehutanan meskipun Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014 mengubah ketentuan tindak pidana kehutanan serta capaian penting untuk mengakhiri kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan yang selama ini mengelola dan mempertahankan wilayahnya.  Dalam putusantersbut mengubah pasalPasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan menjadi "Setiap orang dilarang:
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
 i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang,  kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;"Â
Meskipun demikian, masyarakat adat masih memerlukan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui Peraturan Daerah. Berharap hal ini segera direalisasikan oleh pemerintah daerah di wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Deddy Febrianto Holo
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Sumba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H