Saat ini krisis lingkungan hidup di NTT kian mengkuatirkan. Berikut beberapa diantaranya fakta krisis daya dukung lingkungan hidup WALHI NTT.
1.Setiap tahun berdasarkan analisis data krisis air dari BPBD, ada 10-15 persen desa di NTT krisis air. Analisa Krisis Air oleh WALHI NTT didasarkan pada Tata Kuasa, Tata Kelola, Tata Produksi hingga Tata Konsumsi, 70 persen kawasan di NTT mengalami krisis air hingga akhir 2017.
2.Saat ini NTT menjadi Propinsi dengan angka impor sektor konsumsi tertinggi di Indonesia yakni mencapai 82 persen. Angka yang dirilis Bank Indonesia Ini menjelaskan bahwa untuk urusan sektor konsumsi, NTT hanya mampu menopang 18 persen dari kebutuhan konsumsi seluruh penduduk NTT. artinya juga bahwa ada masalah serius dengan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di NTT
3.Makin menyusutnya jumlah tutupan hutan di Nusa Tenggara Timur akibat ilegal logging dan pembangunan yang tidak pro perlindungan hutan. contoh kasus Pulau Sumba yang pada periode awal hingga pertengan 1990-an memiliki kawasan hutan hingga 57 persen kini faktualnya tidak lagi mencapai 10 persen dari luas pulau.
4.Meningkatnya urbanisasi (umumnya menjadi TKI/TKW) akibat dari minimnya daya dukung lingkungan bagi warga untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Alhasil warga memilih untuk meninggalkan kampung secara legal maupun ilegal untuk bekerja di luar. Potret ini makin memburuk manakala menempatkan NTT sebagai salhsatu daerah dengan Human Traficking tertinggi di Indonesia.
5.Investasi pariwisata, pertambangan dan perkebunan skala besar telah menjadi ancaman bagi wilayah kelola rakyat di NTT. data terkini ada 317 ijin tambang di NTT yang menjadi ancaman nyata bagi daya dukung lingkungan hidup di NTT dan menghabisi wilayah kelola rakyat seperti kawasan bertani, kawasan penangkapan ikan hingga peternakan. WALHI NTT mendapati kasus dimana industri pariwisata telah membuat banyak nelayan di Sumba, Flores, Timor tidak punya akses pada beberapa kawasan pesisir karena telah diprivatisasi. Â
Secuil Potret tersebut bagi WALHI NTT adalah  bentuk darurat ekologis. Sebuah Situasi kegentingan yang diakibatkan hilangnya keseimbangan ekologis, di mana ekosistem setempat maupun global kehilangan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Darurat ekologis yang semakin massif memperparah kondisi warga masyarakat yang secara struktural sudah termarjinalisasi, seperti kelompok petani dan nelayan kecil dan tradisional, masyarakat adat dan masyarakat lokal serta perempuan dan anak-anak. Hal ini lebih lanjut mengancam kedaulatan warga atas kebutuhan dasarnya, seperti pangan, air dan energi.
Pembangunan menjadi wajah yang buram, bukan hanya mengeksploitasi alam, tetapi juga mengeksploitasi kelas pekerja, membuat rakyat bukan hanya kehilangan tanah dan air  serta ruang hidupnya karena dirampas, tetapi juga kehilangan budayanya karena hilangnya ikatan tenurial atas tanah dan alamnya. Krisis sosial budaya terjadi karena proyek-proyek pembangunan dan perluasan modal telah meluluhlantakan basis sosial dan kebudayaan rakyat di NTT. Ambruknya sistem kebudayaan rakyat menjadikan rakyat tak mampu melakukan reproduksi sosial bagi keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai, bahwa selama ini penyebab krisis ekologis di NTT karena pemerintah hanya melihat kekayaan alam hanya sebagai komoditas tanpa pernah mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan, serta mendelegasikan seluruh penguasaan dan pengelolaan kekayaan alam kepada korporasi skala besar.Â
Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, rakyat dan alam hanya dijadikan objek, sehingga pemerintah justru melegitimasi praktik perampasan tanah, air dan seluruh sumber-sumber kehidupan rakyat atau sumber-sumber agraria. Salhsatu petunjuknya yakni kebijakan lingkungan hidup yang tidak berpihak pada penguatan dan pemulihan lingkungan hidup NTT. WALHI NTT mencatat bahwa anggaran untuk lingkungan hidup di lingkup propinsi NTT pada 2017 hanya mencapai 0,25 persen dari total PAD NTT yakni 3,8 triliun pada tahun 2016. Padahal PAD tersebut, salahsatu penyumbang terutamanya adalah dari sektor pertanian. Sektor pertanian tentu saja sangat bergantung pada daya dukung lingkungan, bukan. Â Â
Di sisi yang lain, berbagai inisiatif-inisiatif rakyat di dalam mengelola kekayaan alamnya dengan berbagai pengetahuan dan kearifan lokal yang dimilikinya tidak diakui oleh negara, bahkan berbagai pengetahuan dan kearifan lokal tersebut turut dihancurkan melalui mesin-mesin modernisme. kelompok perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak.