Saat berbagai industri strategis seperti pariwisata, maskapai penerbangan, manufaktur dan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) terjun bebas di masa pandemi Covid-19, industri pertanian muncul sebagai pahlawan ekonomi nasional.Â
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal pertama di tahun 2020, sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebanyak 2,2%. Tren positif itu berlanjut di kuartal kedua, ketiga dan awal kuartal keempat masing-masing pada angka 2,16%, 2,59% dan 2,95%.
Jauh sebelum pandemi, kejadian mirip pernah terjadi pada krisis 1998. Amatilah data saat itu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13, 68%. Krisis perbankan begitu akut. Jumlah masyarakat miskin meningkat tajam. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangat lemah. Namun, sektor pertanian tetap berdiri kokoh. Dan ibarat diguyur hujan emas, harga pangan di pasar internasional ketika itu melambung tinggi.
Dua fenomena ini---meski tak sepenuhnya identik---harus membuat kita sadar akan satu hal. Nyawa negeri ini ada di sektor pertanian! Ini bukan isapan jempol semata.Â
Sejarah menjadi saksi bagaimana ngototnya Belanda dan Jepang menjajah dan tak mau melepaskan ibu pertiwi. Semua karena lahan pertanian kita yang tidak hanya luas tapi juga begitu subur. Maka tak berlebihan ketika Koes Plus dalam lagu 'Kolam Susu' memuji kekayaan alam Indonesia lewat penggalan lirik "Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan batu jadi tanaman."
Dengan kondisi geografis yang sangat menguntungkan itu seharusnya Indonesia bisa menjadi negara adidaya. Sayangnya kita belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.Â
Betapa tidak, sampai hari ini kita bahkan masih terus mengimpor beras---untuk sekadar memberi satu contoh sederhana dari kompleksnya masalah pertanian kita.Â
Jumlahnya pun tak main-main: 2 juta ton untuk tahun 2023. Yang lebih ironis, impor beras terbesar Indonesia berasal dari dua negara tetangga: Thailand dan Vietnam. Luas wilayah kedua negara itu secara berturut-turut adalah 513, 120 km2 dan 331, 690 km2. Bandingkan dengan luas wilayah nusantara yang mencapai 1.922.570 km2.Â
Sejumlah Masalah
Ada yang salah dengan tata kelola pertanian selama bertahun-tahun. Persoalan pertama misalnya perihal industri pertanian yang mengalami pertumbuhan positif di saat ekonomi terkontraksi -2,07% di masa pandemi.Â
Saat itu, bahkan terjadi lonjakan penyerapan tenaga kerja pertanian hingga mencapai kisaran angka 5 juta jiwa. Masalahnya, ketika pandemi berakhir dan ekonomi berangsur-angsur pulih, jumlah tenaga kerja tadi menurun sebanyak 1,65 juta pada Agustus 2021. Kembalinya orang-orang yang sempat banting setir menjadi petani kepada profesi lama mereka ditengarai menjadi penyebab.