Mohon tunggu...
Fery Deddy Fahriza
Fery Deddy Fahriza Mohon Tunggu... Lainnya - Music is my soul

Without deviation from the norm, progress is not possible by Frank Zappa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Semua Orang Sama di Mata Hukum" Itu Omong Kosong

7 Oktober 2021   17:24 Diperbarui: 7 Oktober 2021   17:26 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seimbang dalam hukum. Sumber foto: Aerial Mike/Shutterstock.com

Apa yang ada di bayangan kalian ketika mendengar kata seorang pengusaha? Hidup berkecukupan? Mempunyai kendaraan bagus? Selalu tampil modis dengan tren fesyen terkini?

Kehidupan seorang pemilik usaha senyatanya tidak seindah yang tergambarkan di dalam cerita sinetron kecintaan ibu-ibu. Berangkat pagi, pergi ke kantor, lalu meeting, kemudian pulang. Ya, siklus makmur. Visualisasi makmur dari sinetron tersebut lantas serta-merta menjadi stigma dari kita kebanyakan. Kamu salah satunya kan?

Namun, di balik hal tersebut risiko akan penjegalan kesuksesan dalam berusaha atau berbisnis akan selalu ada, tidak hanya datang dari kompetitor bisnis, bahkan dari sebuah sistem yang "disalahgunakan" oleh "oknum" di dalam suatu negara.

Acapkali dan bukan hal baru, pengusaha kerap mendapatkan kesulitan ketika merintis atau sekadar menjalankan kegiatan berbisnis yang lurus-lurus saja.

Indikator Politik Indonesia pernah melakukan sebuah survei. Dan, hasil survei tersebut menyatakan bahwa 44% responden yang terdiri dari pengusaha di tujuh bidang dari empat skala usaha, menganggap aturan yang terkait dengan bidang usaha mereka saat ini justru mempersulit kegiatan berbisnisnya.

Kesulitan ini mayoritas dikarenakan birokrasi kejam terhadap pengusaha-pengusaha. Dari mulai pungli, pemerasan, hingga pemalakan bagian aset usaha. Tentu, hal ini merugikan pengusaha.

Seperti yang terjadi kepada seorang pemilik usaha yang satu ini. Seusai dinyatakan menang secara yurisdiksi dalam perkara dengan pemerintah setempat perihal izin usaha di beberapa tahun lalu, dirinya tidak bernafas lega namun malah tercekat! Izin usahanya dipermasalahkan kembali, hingga dilanjutkan dalam persidangan di 'tempat lain'.

Hasilnya, dua pilihan diberikan kepada pemilik usaha tersebut. Pilihan yang sungguh dilema. Pertama, izin usahanya akan dicabut. Kedua, harus ada "bagi-bagi" ke sejumlah pihak. Kedua pilihan ini tidak ada yang menguntungkan dirinya, ditambah pihak penguasa yang menginginkan bagian sangat besar juga terus menekan dirinya. Alhasil, posisi auto kejepit dialami pemilik usaha tersebut. 

Kasus lainnya, melansir dari Tribunnews.com, pernah ada suatu cerita bahwa perusahaan tambang bebatuan mendapati dirinya diperas oleh "oknum" pejabat di salah satu kementerian apabila ingin kegiatan berbisnisnya lancar dan perizinan dipersetujui.

Tidak tanggung-tanggung, pungli (pungutan liar) yang diminta oleh pejabat tersebut mencapai ratusan juta! 

Tidak hanya di sektor berat seperti industri, cerita lain datang dari pengusaha kecantikan di DKI Jakarta. Melansir dari Suara.com, pengusaha tersebut bercerita bahwa dirinya diperas oleh pejabat sipil perihal perubahan status wilayah yang berdampak ke izin usaha.

Para pengusaha yang dipersulit oleh penguasa negara ini bukannya tidak mau melapor, tetapi seperti yang pernah dikatakan oleh Komisioner Ombudsman RI Dadan Suparjo, melapor pun, apalagi jika yang memerah dirinya adalah petinggi negara, tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan malah menambah persoalan di kemudian hari.

Padahal, sejatinya semua orang mendapat perlakuan yang sama di mata hukum, terlebih jika orang tersebut membuka usaha yang bisa memberikan kontribusi ke laju perekonomian Indonesia. Pengusaha mempunyai hak untuk mendapat perlindungan hukum dan membela diri sepatutnya dalam penyelesaian hukum sengketa jika menilik UU nomor 8 tahun 1999 pasal 6.

Jika pungutan liar, pemerasan dan penjegalan kepada pengusaha masih dipelihara di negara kita, bagaimana perekonomian bisa maju? Apakah negara kita perlahan diam-diam meninggalkan demokrasi dan beralih ke oligarki, di mana kendali pemerintah dipegang oleh kelompok elite demi kepentingan mereka sendiri?

Sesederhana ini, betapa sulitnya dewasa ini menjalankan usaha/bisnis yang hanya sedikit menghormati para pemangku kepentingan. Jadi, bagaimana cerita indah dalam sinetron yang kamu tonton? Siap masuk dalam sikus makmur? Atau, kamu malah berpikir ulang kembali? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun