Peran dari industri pertambangan mineral serta energi dalam transformasi ekonomi Indonesia rupanya terhitung penting. Terlebih, Indonesia memiliki cadangan nikel yang luar biasa. Berbekal hal tersebut Indonesia dapat percaya diri menyongsong era mobil listrik.
Oleh sebab itu, pamor nikel menjadi terkerek di Indonesia karena adanya dukungan dari pasar global yang akan segera berganti ke transportasi tanpa emisi karbon tersebut. Pasalnya, logam tersebut merupakan bahan baku dari pembuatan baterai mobil listrik.
Nikel merupakan komponen kunci untuk varian mobil listrik (Battery Electric Vehicle/BEV) sebagai sumber energi lebih kurang 40ri cost untuk EV. BEV menggunakan tipe baterai lithium ion nikel, kobalt, litium, mangan dan aluminium digunakan sebagai bahan baku material katoda. Seluruh jenis mobil listrik tersebut membutuhkan baterai yang dapat diisi ulang (rechargeable battery) sebagai salah satu komponen utamanya.
Maka dari itu, pada era mobil listrik kali ini, Indonesia menjalankan program hilirisasi dan industrialisasi dalam memproduksi barang mentah menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi. Hilirisasi bisa menjadi kunci utama dari peningkatan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Di era mobil listrik yang makin moncer, industri Pertambangan Mineral dan Energi Indonesia nantinya akan membutuhkan banyak bijih nikel yang harus diolah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Rancangan ini sudah masuk ke dalam Perencanaan Strategis Indonesia dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 16 Tahun 2020.
Mengapa Indonesia dengan percaya diri turut menyongsong era mobil listrik di masa depan? Hal ini disebabkan Indonesia menguasai 27% nikel dari pasokan dunia. Produk ini termasuk bentuk produk hulu bijih nikel sebesar 50 juta ton per tahun, maupun produk hilir seperti ferro nikel (FeNi), nickel pig iron (NPI), nickel matte sebanyak 907 ribu ton.
Pada tahun 2018 dan 2019, Indonesia merupakan produsen tambang nikel terbesar di dunia dan setara 800.000 ton dan pada akhir tahun 2020 sebesar 648 juta ton nikel mempunyai sumber bahan baku terbesar untuk dimurnikan di dalam negeri dibanding negara-negara lain penghasil bijih nikel seperti negara Filipina, New Caledonia, Rusia, Kanada dan Australia, China, Brazil dan Kolombia.
Melihat potensi cadangan yang besar tersebut di atas dan wilayah greenfield bijih nikel yang masih luas, serta peluang industri hilir penggunaan nikel ini masih dibutuhkan. Dengan demikian Indonesia akan menjadi negara yang menarik untuk dilakukan pengembangan investasi pada sektor pertambangan pada sektor pertambangan bijih nikel.
Tidak heran pada akhir tahun 2020, LG Chem Ltd membenamkan investasi terbesar pasca reformasi, yakni Rp142 triliun di Indonesia. Rencananya perusahaan asal Korea Selatan ini hendak membangun pabrik baterai.
Hilirisasi smelter nikel menjadi penting karena menghasilkan nilai tambah ekonomi 10 kali lipat dibandingkan menjual bijih nikel mentah. Pada tahun 2020, pemerintah masih dalam tahap pembangunan dan mempersiapkan infrastruktur. Sehingga pada tahun 2024, Indonesia menargetkan akan membangun memasok bijih nikel yang diproduksi sebanyak 71,4 juta ton dan untuk diolah dalam negeri mencapai 52,14 juta ton. Hal ini bertujuan untuk mencapai ketahanan energi nasional dan memastikan produksi dalam negeri agar memenuhi kebutuhan di Indonesia maupun ekspor.
Sedangkan dalam penyediaan baterai mobil listrik di Indonesia, Presiden Joko Widodo melalui PERPRES No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan, mengharapkan kedepannya Indonesia dapat berperan strategis pada industri kendaraan listrik karena ketersediaan bahan baku dan juga pasar domestik untuk mobil dan sepeda motor.