Salah satu wakil rakyat pernah bersuara. "Wakil rakyat Indonesia" jargonnya. Dirinya berceloteh tentang perusahaan smelter yang merugikan penambang-penambang kecil. Kehadiran beleid harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara menjadi landasannya.
Meski HPM sudah berlaku sejak bulan Mei 2020 sebagai acuan jual-beli antara pihak penambang dan perusahaan smelter, wakil rakyat tersebut merasa masih banyak pihak yang melanggar aturan. Menurutnya, masalah bagi penambang-penambang kecil yang merasa dirugikan dimulai sejak adanya regulasi larangan ekspor nikel yang berlaku pada awal tahun 2020.
Hadirnya larangan ekspor nikel membuat tata niaga nikel menjadi kacau dan tidak adil. Apakah pernyataan wakil rakyat tersebut benar adanya?
Dilansir dari CNBC Indonesia pada Oktober 2019, Bahlil Lahadalia selaku Kepala BKPM pernah menjelaskan bahwa pengusaha pabrik smelter harus menyerap bijih nikel dalam negeri. Pengusaha dipastikan menyanggupinya dan akan membeli bijih nikel sesuai harga ekspor yang biasanya dikirim ke luar negeri.
Salah satu perusahaan tambang swasta di Indonesia yaitu PTÂ Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) merasa tidak keberatan dengan keputusan pemerintah. Pihaknya mengatakan bahwa IMIP siap menampung bijih nikel lokal yang artinya dari penambang lokal.
"Jadi apapun yang disampaikan pemerintah akan jadi kebaikan. Kalau sudah jadi kebaikan siapa lagi yang kita patuhi kalau bukan pemerintah," ujar Alexander Barus selaku CEO PT IMIP yang dikutip dari detik.com (28/10/2019).
Dari perhitungan Alexander, IMIP membutuhkan puluhan juta metriks ton bijih nikel untuk diolah. Pernyataan tersebut dapat memberikan kesimpulan bahwa peluang untuk penambang-penambang kecil bekerjasama dengan perusahaan smelter sangat besar.
Mengenai kepatuhan akan beleid HPM, pemerintah telah menunjukkan progres positif dalam penerapannya. Pemerintah membentuk tim pengawas tata niaga nikel pada pertengahan Agustus 2020. Selama tim pengawas melakukan tugasnya di bulan September 2020, Ridwan Djamaluddin selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menjelaskan tidak ditemui perusahaan yang melanggar HPM. Namun, pada bulan Oktober 2020 sebanyak 40 persen perusahaan yang belum patuh, hanya dalam kurun dua bulan saja berkurang menjadi 11 persen. Nantinya, angka persentase tersebut akan tidak ada lagi.
Sudahkah wakil rakyat tersebut melihat bahwa perusahaan smelter mengulurkan tangannya untuk penambang kecil? Sudahkah wakil rakyat tersebut melihat ketegasan pemerintah dalam memberantas pihak yang melanggar HPM?
Dan yang tidak kalah pentingnya: ketika wakil rakyat tersebut meributkan sesuatu hal yang sebenarnya tidak lagi valid, sudahkah dirinya melihat ekonomi di daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua menunjukkan pertumbuhan baik berkat produksi mineral mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H