Mohon tunggu...
Fery Deddy Fahriza
Fery Deddy Fahriza Mohon Tunggu... Lainnya - Music is my soul

Without deviation from the norm, progress is not possible by Frank Zappa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Celoteh Wakil Rakyat tentang Tata Niaga Nikel yang Kacau, Validkah?

11 Februari 2021   09:03 Diperbarui: 11 Februari 2021   09:07 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: kalsel.antaranews.com

Salah satu wakil rakyat pernah bersuara. "Wakil rakyat Indonesia" jargonnya. Dirinya berceloteh tentang perusahaan smelter yang merugikan penambang-penambang kecil. Kehadiran beleid harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara menjadi landasannya.

Meski HPM sudah berlaku sejak bulan Mei 2020 sebagai acuan jual-beli antara pihak penambang dan perusahaan smelter, wakil rakyat tersebut merasa masih banyak pihak yang melanggar aturan. Menurutnya, masalah bagi penambang-penambang kecil yang merasa dirugikan dimulai sejak adanya regulasi larangan ekspor nikel yang berlaku pada awal tahun 2020.

Hadirnya larangan ekspor nikel membuat tata niaga nikel menjadi kacau dan tidak adil. Apakah pernyataan wakil rakyat tersebut benar adanya?

Dilansir dari CNBC Indonesia  pada Oktober 2019, Bahlil Lahadalia selaku Kepala BKPM pernah menjelaskan bahwa pengusaha pabrik smelter harus menyerap bijih nikel dalam negeri. Pengusaha dipastikan menyanggupinya dan akan membeli bijih nikel sesuai harga ekspor yang biasanya dikirim ke luar negeri.

Salah satu perusahaan tambang swasta di Indonesia yaitu PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) merasa tidak keberatan dengan keputusan pemerintah. Pihaknya mengatakan bahwa IMIP siap menampung bijih nikel lokal yang artinya dari penambang lokal.

"Jadi apapun yang disampaikan pemerintah akan jadi kebaikan. Kalau sudah jadi kebaikan siapa lagi yang kita patuhi kalau bukan pemerintah," ujar Alexander Barus selaku CEO PT IMIP yang dikutip dari detik.com (28/10/2019).

Dari perhitungan Alexander, IMIP membutuhkan puluhan juta metriks ton bijih nikel untuk diolah. Pernyataan tersebut dapat memberikan kesimpulan bahwa peluang untuk penambang-penambang kecil bekerjasama dengan perusahaan smelter sangat besar.

Mengenai kepatuhan akan beleid HPM, pemerintah telah menunjukkan progres positif dalam penerapannya. Pemerintah membentuk tim pengawas tata niaga nikel pada pertengahan Agustus 2020. Selama tim pengawas melakukan tugasnya di bulan September 2020, Ridwan Djamaluddin selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menjelaskan tidak ditemui perusahaan yang melanggar HPM. Namun, pada bulan Oktober 2020 sebanyak 40 persen perusahaan yang belum patuh, hanya dalam kurun dua bulan saja berkurang menjadi 11 persen. Nantinya, angka persentase tersebut akan tidak ada lagi.

Sudahkah wakil rakyat tersebut melihat bahwa perusahaan smelter mengulurkan tangannya untuk penambang kecil? Sudahkah wakil rakyat tersebut melihat ketegasan pemerintah dalam memberantas pihak yang melanggar HPM?

Dan yang tidak kalah pentingnya: ketika wakil rakyat tersebut meributkan sesuatu hal yang sebenarnya tidak lagi valid, sudahkah dirinya melihat ekonomi di daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua menunjukkan pertumbuhan baik berkat produksi mineral mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun