'Black Lives Matter' Dan Eksistensi Rasisme Pasca Kematian George Floyd
Gerakan 'Black Lives Matter' yang dilakukan setelah kematian George Floyd menerima dukungan dari masyarakat internasional, tidak hanya masyarakat berkulit hitam saja, tetapi juga masyarakat berkulit putih, dan masyarakat etnis lain seperti Asia hingga Hispanik. Dengan banyaknya dukungan yang didapat dalam gerakan 'Black Lives Matter', gerakan ini telah membentuk suatu konsolidasi agenda untuk memberantas praktik rasial sistematik yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat.Â
Adanya gerakan 'Black Lives Matter' telah memberi ruang bagi masyarakat berkulit hitam untuk menyatukan harapan-harapan mereka dalam suatu gerakan positif untuk mencapai kebebasan dan mendapatkan hak-haknya kembali. Tidak hanya itu, Gerakan ini juga digunakan untuk mendukung segala tindakan diskriminasi yang dilakukan terhadap para imigran, wanita, serta orang-orang cacat. Gerakan ini dilakukan dengan damai sehingga berhasil mendapat dukungan dari masyarakat internasional dan mulai mengalami perubahan menuju kesetaraan (BlackLivesMatter, 2013).
Pasca kematian George Floyd, permasalahan-permasalahan ras yang terjadi kepada masyarakat berkulit hitam selalu berhasil mencuri perhatian masyarakat internasional melalui tagar #BlackLivesMatter di media sosial. Walaupun gerakan 'Black Lives Matter' sendiri tidak berdampak terhadap kebijakan Amerika Serikat yang cenderung berpihak kepada 'White Supremacy', tetapi gerakan ini berhasil mempengaruhi alur pemerintahan di dunia terutama di Amerika Serikat. Masyarakat berkulit hitam di Amerika Serikat juga semakin proaktif dalam mengirimkan perwakilan ke berbagai institusi politik, serta membangun sarana dan prasarana dan berbagai konferensi yang membahas tentang reformasi sosial, hukum, dan politik dan meninggalkan sikap-sikap diskriminatif (BlackLivesMatter, 2020).
International Contact juga membawa gerakan 'Black Lives Matter'Â di Amerika Serikat untuk membentuk suatu jaringan perlawanan terhadap rasisme dengan NGO yang memiliki suatu kesamaan nilai, norma, gagasan dan tujuan, seperti Humanitarian Coalition, International Women's Health Coalition, dan Greenpeace dengan memperjuangkan perlawanan terhadap rasisme di Amerika Serikat dan internasional.
Setelah kasus kematian George Floyd, Dewan Kota Minneapolis mengeluarkan larangan bagi departemen kepolisian untuk melakukan pengekangan leher (neck-choke)Â dalam melakukan penahanan terhadap terduga pelaku. Selain itu, New York City bahkan mengambil kompromi dalam menghadapi tuntutan Defund The Police dengan mengalihkan uang yang sebelumnya ditujukan untuk departemen kepolisian kota dan dialihkan kepada layanan-layanan sosial (BBC, 2020).
Penutup
Dari kasus kematian George Floyd, dapat dikatakan bahwa hukum Amerika Serikat tidak mampu menangani kasus diskriminasi karena masih menerapkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap People of Color (POC). Diskriminasi dan perbudakan yang telah berlangsung selama berabad-abad di Amerika Serikat ternyata menciptakan stereotip negatif terhadap masyarakat berkulit hitam yang sudah tertanam dalam norma-norma masyarakat dan sulit untuk dihilangkan hingga saat ini.Â
Di sisi lain, gerakan 'Black Lives Matter' yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, terutama pasca kematian George Floyd telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pandangan masyarakat di Amerika Serikat dan masyarakat internasional terhadap masyarakat berkulit hitam. Gerakan ini juga membangkitkan reaksi emosional yang sangat kuat terutama bagi mereka yang mengalami segala tindak diskriminasi dan perilaku rasis oleh suatu oknum, sehingga gerakan ini menarik banyak simpati dari masyarakat internasional dan mendorong terciptanya berbagai macam gerakan lain yang mendukung kesetaraan dan mengecam rasisme.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan 'Black Lives Matter' tidak cukup untuk memberantas rasisme. Terlepas dari banyaknya kasus rasisme yang terjadi di Amerika Serikat, 'Black Lives Matter' tetap tidak dapat mengubah kebijakan Amerika Serikat yang cenderung berpihak kepada 'White Supremacy'. Diskriminasi yang terjadi di Amerika Serikat maupun di negara lain, tidak dapat dihilangkan selama masih ada persepsi atau stereotip terhadap suatu ras tertentu. Di negara yang bersifat plural seperti Amerika Serikat, rasisme sangat rentan terjadi karena masyarakatnya majemuk dan memiliki persepsi yang berbeda-beda. Selain itu, terdapat juga oknum yang berpikir bahwa rasnya lebih superior dibandingkan dengan ras lainnya (etnosentrisme) sehingga membuat rasisme semakin sulit untuk diberantas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H