Mohon tunggu...
Conan
Conan Mohon Tunggu... Lainnya - Movie addict.

simple tapi suka yang ribet..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Saya, Anak Aceh

27 April 2011   18:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlahir dari keluarga sederhana, berdarah Aceh, punya orang tua yang begitu menyayangi saya dan memiliki satu saudara, ini adalah kehidupan yang sempurna. Saya termasuk anak yang cukup manja, ya sampai umur 17 tahun pada waktu itu, sudah hampir menyelesaikan sekolah menengah ke atas, saya masih saja merasa bahwa saya adalah anak kecil yang siaga selalu memanggil Ibu dan seperti biasa, menopang tangan "Ibu aku minta jajan".

Nostalgia yang tak bisa saya lupakan pastinya. Dari kecil Ibu cukup menjadi panutan setiap tindakan dan sikap yang saya lakukan, baik itu berhubungan dengan saudara sendiri, guru sekolah, maupun teman sebaya. Apapun yang beliau katakan saya ikuti semua nya. Memang sudah sewajarnya anak mendengar orang tua bukan?

Saat kelas 5 SD, itu teman sekelas punya semacam diary yang pada waktu itu saya belum mengerti apa fungsi dan tujuan diary tersebut. Kalau sekarang diary lebih diidentikkan buat ABG labil sebagai curahan hatinya. Tapi pada masa saya itu justru berbeda sekali tujuannya. Diary dijadikan semacam buku identitas. Dari menulis nama, tanggal lahir, makanan favorit dan segala macam, dan yang sampai sekarang masih membingungkan saya adalah pada bagian cita-cita saya menulis "ingin menjadi pekerja di Jepang". Padahal pada masa itu saya tidak tahu bagaimana itu Jepang, bahasa apa saja yang dipakai di Jepang, apa-apa saja makanan Jepang, saya sama sekali tidak tahu. Ini yang saya herankan.

Usia 12 tahun saya lulus di sebuah sekolah terpadu. Siswa nya disediakan tempat tinggal, makan di dapur yang sudah disiapkan dan segala nya seperti berada pada satu tempat yang semua yang diperlukan ada di situ. Ya saya adalah siswa di MTsS Ulumuddin yang letaknya di Cunda, salah satu kota di daerah Lhokseumawe. Masuk ke sekolah ini adalah kemauan saya. Saya tergiur untuk mendalami bahasa Inggris dan Arab. Tidak hanya itu saja, ilmu agama dari nahwu, sharaf dan kitab-kitab juga diajarkan di sekolah ini. Manfaatnya berlimpah.

Pada tahun 2005 saya lulus di MAN Peusangan, yang posisi nya berdekatan dengan kota Bireuen. Alhamdulillah begitu lulus saya mendapat undangan untuk melanjutkan studi ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Saya lulus di Fakultas Ekonomi jurusan Ekonomi Manajemen. Saya sama sekali tidak punya basic di jurusan tersebut, karena di MAN sebelumnya saya masuk kelas IPA. Dan ini berat buat saya, kenapa pada waktu itu malah memilih fakultas dan jurusan yang tidak saya kuasai sedikitpun.

Masa perkuliahan banyak kendala yang saya hadapi. Dari ketidakmampuan menguasai ilmu ekonomi, sampai nilai semester saya jatuh drastis. Saya panik sekaligus takut. Apalagi orangtua sempat mengganggap kalau saya tidak kuliah. Pertengahan tahun 2006 saya mulai tidak sanggup jalani kuliah di sini. Saya minta izin untuk pindah kuliah dan syukurlah orangtua merestui.

Tepat tanggal 11 november 2007 saya berada tepat di sebuah negara lain, dari suku, bahasa, ras, sosial sama sekali tidak sama. Saya selamat berangkat ke Kairo dan terdaftar sebagai mahasiswa Al-Azhar University Thanta, salah satu propinsi di Kairo. Sampai di sini, kesulitan semakin bertambah. Dengan modal bahasa Arab dulu ternyata tidak cukup. Saya ingin menyerah, dan memang harus menyerah. Setahun kehidupan lain saya rasakan di negeri tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk kembali lagi ke Aceh. Tepat bulan 2 tahun 2008 saya sudah berada di kampung halaman. Peluk cium haru terungkap semua saat saya pulang. Mungkin rindu.

Pertengahan 2008, dari segala pengurusan akhirnya saya melanjutkan kuliah di Banda Aceh kembali. Di sini saya sah menjadi mahasiswa IAIN Ar-Raniry. Di sini juga tak sedikit kesulitan yang saya dapatkan. Saya tidak tahu apakah sistem yang membuat saya pusing, atau saya yang terlalu memusingkan sistem hingga segalanya terasa sulit. Dan syukur sampai detik ini saya masih bertahan di sini. Saya tak ingin menyerah untuk ke sekian kali nya. Dan alhamdulillah sekali sudah mulai masuk ke tahap skripsi. Menurut saya, di mana pun dan dalam bentuk apapun, tanpa usaha segala nya menjadi runyam. Dibutuhkan keyakinan untuk meraih kesuksesan, dan saya sedang menjalaninya. Saya bangga menjadi bagian dari keluarga sederhana, terlahir sebagai anak Aceh, bernegara Indonesia. Berbeda suku tetap satu suka dan duka.

Ingat, tanpa usaha dan doa, segala nya akan sia-sia. Hadapi setiap rintangan. Jangan biarkan kata "menyerah" menjadi pedoman. Terus maju pantang mundur. Semangat adalah kunci dari segala kunci mencapai tujuan.

Sekian, wasalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun