"........Jarak tempu kurang lebih 14 Km dari desa terdekat yang hanya bias ditempu dengan berjalan kaki ke Lokasi Pembangunan Puskemas Pembantu (Pustu) di kampung Simieij-distrik Kuri Wamesa, Kabupaten Teluk Wondama-Papua Barat yang melewati hutan dan jalan setapak yang curam, menanjak dan gelap membuat sejumlah pengusaha besar yang bertengger di Wondama pergi dan lari meninggalkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang dikeluarkan Bupati Wondama melalui Dinas Kesehatan,...disitulah Appolo dengan perusahaan kecil milik dia dan teman-teman sekampungnya berdiri dan menerima pekerjaan tersebut..meski dengan resiko merugi yang menanti didepan........!
Siapa seorang Appolo Korwam?
Saat bertemu Apollo dipikiran saya, dia hanya seorang masyarakat sipil biasa seperti saya. Dan bukan siapa-siapa. Bahkan karena jarang berucap dan hanya tersenyum saya berpikir bahwa dia hanya bisa tersenyum dan tidak bias berbuat hal hebat yang lain. Saya sedikit keliruh, ternyata ada hal yang berbeda dari bapak dua anak ini yang sangat tenang dan murah senyum. Seskali melucu dengan tawa kecil yang panjang. Jarang sekali terlihat wajah kesalnya, bahkan dapat dipastikan sepanjang hari dilewatinya dengan senyum kepada setiap orang disekelilingnya, maupun teman bisnisnya walau terkenal pendiam. Setelah dua, tiga hari bertukar pikiran barulah saya sadar bahwa Apollo adalah bagian dari perubahan dan kemajuan sebuah dusun kecil di kampung halamannya, yang secara logikapun tidak diterima.
Seingat saya sore itu selasa 9 Desember 2009, hampir dua tahun yang lalu, matahari perlahan tenggelam dibalik bukit di depan kampung Dusner, cahayanya terlihat indah dari bibir pantai wondama, senja itu begitu indah. Bahkan seorang pujangga Belanda Ishak Samuel Keijne yang pernah datang kesana pada masa tahun 1920-an pernah berucap bahwa "dibalik bukit itu berdiam Tuhan yang baik" atau karena terlalu kagumnya sang punjangga akan cahaya senja itu sehingga ia melukiskan bahwa "disanalah rumah Tuhan, dan Tuhan yang baik itu berdiam disana" senja itu memang indah. Dan senja yang sama juga yang membawa saya bertemu dengan seorang Apollo Korwam, yang pada akhirnya membuat logika saya terganggu dan merasa apa yang saya kerjakan belum ada artinya. Saya hanya bisa kagum, heran bercampur sedih dan simpati akan situasi saat itu. Dan cerita itu sekaligus membuat saya sadar mengapa dia (Appolo) selalu kuat dan tenang.
Pria berperawakan mungil dan santai itu terlihat tersenyum dan selalu menempatkan diri sesudah orang lain. Terlihat jelas bahwa ia begitu rendah hati dan santun. Begitulah Appolo Korwam, satu dari sejumlah pengusaha yang siap merugi dalam situasi tertentu demi untuk terpenuhinya kebutuhan kesehatan masyarakat di satu dusun terpencil Teluk Wondama.
Mengapa Semua Perusahaan lari dari kenyataan?
Appolo ternyata seorang penutur yang baik, saat memberikan informasi kepada saya. Anak guru yang menyelesaikan studi pada STIKOM Manado pada 2003 lalu itu bertutur seperti ini; "..pa' saya ini sebenarnya tidak terlalu berpengalaman dalam dunia bisnis...saya jujur masih awam, namun saat itu, satu surat SP3 (Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan) dari bupati Wondama melalui kepala dinas kesehatan kab. Teluk Wondama untuk membangun sarana kesehatan -pustu (puskemas pembantu) di desa Simiei...yang jaraknya 14 KM dari desa terdekat jelas Appolo. Nilai kontrak yang tertulis sangat jelas Rp. 240.000.000 (dua ratus empat puluh juta rupiah) untuk bangunan pos kesehatan type 60M2 dengan durasi waktu 90 hari kerja. Cerita Appolo saat itu pertengahan Bulan Maret saat SP3 itu dikeluarkan. Tidak seperti biasa semua pengusaha berlomba begitu ketat jika mendengar ada SP3 yang akan dikeluarkan oleh pemerintah melalui dinas-dinasnya, bak ikan hiu mereka akan menunggu untuk menyambarnya. Namun tidak ketika SP3 bernomor 027/DAK/Kontrak/DK/III/2009 untuk membangun satu unit pustu di desa Simiei tersebut. Setelah mengetahui lokasi dan melihat nilai kontraknya, tidak banyak komentar dan tidak butuh waktu lama...semua pengusaha besar yang telah berpengalaman membangun Wondama tiba-tiba pergi berlalu bagai pesawat tempur yang melesat. Mengapa tidak?....Jarak tempu 14 Km dari desa terdekat ke lokasi Pembangunan Puskemas Pembantu (Pustu)di Desa Simieij-distrik Kuri Wamesa dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, yang melewati hutan dan jalan setapak yang curam, menanjak dan gelap dan ongkos pikul material yang mencekik, membuat para pengusaha besarpun berhitung sembilan kali lipat untuk mengerjakan proyek ini. Tidak bisa disalahkan bahwa dalam lingkaran pebisnis teorinya jelas, bisbis tetap bisnis, dan keuntungan adalah prioritas. Appolo masih tetap terlihat semangat untuk menjelaskan pokok masalahnya. Kalau proyek itu lokasinya ditengah kota ini, saya bisa pastikan bahwa sayapun mungkin tidak akan bisa memperolehnya untuk dikerjakan karena pasti sudah disambar ikan hiu yang berkeliaran...! Kalau di kota pasti secara matematika ekonomi bisa diandalkan untuk menambah pengahasilan perusahaan, namun karena lokasinya yang jauh membuat semua pengusaha angkat bendera putih dan menyerah. Appolo berdiri dan menunjuk seorang teman sambil berucap...mereka ini tahu apa yang terjadi dengan kabupaten ini dan setiap pengusaha yang disini, mereka selalu menghindar resiko merugi, namun menurut saya itu normal, namun apa salahnya mereka juga ikut beramal untuk masyarakat...sambil membuag senyum Appolo ketawa kecil. Saya yang tercengang bertanya dengan nada heran, hehehe sambil ketawa kecil Appolo berseloroh "...kalau Appolo dan teman-teman tidak mau mengerjakan proyek ini ...lantas bagaiman dengan masyarakt disana..? Jawaban Appolos terkesan kesal dengan kata yang melemah..! Bagaimana nasib kesehatan masyarakt disana? Yah.. mungkin itu pertanyaan dan sekaligus alasan yang tidak masuk akal yang bisa saya pakai untuk menjelasakan mengapa saya begitu yakin bisa mengerjakan proyek ini, meski saya sadar sepenuhnya bahwa kerugian menanti saya di depan. Appolo terlihat heran dengan ceritanya sendiri dan setelah mendengar cerita itu saya sedikit penasaran, karena belum mengetahui secara detail masalahnya. Disaat itulah Appolo menceritakan angka-angka setan yang membuat mengapa semua pengusaha besat lari dan tidak berani kembali sampai pustu itu rampung dibangun.
Angka-angka Setan
Bagaimana tidak, untuk 1 sak semen yang harganya Rp.70.000 (di wilayah ini relatif murah) harus dibagi menjadi dua bagian dan dipikul oleh dua orang dewasa karena jarak tempu 14 KM tadi. Yang membuat saya terbelalak mendengar penjelasan Appolo adalah untuk ongkos pikul dari desa terdekat (desa Dusner) ke lokasi lokasi pembangunan proyek pustu, Appolos harus menyediakan Rp.500.000 untuk satu karung sak semen dengan dua orang tukang pikul. Hebat bukan!!?? Dengan perbandingan ini saya yang nota bene bukan tukang bangunan sekaligus bukan pemborong juga tahu dan tidak berani membayangkan biaya yang akan dikeluarkan Appolo untuk bahan bangunan lain, seperti Kayu balok yang dalam hitungan kubikasi, Triplex, Senk, Cat, paku, Pipa, Kaca, belum termasuk peralatan yang akan digunakan dalam pekerjaan tersebut seperti, skop, cankul, mesin pemotong, schap, genset, alat-alat instalasi lainnya. Mungkin anda bisa membantu saya untuk membayangkan berapa banyak biaya yang akan dikeluarkan Appolo, hanya untuk ongkos pikul? Karena saya sudah sedikit sok mendengar cerita Appolo. Contoh lain yang buat saya tercengan adalah ongkos pikul untuk satu genset 2990 Watt ukuran 30 kg adalah Rp. 1.000.000 per orang untuk dua orang pemikul, sementara untuk satu unit scap Makita seberat 2,5 kg ongkos pikulnya mencapai Rp. 300.000. Sesekali dengan nada melucu dan miris dihatinya Appolo hanya tertawa kecil membayangkan angka-angka tidak masuk akal yang dia temui selama pembangunan pustu tersebut. Appolo juga bercerita menambahkan bahwa untuk satu kaleng cat tembok ukuran 20kg seharga Rp.160.000, ongkos pikulnya mencapai Rp.300.000. Heheheheh....Appolo ketawa karena teringat dia bahwa ongkos perahu untuk satu kali pemuatan material bangunannya mencapai Rp.5.000.000 untuk satu kali pemuatan...sementara dalam pengerjaannya tidak kurang dari sepuluh kali Appolos menyewa perahu-perahu tersebut. Setelah diam sejenak Appolo lalu berucap begini, "....pak masih ada lagi satu angka setan...tim tukang pemborong yang kerja dalam proyek ini tidak akan pergi ke lokasi kerja bila tidak dibayar Rp.50.000.000....!". Sebelum Appolo menyelesaikan ceritanya saya sudah menemukan jawaban kenapa semua pengusaha besar di Wondama lari meninggalkan pekerjaan ini. Memang ironis...alam ini begitu ganas tidak bisa disankal telah mempengaruhi proses pembangunan secara keseluruhan di Tanah Papua. Saya hanya menatap Appolos dan secara berucap...lantas buat kamu sendiri apa yang kamu dapat dari kerjaan ini? Appolo menjawab..."anggap saja pengapdian untuk tanah yang telah membesarkan saya ini...dan anggap saja Tuhan akan menggati semua itu.."
Salut
Appolo dan tim dari perusahaan kecilnya adalah sosok yang perlu diancungi jempol dalam pembangunan daerah terpencil di Papua. Dan perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah setempat agar menjadi mitra pembangunan, dan pembangunan yang bukan saja berorientasi pada nilai binis dari setiap proyek yang dikerjakan, tetapi belajar akan kepedulian yang mengajarkan orang lain untuk membangun dengan hati tulus. Salut buat Appolo Korwam dan perusahaan kecilnya, CV. Nadi Siniani dari Teluk Wondama-Papua Barat.
Salam Pembangunan...!
Sasako Wondama Team
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H