mobil mewah, konvoi atau iring-irigan, stratifikasi sosial pemilik mobil mewah, dan gaya hidup pemilik mobil mewah. saya lebih beranggapan hal yang wajar, jika gaya hidup pemilik mobil-mobil mewah tersebut terkesan berlebihan dan atau tabu untuk orang seperti saya, karena saya belum pernah melakukan dan merasakan gaya hidup yang seperti itu, dan jangan lupa di dunia ini, beranekaragam cara orang menikmati pengahasilanya ataupun hartanya.Â
Terlepas dari definisiNamun terlepas dari itu semua, sampai dengan saat ini, sudah ada empat informasi yang telah dimuat terkait dengan fenomena konvoi mobil mewah. informasi yang pertama, pernyataan dari pihak kepolisian telah menyampaikan bahwasanya, pengendara mobil mewah tersebut sudah kooperatif, berlaku sopan, telah mengakui kesalahan, meminta maaf karena sudah melaju pelan di jalan tol, sehinga dari pihak polisi memaafkan dan tidak melakukan penilangan.Â
Informasi yang kedua, berawal dari laporan pihak pengelola jalan tol, bahwasanya dari hasil pantauan Camera Closed Circuit Television (CCTV) terlihat adanya konvoi mobil mewah di jalan tol, berdasarkan laporan ini. pihak dari Petugas Patroli Jalan Raya (PJR) mengejar dan menghentikan konvoi mobil mewah tersebut, karena dinilai dapat menyebabkan kemacetan.
Informasi yang ketiga, konvoi mobil mewah ini belum memiliki izin dari pengelola jalan tol untuk membuat dokumentasi terkait kegiatan iring-iringan/konvoi kelompok ini.
Informasi yang keempat, pihak pengendara konvoi mobil mewah mengklarifikasi, bahwa laju mereka terhalang bukan karena berhenti di pinggir jalan tol untuk foto-foto.
Dari Informasi-informasi yang ada di atas tersebut, pada akhirnya telah menimbulkan polemik di masyarakat umum. pendapat, dan sudut pandang yang beragampun muncul, mengenai fenomena tersebut. sehingga membuat saya tertarik untuk menjadi bagian dari orang-orang yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Sudut pandang saya berdasarkan informasi pertama, sejatinya dari Petugas PJR yang saat itu bertugas melakukan penilangan sebagai mana yang tercantum dalam Pasal 287 Ayat (5) Undang-Undang (UU) nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman pidana kurungan paling lama 2 bulan, atau denda paling banyak Rp. 500.000,. yang berarti denda tersebut adalah denda paling banyak Rp. 500.000,. bukan wajib bayar denda Rp. 500.000,. dan kurungan tersebut kurungan paling lama 2 bulan, bukan wajib di kurung 2 bulan.
Tentunya hal tersebut nantinya diputuskan oleh hakim terkait pelanggaran hukum yang dilakukan, kurungan atau denda (artinya hakim memiliki pilihan) jika pilihanya denda, bisa saja hakim memutuskan denda sebesar 150 ribu misalnya, karena secara normatif, pasal tersebut menjelaskan denda paling banyak/maksimal.
Jika dilakukan penindakan pelanggaran lalu lintas atas kesalahan konvoi mobil mewah yang disebutkan di atas oleh petugas PJR tersebut, tentulah tidak akan menimbulkan kecemburuan publik saat ini, terkait penegakan hukum di Negara Indonesia. Bukan malah memberikan Diskresi kepada mereka.Â
Secara definisi, diskresi tercantum di dalam UU nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 Angka (9) dan Angka (3), sementara itu Diskresi Kepolisian tercantum di dalam UU nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 18 Ayat (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. pada BAB penjelasan Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.