Mohon tunggu...
Decky Novandri
Decky Novandri Mohon Tunggu... Penulis - Belajar Menulis.

- Pria Sederhana, yang ingin belajar dan berkembang. - Master of Public Administration Alumni. National University, Jakarta Indonesia. - IDP_LP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konsekuensi Covid-19 dan Pembatasanya

29 Desember 2021   12:16 Diperbarui: 5 Januari 2022   22:00 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(foto ilustrasi ; kompas.com)


Dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta. angka pengangguran terbuka Propinsi tersebut pada tahun 2019 sebesar 6,22 persen, mengalami peningkatan yang singnifikan pada tahun 2020 yaitu sebesar 10,95 persen.

para pekerja terpaksa berhenti bekerja karena perusahaan tempat mereka berkerja terdampak kebijakan Pemberlakuan Pembatasan, pada saat itu.

Hal ini merupakan penyebab dari wabah yang sangat ganas, dan dampak dari Pembatasan-pembatasan yang ada.

Sehingga membuat hampir setiap sendi-sendi kehidupan di DKI Jakarta merasakan dampaknya.

Pada sektor ekonomi, tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang tidak dapat beroperasi lagi secara maksimal, dan pelaku usaha ekonomi menengah kebawah terpaksa mengurangi  aktivitas mereka, sehingga menghasilkan bibit  Pengangguran-pengangguran baru. Daya beli masyarakat DKI Jakarta yang menurun drastis.

Sangat miris rasanya mejadi pelaku kebijakan, bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati.

Pada saat itu pemerintah dan pelaku kebijakan sungguh sangat berada diantara dua pilihan yang sangat sulit, jika tidak ada pembatasan maka akan banyak nyawa yang melayang, ada pembatasan maka pasti akan ada banyak yang terdampak, belum lagi dari kritikus warung kopi, dengan dialetika gaya mereka, dan materi yang katanya. "istilah ini sering disebut, dengan istilah debat kusir".

Artinya, saat itu pemerintah dan pemerintahan DKI Jakarta, belum dapat membuat publik sosial dapat percaya terhadap tatakelola dan pelayanan yang diberikan untuk mengatasi, dan menyelesaikan permasalahan tersebut. 

Penerapan pembatasan saat itu bukan hanya berdampak pada sektor Perkenomian saja, namun dampak Psikis juga timbul akibat dari penerapan pembatasan yang sering dimodifikasi atau berganti-ganti istilah, yang tentunya bedasarkan hasil evaluasi data dan fakta dilapangan yang terbaru.

Mari kita coba sajikan ulang, sajian terkait sejarah kelam yang tentunya kita semua berharap tak akan terulang kembali.

Pada saat itu, tepatnya pada bulan Desember Tahun 2019 Pemerintah Tiongkok mengumumkan kasus Pneumonia atau yang disebut sebagai virus corona baru yang terjadi di Wuhan.

Pemerintahan di Negara ini mulai bekerja keras untuk meminimalisir penyebaran virus tersebut, berbagai kebijakan telah dipilih, dan diimplementasikan, tujuanya tidak lain untuk meminimalisir permasalah yang sedang terjadi di tengah Masyarakat mereka.

Salah satu kebijakan Negara ini yang paling terkenal adalah istilah lockdown, mengkarantina kota Wuhan merupakan alternatif kebijakan dianggap paling relevan untuk diterapkan Negara tersebut.

Saat itu, jika Negara kita mampu dalam hal sumber daya, tentunya Negara kitapun akan mengadopsi secara keseluruhan kebijakan yang dilakukan di Wuhan tersebut. Negara tiogkok menutup semua akses jalur  keluar masuk ke negara tersebut.

Pada bulan Maret 2020 WHO telah mengumumkan kasus Corona Virus Disease-2019 (COVID-19) sebagai pandemi Global, wabah ini menjadi ancaman besar diberbagai Negara belahan dunia tak terkecuali Negara Indonesia, sehingga memaksa Negara Indonesia untuk memilih dan memilah berbagai alterntatif kebijakan yang paling relevan dari sekian banyak pilihan alternatif kebijakan dan yang paling minim dampak dari diimplementasikanya kebijakaan tersebut, tentunya agar setiap sektor dapat bertahan, dan daya beli masyarakat masih dapat diandalkan, dan lain sebagainya.

Setelah itu setiap Propinsi di Negara Indonesia diarahkan agar dapat mengambil langkah yang paling relevan dengan kondisi sosial budaya, ekonomi, keuangan, dan kesehatan masyarakat setempat. tujuanya tentu untuk menekan penularan Endemi tersebut.

Propinsi DKI Jakarta, mewujudkan kebijakan adalanya dalam bentuk Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bukan tanpa alasan pemerintahan DKI Jakarta memilih menerapkan PSBB berjilid-jilid, hal ini tentunya berangkat dari alternatif pilihan kebijakan yang dianggap paling rasional.

Riant Nunggroho dalam bukunya yang berjudul Public Policy.

Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan adalah rasionalitas. Namun, rasionalitas juga berarti multirasionlitas, yang berarti terdapat dasar-dasar rasionalitas ganda yang mendasari sebagian besar Pilihan-pilihan kebijakan, yaitu ; 1. Rasionalitas teknis, berkenaan dengan pilihan efektif, 2. Rasionalitas ekonomis, berkenanaan dengan efesiensi. 3. Rasionalitas legal, berkenaan dengan legalitas. 4. Rasionalitas sosial, berkenaan dengan akseptabilitas, 5. Rasionalitas subtantif, yang merupakan kombinasi dari keempat rasionalitas diatas.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuanya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut.

Esensinya pelaku kebijakan memandang Jika masalah perekonomian maka masih akan ada solusinya, tentunya dalam tempo waktu yang ditargetkan, akan dapat memperbaiki tingginya angka pengangguran, dan menurunya daya beli masyarakat.

Namun jika sudah masalah nyawa, tidak ada lagi yang dapat diperbaiki.

Pada saat Tahun 2020 dan 2021 sebelum Vaksinasi, wabah yang ganas tersebut hampir meluluhlantakan seluruh sendi kehidupan umat manusia di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tecinta ini.

Selanjutnya esensi dari prinsip Implementasi kebijakan, menurut hemat saya masih sangat relevan jika melihat pelaksanaan Pembatasan-pembatasan yang ada di DKI Jakarta.

Capaian yang diinginkan dari Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan itu tentunya untuk menekan angka penularan COVID-19, meskipun ada peningkatan angka pengangguran yang signifikan. 

tentunya  Implemetasi Pembatasan-pembatasan ini sudah melalui tahapan evaluasi sebelum dan sesudah kebijakan tersebut diimplemetasikan, perumusan, pembinaan, pengawasan, kesiapan sumber daya financial dan personilnya, hingga sanksi administratifpun telah diterapkan.

Namun tidak cukup hanya sampai pilihan yang dianggap paling rasional, dan melalui formulasi saja.

Implementasi Pembatasan-pembatasan ini kemudian muncul Pro dan Contra di tengah masyarakat DKI Jakarta, baik dari kelompok masyarakat pencari kerja, pemberi kerja, dari kaum yang berada pada stratifikasi sosial paling atas, maupun yang paling bawah. sehingga yang terjadi malah muncul permasalah baru akibat dari pemberlakuan Pembatasan-pembatasan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun