Neokolonialisme adalah bentuk kolonialisme atau imperialisme modern, di mana kapitalisme membuat negara-negara besar secara tidak langsung "mengendalikan" negara-negara yang lebih kecil. Hubungan yang awalnya berbentuk kerjasama berubah menjadi dominasi, dengan negara yang lebih lemah terpaksa merelakan sebagian kedaulatannya untuk diintervensi oleh negara yang lebih kuat. Bentuk intervensi ini sering kali muncul melalui kerjasama dan investasi, namun dengan posisi tawar yang tidak seimbang. Negara pemberi investasi biasanya memaksakan syarat dan ketentuan yang menguntungkan mereka, sehingga negara penerima terpaksa mengikuti aturan yang ditetapkan.
Istilah "neokolonialisme" pertama kali diperkenalkan oleh Kwame Nkrumah, presiden pertama Ghana pasca-kemerdekaan, dan menjadi topik yang dibahas dalam karya-karya Jean-Paul Sartre. Neokolonialisme merupakan bagian dari teori kritis yang mengkritik sisi gelap neoliberalisme, terutama dalam konteks hubungan antarnegara dengan kekuatan yang tidak seimbang, di mana kerjasama semacam ini cenderung menghasilkan ketergantungan sepihak (dependensi).
PEMBAHASAN
Belt Road Initiative (BRI) Tiongkok
Proyek Belt and Road Initiative (BRI) pertama kali diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013 dan menjadi salah satu ambisi besar di bawah kepemimpinannya. Xi Jinping memperkenalkannya dalam dua kesempatan terpisah pada September 2013 di Kazakhstan untuk komponen darat (Silk Road Economic Belt) dan Oktober 2013 di Indonesia untuk komponen laut (21st Century Maritime Silk Road). Proyek ini merupakan salah satu kebijakan luar negeri utama Tiongkok yang bertujuan untuk memperkuat peran negara tersebut dalam ekonomi dan geopolitik global, memperkuat jaringan infrastruktur, perdagangan, dan investasi antara Tiongkok dengan negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Eurasia (Eropa dan Asia), serta menargetkan 4,4 miliar orang atau 63% dari populasi global dan mencakup 30% dari PDB dunia. Proyek ini juga berfokus pada wilayah-wilayah yang menguasai sumber energi dunia
Sebagai bagian dari BRI, Tiongkok berkomitmen memberikan bantuan dalam pembangunan infrastruktur di negara-negara yang ikut berpartisipasi. Inisiatif ini dijalankan melalui dua jalur utama: The Silk Road Economic Belt (pembangunan jalur darat) dan The Maritime Silk Road (pembangunan jalur laut). The Silk Road Economic Belt meliputi jalur daratan yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Eropa, yang didukung oleh jaringan rel, jalan raya, dan pipa baru. Sementara itu, The Maritime Silk Road abad ke-21 menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa melalui jalur laut.
Tujuan utama BRI adalah memperkuat fasilitas perdagangan global dengan menghapus hambatan dagang (trade barriers) dan menerapkan kebijakan untuk mengurangi biaya perdagangan dan investasi. Menurut data dari Tiongkok, negara ini telah diestimasi telah menginvestasikan sebesar USD 50 miliar di 20 negara yang terletak di sepanjang rute Jalur Sutra. Dalam pidatonya pada Belt and Road Forum (BRF) di Beijing, 14 Mei 2017, Presiden Xi Jinping secara tegas memaparkan visinya untuk membangun Jalur Sutra Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim abad ke-21, memperkuat janji Tiongkok untuk suksesnya megaproyek ini di hadapan lebih dari 100 perwakilan negara.
Kerjasama Belt Road Initiative (BRI) Tiongkok dengan Indonesia
Tiongkok melalui kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) mengusung prinsip kerja sama damai (peaceful cooperation) dan saling menguntungkan (win-win cooperation). Mengingat skala proyek BRI yang sangat besar dan kebutuhan modal yang signifikan, Indonesia dipandang sebagai salah satu mitra strategis, terutama karena BRI menawarkan pinjaman untuk pengembangan infrastruktur. Indonesia, yang berkomitmen untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, menyambut baik tawaran Tiongkok ini sebagai alternatif pembiayaan.
Pada Mei 2017, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRI pertama di Beijing. Kehadiran ini menandai keterlibatan resmi Indonesia dalam inisiatif tersebut. Tujuan utama BRI adalah meningkatkan konektivitas sub-regional, regional, dan antar-regional melalui pengembangan infrastruktur seperti jalan tol, rel kereta api, dan pelabuhan. Inisiatif ini sejalan dengan program Global Maritime Fulcrum (Poros Maritim Dunia) yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi pada 2014, yang bertujuan memperkuat sektor maritim Indonesia dan menjadikannya pusat aktivitas maritim dunia. Hal ini juga selaras dengan ambisi Indonesia untuk memperkuat posisi sebagai negara middle power yang semakin berpengaruh di kawasan Asia Pasifik. Proyek maritim Indonesia, termasuk pembangunan 24 pelabuhan dengan total biaya sekitar 39,5 triliun rupiah dan pembelian 609 kapal senilai 57,31 triliun rupiah, sangat memerlukan dukungan finansial.Â
Di sinilah kerjasama dengan Tiongkok melalui BRI menjadi sangat relevan. Pemerintah Indonesia juga menawarkan proyek investasi seperti pembangunan jalan tol dan jalur kereta api kepada Tiongkok. Namun, partisipasi Indonesia dalam BRI menuai sejumlah kritik. Salah satu kritik yang paling menonjol adalah terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang dianggap mulai condong ke Tiongkok, sehingga berpotensi mengaburkan prinsip bebas aktif yang telah menjadi fondasi diplomasi Indonesia sejak lama. Kritikus menilai bahwa kerjasama ini mengurangi fleksibilitas diplomatik Indonesia dalam menghadapi persaingan kekuatan besar, terutama ketika mempertimbangkan ketegangan yang baru-baru ini terjadi terkait klaim Tiongkok atas perairan Natuna yang termasuk dalam peta nine-dash line, meskipun klaim tersebut melanggar UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut).
Lebih jauh, ada kekhawatiran bahwa proyek BRI dapat menjadi bagian dari strategi "debt-trap diplomacy" atau jebakan utang, di mana negara-negara mitra yang kesulitan membayar utang terpaksa menyerahkan aset strategis kepada Tiongkok. Kasus Sri Lanka sering menjadi contoh dalam argumen ini, di mana pelabuhan Hambantota diserahkan kepada Tiongkok setelah negara tersebut tidak mampu membayar utangnya. Meskipun demikian, konsep ini masih diperdebatkan. Beberapa negara mitra BRI, seperti Laos dan Pakistan, memang menghadapi tantangan utang, namun negara-negara lain justru mendapatkan manfaat signifikan dari investasi infrastruktur tanpa kehilangan kedaulatan atau aset strategis mereka.
Alternatif lain untuk kerjasama infrastruktur yang dapat dipertimbangkan oleh Indonesia termasuk Trans-Pacific Partnership (TPP) yang diprakarsai Amerika Serikat, Asian Development Bank (ADB) yang didukung Jepang, dan inisiatif Master Plan for ASEAN Connectivity (MPAC) yang dikeluarkan oleh ASEAN. MPAC 2025 memiliki tujuan yang mirip dengan BRI, yaitu meningkatkan konektivitas regional dengan fokus pada integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Sebagai salah satu pemimpin di ASEAN, Indonesia memiliki kepentingan untuk mempertahankan kerjasama regional sambil menyeimbangkan hubungan dengan kekuatan-kekuatan besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.
Ancaman Debt Trap dalam Kebijakan BRI Tiongkok
Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia memang mengalami defisit perdagangan yang signifikan dengan Tiongkok. Banyak yang khawatir bahwa partisipasi Indonesia dalam Belt and Road Initiative (BRI) akan memperburuk defisit ini karena proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh Tiongkok mungkin akan melibatkan penggunaan komponen, suku cadang, dan peralatan yang diimpor dari negara tersebut. Kekhawatiran ini tampaknya masuk akal tetapi perlu dilihat secara lebih mendalam. Pertama, terlepas dari sumber pembiayaan infrastruktur, impor suku cadang kemungkinan akan meningkat dalam proyek-proyek besar karena Indonesia belum memiliki industri yang cukup untuk memproduksi banyak dari komponen tersebut di dalam negeri.Â
Dengan atau tanpa BRI, impor tetap akan menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur. Kedua, neraca perdagangan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai hubungan bilateral antara Indonesia dan Tiongkok. Perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas—melibatkan neraca perdagangan Indonesia dengan seluruh dunia. Sebagai negara yang sedang berkembang, peningkatan impor barang modal seperti peralatan infrastruktur dapat dilihat sebagai investasi jangka panjang yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di masa depan. Peningkatan daya saing ini dapat memperbaiki neraca perdagangan secara keseluruhan dalam jangka panjang, meskipun pada tahap awal, mungkin terjadi defisit yang lebih besar.