PENDAHULUAN
Latar Belakang
One Belt One Road (OBOR) merupakan salah satu strategi kebijakan pembangunan ekonomi Tiongkok yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping yang kemudian mengalami perubahan menjadi Belt Road Initiative (BRI). Strategi ini terbentuk berdasarkan inspirasi dari perekonomian dan politik negara Tiongkok dengan membangun kembali kesuksesan sejarah jalur sutra (silk road).
Sejak tahun 2016, Indonesia sepakat untuk melakukan kerjasama dengan proyek kebijakan Belt Road Initiative (BRI) Tiongkok. Dengan berbagai bentuk pendanaan dan transfer tenaga kerja dari Tiongkok dalam pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan ekonomi politik dalam negeri di Indonesia.
Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia menandatangani 23 Memorandum of Understanding dalam agenda acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing. Hubungan yang terjalin antara Beijing dengan beberapa provinsi di Indonesia memang bukanlah hal yang baru. Hubungan Tingkok dan Indonesia diketahui semakin intens dan bentuk kerjasamanya pun semakin beragam. Saat ini terdapat beberapa mega proyek Beijing yang sedang dilakukan dengan bekerjasama langsung dengan beberapa provinsi di Indonesia. Di antaranya adalah proyek pengembangan Kawasan Ekonomi Khsusus (KEK) di Bintan Kepulauan Riau dan Bitung Sulawesi Utara, proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Bengkulu, pembangunan jalan tol lintas sumatera di Sumatera Utara hingga kerjasama pengembangan pariwisata di Bali dan NTB. Perkembangan di atas menunjukkan bahwa Tiongkok dalam hubungannya dengan Indonesia tidak hanya terlibat dengan pemerintah pusat di Jakarta, melainkan juga dengan pemerintah daerah. Sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Diplomat yang berjudul China's Growing Ties with IndonesianÂ
Provinces memaparkan bahwa mendekatkan diri dengan provinsi-provinsi di Indonesia merupakan bagian dari tujuan diplomasi Tiongkok.
Henrik Hallgren dalam Security and Economy on the Belt and Road: Three Country Case Studies memaparkan bahwa para ahli percaya ada motif lain dari proyek BRI yang dilakukan Beijing terhadap beberapa negara, seperti motif politik, geo-ekonomi dan keamanan. Bahkan melihat perkembangannya di beberapa negara Asia, dalam artikel tersebut mengungkapkan beberapa pengamat curiga bahwa BRI akan menjadi bentuk lain dari kekuatan neo-kolonial dan versi modern kolonialisme.
Terkait tudingan neokolonialisme, pada tahun 2018 Perdana Menteri (PM) Malaysia saat itu Mahathir Mohamad membatalkan proyek-proyek yang didanai oleh Tiongkok di beberapa negara bagian Malaysia. Di saat yang sama, Ia juga memperingatkan akan versi baru dari neokolonialisme.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah "Bagaimana Indonesia dapat mengantisipasi ancaman debt trap dan neokolonialisme dalam kerjasama dengan Tiongkok melalui BRI?"
Kerangka Teori
Kepentingan Nasional
Dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, Hudson (2013:136) menyoroti bahwa identitas nasional berperan dalam membentuk motivasi domestik yang memengaruhi keputusan kebijakan luar negeri, yang sering disebut sebagai kepentingan nasional. Secara lebih spesifik, pengaruh ideologi dan kepentingan nasional terhadap kebijakan luar negeri dapat dipahami melalui analisis berbagai faktor yang mempengaruhi proses tersebut, seperti sifat ideologi, kepentingan yang terlibat, sistem politik internasional, dan proses pembuatan kebijakan itu sendiri (Levi, 1970:30). Dengan menganalisis faktor-faktor ini, dapat terlihat bagaimana kepentingan nasional memainkan peran dominan dalam perumusan kebijakan suatu negara.
Salah satu contohnya adalah kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok, sebuah proyek besar yang diluncurkan oleh pemerintah Tiongkok untuk memperkuat posisinya sebagai mitra strategis negara-negara di dunia melalui pembangunan infrastruktur. Proyek ini juga berfungsi untuk menghadapi tekanan dari negara-negara lain, terutama dalam menghubungkan kepentingan Tiongkok dengan negara-negara di Asia, merombak dinamika kekuatan regional, serta menciptakan kekuatan kontra-hegemoni yang menantang tatanan liberal Barat. Selain itu, BRI berpotensi mendirikan institusi internasional baru yang sejalan dengan kepentingan ekonomi dan politik Tiongkok. Bagi tatanan global, kesuksesan proyek ini dapat membuka jalan bagi kerangka kerjasama global baru, di mana keterlibatan Tiongkok bisa menahan pengaruh elit yang ada atau bahkan memicu perubahan besar.