Mohon tunggu...
Kompasiana Larantuka
Kompasiana Larantuka Mohon Tunggu... Administrasi - Kodim 1624/Flores Timur
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Informasi Seputar TNI - POLRI Larantuka

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Cara Membedakan antara Peristiwa Pidana dengan Musibah dalam Rangka Menciptakan Keadilan bagi Berbagai Pihak

21 Agustus 2022   18:09 Diperbarui: 21 Agustus 2022   18:12 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang mana seseorang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran yang mengakibatkan kerugian pada diri orang lain ataupun dirinya sendiri baik yang berupa jasmani, rohani, ataupun barang yang diatur sedemikian rupa di dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.

Di antara peristiwa di dalam kehidupan ini ada yang mengakibatkan kerugian seperti yang dimaksud di atas dan ada juga suatu peristiwa yang di luar kekuasaan manusia, atau dengan kata lain tidak ada unsur kesalahan ataupun bersifat melawan hukum dari seseorang terhadap orang lain. 

Misalnya tidak ada kesengajaan seseorang dalam gradasi yang paling rendah sekalipun untuk merugikan orang lain. Keadaan yang berada di luar kemampuan manusia untuk mengendalikannya itu biasa kita sebut "musibah". Begini cara membedakan antara peristiwa pidana dengan musibah supaya tidak ada yang merasa dirugikan dalam rangka menciptakan keadilan bagi berbagai pihak.

Keadaan yang rentan disalahartikan mengenai apakah suatu peristiwa dikatakan sebagai peristiwa pidana atau musibah adalah mengenai kecelakaan lalu lintas. Ketika terjadi suatu kecelakaan lalu lintas ada kecenderungan siapa yang masih hidup atau yang tidak terluka akan menjadi tersangka. 

Keadaan seperti itu akan dituduhkan dengan pernyataan, "karena kelalaiannya sehingga menimbulkan orang lain luka-luka atau meninggal dunia". Orang yang mengendarai mobil dibandingkan dengan yang mengendarai motor, ada kecenderungan yang mengendarai mobil lah yang akan menjadi tersangka jika yang mengendarai motor atau yang diboncengnya mengalami luka-luka atau bahkan meninggal dunia. 

Hal yang perlu kita pedomani juga adalah bahwa belum tentu semua peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah kesalahan manusia. Sehingga mengenai hal ini haruslah diperhatikan dan dipelajari lebih teliti agar adil bagi berbagai pihak.

Untuk lebih jelasnya mari kita contohkan salah satu pasal di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu pasal 310 mulai ayat (1) hingga ayat (4). 

Di dalam ketentuan Pasal 310 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut mensyaratkan adanya unsur kelalaian dari si pelaku baru dapat dipersalahkan atau dipidana. Lalu bagaimana jika tidak ada unsur kelalaian seperti yang dimaksud peraturan perundang-undangan? Untuk lebih jelasnya mari kita bahas lebih mendalam mengenai "kelalaian" ini.

Kelalaian berasal dari kata dasar "lalai". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lalai artinya kurang hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah; tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu, terlupa.

Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 310 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka perbuatan tersangka haruslah dianggap kurang hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah, tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu, atau terlupa akan sesuatu ketika dihadapkan pada keadaan yang akan dan sedang berlangsung pada saat itu.

Contoh-contoh kasus kelalaian dalam kaitannya menggunakan kendaraan baik yang beroda dua ataupun beroda empat atau lebih yang menimbulkan kecelakaan, dapat dikarenakan si pengendara (khusus motor) tidak menggunakan helm atau si penumpangnya dibiarkan tidak menggunakan helm; si pengendara sambil berbicara menggunakan telpon; si pengendara sambil menonton atau mengoperasionalkan tape atau video di mobil; 

si pengendara atau yang berada didekatnya saling bertengkar; si pengendara menerobos lampu lalu lintas yang masih/sudah berwarna merah; si pengendara mendahului/menyalip kendaraan di depannya padahal sudah ada marka jalan tidak terputus-putus di tempat ia menyalip itu; 

si pengendara ketika hendak menyalip kendaraan lain tanpa memberi tanda klakson atau lampu sign kanan/kiri; berkendaraan melaju berlawanan arah dari yang seharusnya; si pengendara melaju dengan kecepatan di bawah batas minimal ataupun di atas batas maksimal pada suatu jalan tertentu;

si pengendara memasuki suatu areal tidak melalui jalan masuk yang semestinya (misal, seharusnya dari pintu masuk tetapi dari pintu keluar); dan banyak contoh lainnya.

Di dalam kehidupan di dunia ini sangat banyak kemungkinan peristiwa yang terjadi, dengan berbagai bentuk dan caranya. Ada juga kalanya ketika terjadi kecelakaan ternyata memang tidak ada kelalaian sama sekali namun kecelakaan tidak dapat dihindarkan. 

Pengertian "kelalaian" pada kenyataannya haruslah ditentukan atau dibandingkan berdasarkan penalaran jika suatu keadaan yang sedang dinilai diterapkan terhadap setiap orang apakah ada yang bisa menghindarinya? 

Jika tidak ada seorangpun yang sekiranya bisa menghindari keadaan yang dimaksud, berarti kejadian kecelakaan tersebut memang merupakan suatu musibah dan tidak perlu ada yang disalahkan. Keadaan seperti itu perlu juga diterapkan kepada para penegak hukum (petugas penyidik, oditur militer, dan hakim militer) apakah jika berada pada posisi tersangka bisa berbuat lain atau menghindari suatu kecelakaan yang dimaksud.

Dan jika sama-sama tidak bisa berbuat lain, maka tidak akan ada yang dituntut atau dimintai pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Hal yang demikianlah yang namanya "musibah". Namun berdasarkan etika yang layak biasanya ada biaya kerahiman terhadap orang atau keluarga yang tertimpa musibah lebih parah dari pihak yang mengalami kecelakaan lebih ringan.

Terutama bagi kaum muslim, pihak yang telah mengakibatkan orang lain meninggal dunia, jika tidak disengaja, diwajibkan memayar diyat sesuai ketentuan syariah Islam.

Perhatikan contoh-contoh berikut ini:

Si A adalah pengendara mobil atau motor sedang melaju di jalan raya dengan kecepatan normal, semua hal sudah ada pada dirinya, tanpa kelalaian, tanpa kesalahan sedikitpun.

Namun tiba-tiba ada motor keluar dari gang yang melaju tidak terkontrol (mungkin karena memang ada kekurangan di pihak orang yang ini, si B), karena terlalu mendadak dan jarak sangat dekat sehingga si pengendara yang sedang melaju normal tadi sudah tidak bisa atau tidak mungkin lagi menghentikan kendaraannya dan akhirnya menabrak motor yang tiba-tiba keluar dari gang tadi. 

Tentunya si A tidak dapat dipersalahkan karena kendaraannya telah menabrak motor si B, karena jika hal ini diterapkan terhadap orang lain maka orang lain pun tidak akan dapat berbuat lain selain terjadi tabrakan. 

Kejadian kecelakaan ini adalah musibah bagi si A dan tidak perlu dituntut baik secara pidana maupun perdata (ganti kerugian) namun kejadian tersebut adalah akibat kelalaian atau kesalahan si B. Meskipun demikian tetap saja jika si B mengalami luka yang parah atau bahkan meninggal dunia maka si A secara moral akan tergerak untuk memberikan uang kerahiman ataupun membayar diyat.

Contoh lain, adalah seorang pengendara mobil atau motor sedang melaju di jalan raya (tanpa kesalahan atau kelalaian apapun) yang posisinya berada di tengah-tengah antara kendaraan di belakang dan di depannya. Kemudian kendaraan yang berada di belakangnya menabrak kendaraannya itu, kemudian karena tabrakan tersebut kendaraannya menabrak kendaraan lain yang berada di depannya. 

Jika jarak antara kendaraannya dengan kendaraan di depannya sudah sesuai perimbangan antara batas kecepatan dengan jarak minimal maupun maksimal maka ia tidak dapat dipersalahkan karena kelalaian meskipun kendaraannya menabrak kendaraan di depannya. Oleh karenanya ia tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara pidana maupun perdata (ganti kerugian).

Dari kedua contoh di atas dapat kita lihat bahwa tidak setiap saat pihak yang terluka atau dianggap sebagai korban adalah pihak yang benar dan orang yang menimbulkan orang lain menjadi korban adalah pihak yang salah. Dalam hal ini pihak korban yang memiliki kelalaian atau kesalahan, sedangkan bagi pihak yang menimbulkan korban hal itu justru merupakan musibah. 

Ada hal-hal yang sepertinya tidak mungkin terjadi kecelakaan lalu lintas jika tidak ada kelalaian dari si tersangka (sebagai yang menimbulkan korban di pihak lain), padahal pada kenyataannya bisa saja sebenarnya "korban adalah pelaku, dan yang diduga sebagai pelaku adalah korban".

Oleh karenanya dalam melakukan penilaian tentang kebersalahan seorang prajurit TNI harus betul-betul diteliti secermat mungkin.

Berprinsiplah mencari fakta/kebenaran bukan prinsip mencari pelaku, maka kebahagiaan akan menjagamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun