Mohon tunggu...
Kompasiana Larantuka
Kompasiana Larantuka Mohon Tunggu... Administrasi - Kodim 1624/Flores Timur
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Informasi Seputar TNI - POLRI Larantuka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perbedaan Agama dalam Pernikahan di Lingkungan Militer

20 Agustus 2022   11:06 Diperbarui: 20 Agustus 2022   11:12 3718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PRAJURIT TNI DAN MILITER

"Mengalir seperti air, berhembus laksana angin. Tidak terhanyut dan tidak ribut. Mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan."

PRAJURIT TNI YANG BERBEDA AGAMA DENGAN PASANGANNYA PADA SAAT DALAM PERKAWINAN MERUPAKAN SALAH SATU ALASAN UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN IZIN CERAI SECARA KEDINASAN DI LINGKUNGAN KEHIDUPAN MILITER.

Pada pembahasan yang lalu telah kita ketahui mengenai alasan-alasan dan pertimbangan terjadinya perceraian. Mengenai perkawinan termasuk di dalamnya juga tentang perceraian telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahn 1974 tentang Perkawinan tidak dijelaskan tentang bagaimana jika pasangan suami-istri berbeda agama setelah menikah. Prajurit TNI yang berbeda agama dengan pasangannya pada saat dalam perkawinan merupakan salah satu alasan untuk mengajukan permohonan izin cerai secara kedinasan di lingkungan kehidupan militer.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 

Dari ketentuan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya negara pun mengakui bahkan mendasarkan suatu perkawinan tergantung aturan agama dan kepercayaannya orang-orang yang melakukan perkawinan itu sendiri. 

Jika suatu pasangan yang melakukan perkawinan itu beragama Islam, tentu akan berbeda dengan yang bukan beragama Islam. Atau jika suatu pasangan itu beragama Katholik, tentu akan berbeda dengan yang bukan beragama Katholik, dan seterusnya. Mengenai hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (7) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: "Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain".

Sebelum kita bahas lebih lanjut tentang hal ini, maka agar pemahaman kita tidak keliru, sebaiknya kita perhatikan lagi perbedaan antara pengertian pernikahan dengan perkawinan.

Bagaimana jika satu pihak adalah muslim (beragama Islam) dan pihak lainnya adalah non-muslim?

Suatu perkawinan dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaannya itu. Suatu pasangan adalah satu kesatuan. Jika salah satunya dikatakan melakukan perkawinan maka pihak yang lainnya juga melakukan perkawinan, karena perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan itu adalah perbuatan saling melakukan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika salah satu pihak tidak melakukan perkawinan terhadap pihak lainnya maka pihak lainnya itu tidak dapat dikatakan telah melakukan perkawinan dengan pihak tersebut.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas telah nyata bahwa perkawinan dilakukan berdasarkan satu agama dan kepercayaannya dari pasangan itu sendiri. Terutama menurut ajaran agama Islam bahwa jika seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berada dalam perkawinan kemudian mereka menjadi berbeda agama (pihak yang satu muslim sedangkan pihak lainnya non-muslim) maka seketika itu juga secara otomatis pasangan tersebut sudah bukan sebagai suami dan istri lagi. 

Perhatikan QS.Al-Baqarah: 221, bahwa Allh SWT melarang perkawinan beda agama, dan QS. Al-Mumtahanah: 10, bahwa jika sudah berbeda agama maka hubungannya menjadi haram. Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan perkawinan beda agama dengan Nomor 4/MUNAS-VII/MUI/8/2005. Adapun surat-surat yang timbul karena adanya perceraian, termasuk akta cerai dari pengadilan, hanyalah bukti formal yang merupakan kelengkapan administrasi.

Terutama bagi yang muslim, mengenai perkawinan sudah sangat jelas diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang perintah penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil loka karya ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 s.d. 5 Februari 1988 yang terdiri dari 3 (tiga) buku yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.

Berdasarkan Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita bila wanita yang bersangkutan masih terikat dalam perkawinan dengan pria lain, yang masih berada pada masa iddah dengan pria lain, dan/atau yang tidak beragama Islam. 

Dalam Pasal 44 KHI juga terdapat larangan wanita yang beragama Islam melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam. Bahkan di dalam KHI Bab X tentang Pencegahan Perkawinan dalam Pasal 61, dikatakan bahwa tidak sekufu karena perbedaan agama menjadi alasan untuk mencegah perkawinan.

Bagaimana jika kedua pihak adalah non-muslim (bukan yang beragama Islam) namun berlainan pula agama dan keyakinannya?

Yang perlu kita ketahui, mengerti, dan pahami adalah bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bukan hanya mengatur warga negara Indonesia yang beragama Islam melainkan juga yang beragama Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Aturan lebih lanjut mengenai kehidupan perkawinan pada kelima agama yang disebutkan terakhir itu dikembalikan kepada ajaran agama dan kepercayaannya itu.

Pada intinya, untuk mencapai makna perkawinan yang sebenarnya, tidak mungkin akan terjamin jika jalannya (agama dan kepercayaannya itu) berbeda. Penulis tegaskan lagi bahwa suatu perkawinan itu adalah menyatukan dua orang (laki-laki dan perempuan) dalam satu keyakinan agama dan menjalankan kehidupan berumah tangganya itu berdasarkan ajaran agama dan kepercayaannya yang sama.

Tidak boleh terjadi dalam satu rumah tangga menjalankan kehidupan berdasarkan lebih dari satu agama dan kepercayaannya itu. Jika terjadi maka perkawinan tersebut tidak sah. Dan khusus mengenai perkawinan sesungguhnya lebih mengutamakan pada fakta daripada formalitas yang berupa berkas administrasi

Ingat bahwa surat atau buku nikah bukan merupakan syarat sahnya perkawinan.

Oleh karena itu, agar pemahaman kita tidak keliru, sebaiknya kita perhatikan lagi perbedaan antara pengertian pernikahan dengan perkawinan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun