Mohon tunggu...
Debora Kristiani Rahardjo
Debora Kristiani Rahardjo Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang pembelajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ini Ceritaku #2: Si Remahan Rempeyek

8 Januari 2024   00:57 Diperbarui: 8 Januari 2024   02:05 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo semuanya...

Di tulisan-tulisan saya sebelumnya saya sempat menyampaikan bahwa saya adalah seorang guru. Saat ini saya bekerja sebagai guru IPA di sebuah SMP swasta di Salatiga. 

"Guru IPA? Wah berarti pinter dong?"

Lontaran kalimat tersebut beberapa kali terucap oleh orang ketika bertanya mengenai profesi saya. 

Ya.. seringkali orang memandang seorang yang berprofesi sebagai guru adalah orang yang pintar. Terlepas dari banyak juga orang yang meremehkan profesi guru karena gajinya kecil ya. Namun di mata saya, tidak selalu guru itu lebih pintar dari peserta didiknya. Guru hanyalah sosok yang sudah belajar terlebih dahulu dari peserta didiknya.

Saat ini saya ingin sharing perjalanan hidup saya hingga saya memutuskan menjadi guru. Seperti judul yang saya tuliskan "Si Remahan Rempeyek". Kalau di Jawa, rempeyek adalah semacam keripik yang dicampur dengan kacang atau ikan teri. Ya, saya mengilustrasikan masa kecil saya seperti remahan rempeyek yang seringkali diremehkan orang. 

Selama bersekolah, saya merasa bukan termasuk peserta didik yang aktif dan pintar di sekolah. Saya tidak pernah mendapat ranking 1 di kelas, tidak pernah ikut lomba, bahkan pernah jadi ranking terakhir di kelas. Saat SD kelas 6 bahkan nilai ujian matematika saya hanya 46. Itu karena saya sempat terkena cacar air selama hampir 1 bulan. Sehingga saya ketinggalan pelajaran.

Hal itu berlanjut ketika saya SMP kelas 7. Di kelas 7 saya sangat kesulitan untuk memahami pelajaran matematika dan IPA. 2 mata pelajaran ini sangat tidak saya sukai waktu itu. Namun kemudian di kelas 8 saya diajar oleh seorang guru IPA baru yang dapat menyampaikan materi dengan baik. Nah, di kelas 8 inilah saya mulai bangkit dan bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Saat itu saya sering mendapat nilai 100 di pelajaran IPA dan Matematika. Sangat berubah dari saya yang sulit sekali paham IPA dan Matematika menjadi sangat suka dengan pelajaran tersebut. Sejak itu saya mulai berpikir untuk mengambil jurusan IPA saat SMA dan kuliah Biologi. Di kelas 9 saya berhasil mendapatkan nilai 97,5 di mata pelajaran IPA dan Matematika serta meraih rata-rata nilai UN sebesar 90,8. Setahu saya saat itu nilai saya tertinggi di kelas.

Karena nilai UN saya yang cukup baik, akhirnya di SMA saya dimasukkan ke kelas "Unggulan" yang isinya adalah 24 besar peserta didik kelas 10. Jadi dulu di sekolah saya ada 1 kelas khusus untuk anak-anak yang nilainya tergolong tinggi yang disebut kelas unggulan ini. Namun apa yang terjadi? Saya memang memiliki nilai yang tinggi, namun saya bukanlah anak yang bisa belajar dengan cepat. Saya bisa mendapatkan nilai yang tinggi karena saya tekun dan rutin belajar di rumah. Berbeda dengan teman-teman saya di kelas unggulan yang ketika diajari di kelas mereka bisa langsung paham. Saya tidak bisa demikian. Dampaknya ketika teman-teman saya di kelas sudah paham, saya belum paham sendiri karena saya tipe anak yang butuh waktu lebih untuk mengolah materi pelajaran. 

Nah, di situ saya merasa tertekan karena beberapa kali teman saya melirik sinis ke arah saya ketika saya salah menjawab pertanyaan guru di kelas. Begitu juga ketika saya mendapat nilai 100, mereka juga melirik sinis kepada saya. Saya merasa tidak memiliki teman di kelas itu karena sulit sekali mendekati teman-teman saya yang pintar itu. Hal ini berlangsung selama 3 tahun karena dari kelas 10-12 saya selalu masuk ke kelas unggulan tersebut. 

Saya terus merasa paling bodoh di kelas karena saya selalu mendapat peringkat terakhir. Ranking tertinggi saya saat itu hanya ranking 19 dari 24 anak.  Meskipun ketika penerimaan rapor, wali kelas saya menyampaikan pada orang tua saya jika nilai saya masih tergolong baik jika dibanding kelas non unggulan. Tapi saat itu saya tidak peduli karena dimata saya ya saya paling jelek nilainya. Kejadian itu sebenarnya cukup mengganggu kepercayaan diri saya. Saya tidak bisa melihat bahwa nilai saya sebenarnya baik karena lingkungan teman saya nilainya masih jauh di atas saya dan saya merasa dipandang remeh oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun