Jika berbicara mengenai guru, saat sekarang tidak lagi dimaknai sebagai figur pahlawan tanpa tanda jasa. Jabatan sebagai guru menjadi primadona setelah guru diberikan kesempatan untuk memperoleh sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Guru sebagai tenaga profesional tidak hanya memiliki penghasilan tetap dan memperoleh jaminan fasilitas kehidupan. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan berupa tunjangan profesi yang diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Namun jika melihat realitas yang ada, menurut Dedi Supriyadi (1999) bahwa guru sebagai suatu profesi di Indonesia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) atau tingkat kematangannya belum sampai pada yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semi profesional.
Hal itu terjadi karena desakan pembangunan dalam dunia pendidikan yang melaksanakan program wajib belajar dan pemerataan pendidikan, membuat peningkatan kuantitas dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini tidak disertai peningkatan kualitas yang memadai, termasuk kualitas guru itu sendiri.
Banyak tanggapan menyatakan bahwa rendahnya mutu pendidikan disebabkan karena kurangnya profesionalisme guru dalam mengemban tugas-tugas persekolahan. Lambannya perkembangan pendidikan Indonesia di dunia disebabkan karena rendahnya disiplin guru dalam menyelesaikan standar beban kerja.
Lahirnya suara sumbang di atas, harusnya tidak dimaknai sebagai bentuk tekanan kepada guru atau bentuk sikap mengkerdilkan fungsi guru. Ini lebih mengaharapkan terwujudnya idealisme, semangat dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung jawab profesionalisme guru dalam menjalankan tugas-tugas mulianya.
Juga bukan untuk mengkebiri kerja guru, tetapi agar para umar bakri lebih memahami bahwa profesinya sebagai guru merupakan agent of change, yang membawa perubahan bangsa menjadi lebih baik.
Jika berbicara mengenai kurangnya profesionalisme dan rendahnya disiplin guru bukanlah masalah positive atau negative thinking. Ini adalah fakta yang perlu dicari jalan keluarnya. Sebelum dirumuskannya formula sertifikasi, tidak ada sekolah negeri yang menetapkan peraturan ketat dan dikenai sangsi tegas agar guru harus bekerja paling sedikit 24 jam dan maksimal 40 jam seminggu sebagaimana profesi lain di instansi pemerintah. Jadi tidak usah merasa bersalah (apalagi merasa marah dengan fakta yang penulis sampaikan) dengan praktek yang menjadi business as usual (hal biasa sering terjadi) di lingkungan pendidikan Indonesia.
Berkaitan dengan itu, suatu pekerjaan dapat menjadi profesi harus memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu yang melekat dalam pribadinya sebagai tuntutan melaksanakan profesi tersebut. Menurut Wirawan (dalam Dirjenbagais Depag RI, 2003) menyatakan persyaratan profesi antara lain, di antaranya; pekerjaan penuh, memiliki kualifikasi bidang ilmu, dan memiliki standar profesi.
Peran guru sangatlah dominan (dari keluarga dan masyarakat) dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial persekolahan. Di sana guru mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal dalam proses yang berjenjang dan memiliki ciri berkesinambungan.
Dengan demikian, jika berpedoman kepada Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.14 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional, maka ditemukan di Pasal 22 ayat 4, bahwa paket kerja guru berisi paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka per minggu, dibuat oleh guru yang bersangkutan dan ditetapkan oleh kepala sekolah. Jadi mau tidak mau guru harus bekerja sepenuh hari. Bukan sepenuh hati seperti yang disampaikan Ariadi Uska dalam Opininya berjudul Oemar Bakri Itu Tidak Ada Lagi di Singgalang, Jumat (19/6).
Untuk melaksanakan tugas-tugas keprofesiannya setiap hari, maka guru harus dibekali ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan diperlukan guru untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Salah satu persyaratan ilmu pengetahuan adalah adanya pemahaman teori-teori berkaitan dengan profesi tersebut, yang diperoleh secara edukatif. Setidaknya profesi sebagai guru sekurang-kurangnya berkualifikasi strata satu (S1) dan dapat dibuktikan secara formal melalui ijazah pendidikan.
Profesionalisme guru juga tidak cukup sekedar pemahaman ilmu. Karena untuk mengimlementasikan dan mengarahkan guru ketika mengambil langkah-langkah tepat dalam melaksanakan tugas profesinya, seorang guru harus memiliki segudang pengalaman sebagai pola penerapan ilmu.
Untuk mencapai kualitas out put yang sesuai dengan visi pendidikan Indonesia, maka pelaksanaan pendidikan harus memiliki standar yang jelas, termasuk standar profesi guru. Di beberapa negara telah memperkenalkan “Standar Profesional untuk guru dan Kepala sekolah”. Misalnya di Amerika disebut dengan National Board of Professional teacher Standards yaitu pengembangan standar dan prosedur penilaian kerja guru berdasarkan pada 5 prinsip dasar (Depdiknas, 2005) yaitu:1) guru bertanggung jawab terhadap siswa dan belajarnya, 2) guru mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut kepada siswa, 3) guru bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa, 4) guru berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari pengalaman.
Akhirnya, penulis kira momentum sertifikasi profesi yang di dalamnya juga terdapat “persyaratan profesi guru” yang diberlakukan secara ketat pada tahun 2012 dapat menjawab persoalan ini. Karena sejatinya ritual sertifikasi bukan hanya sekedar sebuah “revolusi” untuk meningkatkan gaji guru, tetapi merupakan suatu political will pemerintah dalam rangka meningkatkankualitas guru yang sangat besar konstribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Semangat untuk tetap belajar (bukan hanya mengajar) akan membantu guru untuk meng-upgrade pengetahuannya, sehingga menyiasati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang memanfaatkannya untuk kemajuan proses belajar mengajar di kelas.
Tulisan ini dimuat di Opini Harian Singgalang, Senin (9/7)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H