Beberapa hari belakangan ini ramai pemberitaan terkait revisi rancangan ketentuan umum perpajakan. Atau yang disingkat dengan RUU KUP. Hal yang menjadi perhatian adalah terkait penambahan objek pajak pertambahan nilai yang semula bukan termasuk objek pajak pertambahan nilai menjadi objek pertambahan nilai seperti jasa pendidikan sebelumnya tidak kena pajak, serta adanya tariff pajak pertambahan nilai yang variatif.Â
Sebagaimana kita ketahui pajak merupakan salah satu sumber penghasilan terbesar bagi Negara yang dipergunakan untuk pembangunan dan pembelanjaan Negara. Sehingga Pemerintah sebagai regulator beberapa kali mengeluarkan aturan untuk mengatur kebijakan fiscal terkait pemungutan pajak dan imbasnya pada perekonomian.
Salah satu aturan pajak yang akan diubah oleh Pemerintah yaitu RUU KUP yang telah beredar, terdapat beberapa pasal yang mengalami perubahan, diantaranya yang berubah salah satunya terkait penyidikan tindak pidana perpajakan. Dapat diperhatikan sebelumnya beberapa kali terjadi kasus pidana dibidang perpajakan, diantaranya kasus pengusaha online advertising di Kanwil DJP Bali dengan dugaan sengaja menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dan/atau keterangan Tahun Pajak 2015 yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.Â
Pada kasus tersebut PPNS sempat mengalami kesulitan karena tersangka sempat melarikan diri dari kewajibannya serta dimasukkan kedaftar pencarian orang (DPO).
Jika Perubahan RUU ketentuan umum perpajakan yang beredar tidak mengalami perubahan dan berlaku, maka hal tersebut tidak terjadi karena pada RUU Ketentuan Umum Perpajakan mengatur Penyidik pajak  memiliki wewenang untuk menangkap dan menahan tersangka kasus tindak pidana dibidang perpajakan.
Penyidik tindak pidana perpajakan  dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.Â
Selain penambahan wewenang dapat menangkap dan menahan tersangka, pada RUU KUP Penyidik juga mempunyai wewenang untuk melakukan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaan milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Hal tersebut menambah keleluasaan Penyidik Pajak dalam melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana perpajakan.
Pada KUP sebelumnya membatasi wewenang penyidik yang tidak bisa melakukan penahanan dan  melakukan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaan milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini membuat Penyidikan dapat lebih leluasa dalam menyidik kasus tindakan pidana dibidang perpajakan.
Selain menambah wewenang penyidik, dalam RUU KUP juga menyisipkan aturan terkait penghentian penyidikan.  Pada KUP sebelumnya  Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Pada RUU KUP Â penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi dengan merubah besarnya denda yang dikenakan yaitu:
a. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;