Masa paling membahagiakan bagi seorang perempuan ialah menikah. Di pinang dengan cinta yang saling mencintai, membangun cinta dalam bilik rumah tangga, menjadi madrasah utama bagi malaikat kecilnya dan penakluk pintu surganya yaitu sang suami. Namun, perjalanan seorang perempuan untuk mencapai semua itu tak selalu indah. Banyak kerikil yang tajam berduri yang harus ia lewati berderai aliran sungai suci dalam danaunya.
Di depan pantai berdiri seorang perempuan anggun dengan sibakan jilbab panjangnya. Desir ombak pantai Anyer pesisir Jawa Barat telah memancarkan mata oval itu dengan sedikit binaran lamunannya tadi, sentak lamunan itu tersadar saat seseorang menyapanya.
"Fat .." dari belakang terdengar suara khas yang ia kenal ..
"Iya, kamu sudah datang rupannya." tengok Fatma.
"Ada apa? bukankah kamu harusnya duduk manis di rumah menunggu ke datangan rombongan keluargaku?"
"Ada yang ingin aku bicarakan."
"Penting?"
"Iya." Fatma menoleh padanya sambil duduk di atas pasir putih, lalu di ikutilah ia
"Keliatannya serius sekali, ada apa Fat?" lelaki itu kembali bertanya diam keheranan
"Sebelum janjimu terpenuhi apakah kamu benar-benar yakin akan menikahiku?"
"Jika tidak, kenapa sejauh ini aku berusaha melangkah untukmu."
"Terima kasih, kamu tau kan empat perkara dalam menikahi seorang perempuan itu apa saja?"
"Iya aku tau seorang wanita di nikahi karena empat perkara. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung. (Dikutip dari kitab mukhtar al-hadits an-nabawi hal 63 n0 21.)"
"Maafkan aku sebelumnya. Aku tidak punya harta lebih, tidak dari keturunan bertahta, tidak juga berparas cantik dan agamaku aku masih belum bisa menjadi muslimah yang baik."
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak punya apa-apa Al. Aku malu padamu, aku cuma punya dua hal agamaku dan puisi."
Lelaki bernama Aldi itu tersenyum, kekhawatirannya akan pikiran aneh Fatma hilang dan ia segera menjawab sembari menatap Fatma yang masih fokus bercumbu dengan ombak "Itu sudah lebih dari cukup untukku. Nanti aku mau lihat ya puisimu."
*****
Pujian-pujian menjelang Adzhan subuh berdendang begitupun aktivitas di dalam rumah Fatma, semua orang sibuk mondar-mandir mempersiapkan segalanya agar sempurna menjelang akad yang akan di mulai setelah shalat subuh. Di dalam kamar pengantinpun perempuan bernama Fatma Aining Fhatihade itu nampak cantik nun anggun berbalut gaun pernikahan yang syar'i. Make upnya tak terlalu tebal sengaja ia minta karena memang dia tak terlalu suka bermake up, di depan cermin ia menatap dirinya bisu. Ada benak yang tersembunyi dalam dirinya, sejenak Ia menoleh pada mahar yang kemarin di bawakan Aldi dan keluarga saat melamarnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Fatma Aining Fhatihade binti Abdul Khodir dengan mas kawin tersebut tunai." lantangnya suara Aldi melegakan para saksi yang langsung menyambut dengan kata "Sah" Fatma yang yang menunggu di dalam kamar mendengar lega pula sampai ia di ampit oleh Ibunya berjalan menuju Aldi.
*****
Menjelang pukul 07.00 WIB lebih Aldi dan Fatma masih segan menyalami para undangan yang ikut berbahagia. Sampai akhirnya Fatma sedikit lelah karena sedari tadi berdiri menyalamai undangan dan ia pun mengajak Aldi untuk sejenak shalat dhuha bersama dulu, Aldi mengiyakan.
Dalam balutan mukenah putih, Fatma masih mengenakan gaun pengantinnya. Mata Aldi seperti di manjakan oleh bidadari di depannya sampai ia kembali senyum menatap Fatma. Salam terakhir dalam shalat berakhir. Namun Fatma masih sujud, saat menoleh Aldi kira Fatma memang lagi khusu sampai panjatan doa Aldi berakhir Fatma masih tetap sujud. Segera ia cek, ternyata Fatma sudah tiada dengan senyumnya yang tersungging lengsung pipi.
Aldi kaget, berderai air mata lelakinya terlebih saat ia tak sengaja melihat dan membaca selembar kertas dalam sibakan sajadah Fatma yang berisi tulisan puisi Fatma yang berjudul "Aku Cuma Punya Agama dan Puisi".
Untuk lelaki yang sangat aku sayangi, terima kasih sudah menepati janjimu pada hari bahagia ini, maaf aku cuma punya ini Mas.
Aku Cuma Punya Agama dan Puisi
_fhatihade
Larik ini ku tulis atas nama cinta-Nya
Berbalut kasih sayang mereka dan kau jua
Larik ini sajak sederhanaku
Di bingkai sebagai kado terakhirmu
Sudah ku bilang aku hanya sekedar bunga lalu lalang
Namun kau tetap mantapkan hati tak berpalang
Kasih tak harus bersama
Berpisahmun kan tetap dalam doa
Aku bukan bunga yang segan mewangi
Aku bukan embun yang selalu sejuk membasahi
Aku juga bukan perempuan-perempuan teladan dalam kisah Nabi
Aku hanya selayang bunga sederhana di kediaman diri
Aku cuma punya agamaku
Aku cuma punya puisiku
Terima kasih sudah sudi menggenggam sampai detik ini
Ku tunggu dalam sajak surgawi
Cirebon, 11 April 2016
cc : Bunga Lalu Lalang61
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI