Mohon tunggu...
Bernadeta Valentina
Bernadeta Valentina Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Masih menekuni Ilmu Kelautan, belum sarjana. Menulis insting, sisanya menjelma sastra di https://debernval.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bebaskan Lumba-Lumba, Jangan Beli Tiket!

13 Oktober 2015   13:11 Diperbarui: 13 Oktober 2015   13:18 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lumba lumba. Mamalia ini hidup berkomunitas di habitatnya (laut lepas), karena itu munculnya lumba lumba di permukaan seringkali berkelompok dalam kawanannya. Lumba-lumba memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga mengenal sistem pengasuhan anaknya, memanggil kawanan, dan berbagai kode peringatan bagi kawanannya. Mereka juga secara alami dilengkapi oleh sistem sonar yang sangat peka terhadap suara sebagai penentu arah, pemindai, dan mampu memetakan lingkungannya. Sayang sekali, bahwa sampai saat ini mereka masih menghadapi masalah serius.

Lumba-lumba dalam Pertunjukan

Lumba lumba tidak pernah bahagia di dalam sirkus. Setelah ditangkap secara paksa oleh nelayan (biasanya dibayar oleh tempat-tempat penyedia pertunjukan lumba lumba), mereka dipisahkan dari kawanannya, dan mulai dipekerjakan dengan sistim ‘lapar’ yang berarti tidak ada makanan jika tidak beraksi dengan baik. Kebiasaan metode berburu akhirnya harus musnah. Air tawar dengan klorin berlebih menjadi satu satunya pilihan, meskipun diketahui atau tidak oleh pihak pelaksana bahwa air berkaporit ini mampu membutakan mata lumba lumba dan menyakiti kulitnya. Setidaknya, air biru jernih yang kelihatan sehat ini mampu mengelabui mata penonton.

Ketika lumba lumba memulai aksi, sorakan dan riuh rendah penonton tak jarang membahana, ironis bahwa tepuk tangan dan sorakan sorakan ini merupakan suara yang asing dan karena frekuensinya yang membingungkan mampu mengacaukan sistem sonar lumba lumba. Dalam pertunjukan dan selama sisa hidupnya di sirkus, lumba lumba hidup dalam tangki kecil (seberapapun besarnya) yang tidak mampu menandingi laut lepas sebagai habitat aslinya. Di laut, lumba lumba terbiasa untuk berenang dengan jarak tempuh yang jauh dan bermain dalam ombak dan arus, tentu saja tanki kecil dengan air laut sintetis meningkatkan stres, menimbulkan penyakit dan tak jarang kematian. Selama sisa hidupnya yang menyakitkan ini, kebanyakan masyarakat masih terhibur dan tertawa karena atraksinya. Bila lumba lumba di habitatnya mampu hidup sampai 40 tahun, lumba lumba di penangkaran hanya mampu hidup kurang lebih 5 tahun.

 gambar: pribadi

Demi Uang

Tidak lepas dari faktor ekonomi di segala bidang kehidupan manusia, lumba-lumba menjadi target pasar yang sangat laris dan di lokasi lokasi yang berjudul penangkaran pun, bisnis sirkus masih terus bergulir. Sirkus lumba lumba keliling, bahkan di kebun binatang masih memiliki banyak dalih atas terselenggaranya kegiatan-kegiatan yang menyakiti lumba lumba lahir maupun batin.

Lumba-lumba sebagai ajang hiburan yang mengalirkan rupiah dengan deras menjadi dasar ego yang belum bisa ditekan, terutama di Indonesia. Kemampuan lumba lumba sebagai terapis anak berkebutuhan khusus juga menjadi salah satu alasan, meskipun pada artikel yang berjudul ‘Dolphin Assisted Therapy for Autism and Other Developmental Disorders: A Dangerous Fad’ oleh Lori Marino dan Scott Lilienfeld dijelaskan bahwa DAT (Dolphin assisted therapy) banyak diterapkan tanpa dasar ilmu yang jelas, justru kegiatan ini memiliki peluang membahayakan baik untuk manusia maupun lumba lumba. Namun, fasilitas DAT terus berkembang pesat dan disediakan dengan ongkos yang makin tinggi. Ada pula yang menyebutkan tujuannya untuk mengedukasi anak anak tentang hewan air dengan cara yang menarik. Itu pun, sesungguhnya tak bisa dikatakan sebagai edukasi mengingat bahwa anak anak seharusnya paham dimana dan bagaimana sesungguhnya lumba lumba hidup, bagaimana menjaga lingkungan habitat fauna, serta menjaga fauna untuk hidup layak dan sehat. Dengan membiarkan anak anak menonton pertunjukan lumba lumba di kandang, justru akan menanamkan pemikiran bahwa hewan hewan ini boleh dipakai untuk hiburan dengan kurungan dan perintah, serta mereka tidak seharusnya di alam bebas. Apapun alasan yang melatarbelakanginya, penyelenggaraan hidup lumba-lumba yang menyakiti jarang sekali dibahas demi keran rupiah tetap terbuka lebar. Meski telah banyak laporan kejadian kematian lumba lumba di kandang karena stres dan sakit, informasi tersebut tidak pernah di angkat ke media, dan tiket tetap laris sampai hari ini.

Upaya Konservasi

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Pemantauan dan pengawasan kegiatan kegiatan sirkus lumba-lumba dan mamalia laut lainnya juga mampu dilakukan di kalangan masyarakat. Saat ini, khususnya di Indonesia pertunjukan dan sirkus lumba-lumba masih dianggap wajar dan menyenangkan, sedangkan sedikit sekali masyarakat yang memahami konsep sadar satwa untuk melindungi hak kehidupan satwa. Konsep sadar satwa yang bertujuan menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya menjaga fauna dengan menjaga lingkungan habitat, menekan tingkat eksploitasi berlebihan, dan menjaga terselenggaranya kehidupan hewan yang sehat dan layak harus dipahami masyarakat.

gambar: ceta-journal.net

Dengan tidak membeli tiket dan tidak ikut menikmati pertunjukan lumba-lumba kita sudah mengambil langkah kecil untuk menekan tingkat laba penyelenggara. Jika laba semakin menurun, bisnis sirkus lumba-lumba juga akan berhenti. Memberikan edukasi bagi teman, kerabat dan orang orang di sekitar kita untuk sadar satwa juga sangat penting, mengingat masih rendahnya kepedulian masyarakat mengenai sadar satwa. Lakukan upaya konservasi juga dengan mengajarkan anak anak untuk menikmati keindahan lumba-lumba di habitatnya dengan berwisata. Tidak hanya pemerintah atau organisasi yang bergerak di bidang konservasi yang memiliki andil dan kewajiban untuk sadar satwa. Masyarakat pun harus mampu, ayo dukung gerakan dolphin anti captivity dengan TIDAK membeli tiket!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun