"Nadine, lo selalu bilang cinta gue.." aku memohon, agar dia mau meninggalkan lelaki yang melamarnya itu.
"Please, ngertiin gue.." dia terisak
Air matanya keluar membasahi pipinya yang merah. Aku membelai pipi basah itu, mengusapnya dengan punggung lenganku.
"Nadine, gue cinta elo.."
"Gue tahu.." jawabnya.
Aku mencium bibirnya, dan dia pun membalasnya. Aku tahu aku harus menerima kenyataan pahit ini, nyatanya bahwa dia memang bukan untukku, Tuhan yang tak adil memberi semua derita ini padaku. Aku mengamuk dalam hati, memaki akan takdir kejam yang dibebankan Tuhan untukku.
Aku melepaskan ciumanku, melangkah meninggalkan Nadine yang berdiri di tengah pendopo dalam taman.
"Mau kemana? Ini hujan.." tanya nya
Aku berlari meninggalkannya, mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi di bawah derasnya hujan, meninggalkan dirinya sendirian di taman sepi itu. Aku tak bisa lagi hidup di dunia ini, patah hati terlalu sakit ku terima, terlalu pedih ku rasakan.
Aku teriak di rimba hujan, memaki dan terus memaki pada Tuhan.
Aku menghilang beberapa waktu, tak menerima panggilan teleponnya, tak membalas SMSnya. Hingga aku membaca surat undangan pernikahan yang datang ke rumahku. Tertera nama Nadine dan Arga, lelaki yang merebut Nadine dari pelukanku.