Perkembangan teknologi informasi di dunia akan selalu berkembang dan berjalan secara terus menerus tanpa henti. Kehidupan serba digital menuntut dan memaksa kita untuk berdampingan dengan teknologi yang terus berjalan dengan sangat cepat tanpa ada yang dapat menghentikannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu alasan mengapa kita tidak dapat lepas dari perkembangan teknologi adalah karena adanya keinginan manusia untuk dapat hidup serba instan, efektif, dan efisien. Banyaknya media informasi membuat manusia bebas memilih ruang yang akan mereka jadikan sebagai sumber utama dalam mendapat informasi, salah satunya seperti media sosial.Â
Dalam media sosial, masyarakat dapat dengan mudahnya mendapatkan berbagai informasi secara terbuka dan transparan. Selain itu, kebebasan dalam berpendapat pun menjadikan media sosial sebagai ruang terbuka bagi semua orang untuk bertukar pikiran, menyalurkan, dan menyampaikan gagasan sesuai pandangan yang mereka miliki. Namun, kebebasan yang berlebihan dan tidak terkontrol justru dapat menjadi lubang bagi para pengguna media sosial itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya fenomena Post-Truth. Fenomena ini berawal dari tulisan Steve Tesich dalam majalah The Nation, yaitu "The Government of Lies" (1992). Pada awalnya, post-truth digambarkan untuk sebuah fenomena politik yang sedang terjadi di suatu negara, dan kemudian digunakan pada kehidupan manusia terutama pada fenomena yang belum jelas kebenarannya.
Post-Truth merupakan sebuah sebuah era dimana publik dibingungkan oleh berita atau opini yang beredar dengan kondisi dimana fakta tidaklah terlalu penting, melainkan emosi dan keyakinan personal (Ashari, 2021). Singkatnya, post-truth merupakan era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi sebuah kebenaran. Dalam bermedia post-truth juga kerap terjadi, khususnya dalam media sosial. Seperti yang kita ketahui, pergerakan yang terjadi di media sosial terus berjalan dengan sangat amat cepat. Dari pergerakan yang sangat amat cepat tersebut, seringkali digunakan bagi seseorang untuk menyelipkan kebohongan yang dapat meyakinkan orang lain, sehingga semua orang menganggap kebohongan tersebut adalah suatu kebenaran.
Selipan kebohongan dalam media sosial dapat semakin memburuk ketika kebohongan tersebut dilakukan oleh sekelompok orang. Semakin banyak orang yang menyampaikan kebohongan, maka akan semakin mudah untuk orang-orang percaya terutama jika berita tersebut berisi fenomena yang sama. Di era seperti sekarang ini, tentu sudah biasa jika ada sekelompok orang yang diperintah untuk menjadi penggiring opini bagi masyarakat. Hal ini diperparah jika sekelompok orang tersebut semakin meluaskan berita kebohongan tanpa henti, seperti buzzer yang dibayar oleh suatu pihak.
Buzzer atau pasukan siber merupakan sekelompok orang yang dianggap dapat mengangkat dan membuat sebuah topik menjadi suatu isu atau pembahasan yang dapat menarik perhatian banyak orang. Sesuai dengan artinya, buzzer berperan sebagai lonceng atau 'bel' bagi orang-orang di sekitarnya dengan menyuarakan pendapat atau pandangannya terhadap suatu isu. Pengaruh buzzer seringkali dipercaya dapat menjadi sebuah kompas atau penentu arah bagi banyak orang. Perannya untuk menyebarluaskan berita dengan membela atau berpihak kepada satu sisi membuat buzzer memegang peran yang besar pada pembentukan opini publik.Â
Pembentukan opini yang dilakukan buzzer semakin meluas ke banyak aspek, seperti politik maupun ekonomi. Banyak aktor politik atau pelaku bisnis yang mengerahkan buzzer untuk sekadar mempromosikan mereka, atau yang lebih parah lagi mereka akan menjatuhkan pihak lain dengan berita buruk yang tidak sesuai fakta dengan tujuan agar aktor atau pelaku tersebut mendapat perhatian lebih. Namun dengan banyaknya opini yang diberikan oleh para buzzer membuat masyarakat percaya bahwa berita yang beredar adalah benar, ditambah lagi dengan kekuatan buzzer yang dapat membuat suatu berita menjadi trending di media sosial.
Dalam era post-truth seperti sekarang ini, masyarakat tidak lagi merasa perlu untuk mengecek ulang tentang kebenaran suatu berita, melainkan berdasarkan kepercayaan banyak orang. Tanpa menghiraukan fakta dan rasionalisasi yang jelas, masyarakat lebih memilih untuk mempercayai begitu saja tentang berita yang disampaikan oleh buzzer. Hal ini yang membuat buzzer seringkali menjadi penentu opini publik, dan kita terus terjebak dalam fenomena post-truth. Untuk itu, sebagai pengguna media sosial, masyarakat harus lebih teliti dalam memilih dan memilah berita-berita yang akan dikonsumsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H