Mohon tunggu...
Arif Sambodin
Arif Sambodin Mohon Tunggu... Insinyur - Jangan membenarkan Kebiasaan, biasakanlah bekerja dengan benar.

berusaha menghadirkan yang haq agar yang bathil musnah dengan menggemerincingkan kepingan dinar dirham di tanah borneo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bena-benua Etam ing Martadipura

25 Oktober 2019   11:44 Diperbarui: 25 Oktober 2019   12:02 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin sebagian orang yang membaca tulisan judul di atas masih bertanya tanya, apa sih maksudnya "Bena Benua Etam ing Martadipura"? Oke untuk lebih detail agar tidak penasaran lebih jauh, mari kita terjemahkan kata kata dari bahasa kutai dan bahasa sangsekerta ujarnya. 

Bena Benua Etam yakni Care About Our Region (Pedulilah Daerah Kita) dan ing Martadipura  berasal dari kejadian abad ke -- 16, Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. 

Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi salah satu lokasi ibu kota baru Republik Indonesia. Presiden Joko Widodo, Senin (26/08/2019) siang, mengumumkan setelah melalui serangkaian kajian, pemerintah menetapkan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru.

Realitas mendasar pertama membawa semua urusan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semua perkara yang berkenaan dengan pemerintahan dan kekuasaan telah ditetapkan secara jelas oleh Hikam Allah dalam KitabNya yang mulia dan dalam tindakan tindakan dan keputusan utusanNya yang mulia dan dalam tindakan dan keputusan utusanNya, Shalallahu 'alaihi wa Sallam, Nabi Penutup, selama beliau hidup. 

Ketika itu, dengan mukjizat sebuah kota yang kemudian diberi nama Madinah Al Munawarah, tempat yang diberkahi untuk Dien. Adalah Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam, yang diamalkan di antara umatnya yang membangun masyarakat Islam, bukan sebagai impian masa depan yang tertunda sampai Hari Kiamat, tetapi sebagai model hidup untuk membangun masyarakat baru dan dinamis dari kesejahteraan spritual dan sosial yang beliau, Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan para Sahabat telah capai, dalam buku Sultaniyya (Pustaka Adina, 2014).

Hari ini, dalam sistem riba yang merajalela ini, kesejahteraan -- atau tepatnya kesulitan dan penderitaan orang -- justru dijadikan komoditi. Terbalik dari perintah Allah Subhanahu wata'ala dan ajaran Rasul Shallahu 'alaihi wasalam, jaminan kesejahteraan sosial telah menjadi kegiatan komersial. 

Dan bukan saja ia menjadi komersial melainkan telah menjadi bagian dari instrumen dan industri riba, yang paling massal da sistematis tentu saja adalah program asuransi, termasuk yang diwajibkan, yang diwadahi dalam BPJS  (Badan Penyelenggara Jaminan Kesejahteraan). 

Asuransi ini mencakup aspek yang luas dari kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, perjalanan, sampai bahkan pemeliharaan harta pun diasuransikan!, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Pembahasan ini merupakan ajakan untuk menginterpretasikan model pengelolaan kesejahteraan yang tidak birokratis yang ada pada masa masa awal Islam. Ini untuk mengimbangi penilaian yang agak menyesatkan tentang masalah tersebut yang disebarluaskan saat ini, dengan sebutan seperti "Negara Kesejahteraan dalam Islam" (The Welfare State in Islam) atau "Sistem Sosial Islam". 

Menurut pendapat Asadullah A. Yates, Ph. D bahwa kesejahteraan tidak dapat diperlakukan sebagai masalah individual, melainkan harus dilihat sebagai aspek kesehatan tubuh umat Islam secara keseluruhan. 

Dan bentuk bentuk kesejahteraan yang awal itu semuanya telah menghilang, dan telah digantikan oleh suatu struktur yang asing, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Secara bahasa, Bayt al Mal (Baitul Mal) berarti "Rumah Harta'. Asal usulnya dapat ditelusuri sejak zaman Rasul Shallahu 'alaihi wasallam, dimana perolehan harta untuk masyarkat langsung dibagikan dalam waktu segera. 

Baitul Mal, dengan demikian adalah bukan rumah untuk menumpuk harta, melainkan rumah untuk membagikan harta. Ini kemudian berkembang menjadi perbendaharan harta dalam Daulah Islam yang berkembang sejak Khalifah Pertama, Abu Bakr as Shiddiq, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Dalam Al Qur'an ada satu kata penting, yaitu Daulah, yang bermakna "pergerakan harta". Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan agar harta diratakan sehingga tidak beredar hanya di kalangan kaum kaya saja. Baitul Mal adalah tempat untuk melakukannya -- menampung harta untuk sementara dan untuk segera dibagikan. 

Harta dalam Baitul Mal karena itu terus mengalir, dicari, dikumpulkan, dibagikan, dicari, dikumpulkan, dibagikan, demikian seterusnya. Di masa masa kemudian Baitul Mal dipimpin oleh seorang Nazhir al 'Am (Bendahara) yang ditunjuk oleh seorang Sultan. 

Ini dipisahkan dengan urusan yang menyangkut harta pribadi dan keluarganya, yang diurus oleh seorang Nazhir al Khass, yang juga ditunjuk langsung oleh Sultan, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Sebaliknya, pengelolaan Infak, Sedekah, Wakaf, dan Zakat, yang populer dalam sebutan Ziswaf di zaman ini telah pula mengalami institusionalisasi, birokratisasi, dan sistematisasi. Contohnya Zakat, ini sebagai sumber utama dari kesejahteraan yang ditentukan, telah didokumentasikan dengan baik. 

Parameternya jelas: dikumpulkan menurut tahun Hijriah atas perintah orang yang berwenang. Para pemungut zakat yang memungutnya secara langsung -- kemudian membacakan doa untuk orang yang sedang dikenakan Zakat -- menerima pembayaran dari yang dibayarkan melaluinya, serta tujuh kategori lainnya (Al Qur'an, At Taubah: 60). 

Ini didistribusikan secara lokal untuk memperkuat masyarakat. Distribusinya di antara berbagai kategori adalah sepenuhnya berdasarkan kebijaksanaan Sang 'Amir. 

Kemakmuran yang dihasilkan dari Zakat pasti sangat besar: bahkan di masa masa awal di Madinah ada banyak pedagang yang sangat kaya -- dan tentu saja Abu Bakar dan 'Umar -- mengikuti keberhasilannya dalam perdagangan, juga di antara yang terkaya dari penduduknya, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Namun, kewajiban atas Zakat yang perkasa lebih kurang telah menghilang atau telah merosot menjadi kota amal kaleng yang dipajang di dinding atau serambi pintu masuk masjid; atau ke dalam sistem pembayaran digital yang diawasi oleh bank. 

Telah hilang juga bersamanya adalah doa pribadi bagi Muzakki yang dibacakan oleh pemungut Zakat setelah ia menerima Zakat dari pembayarannya, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Kita harus mulai kembali menghidupkan Baitul Mal. Sambil mengupayakan penerapan Muamalah yang halal secara umum yang terlebih dahulu perlu dipulihkan kembali adalah rukun Zakat. 

Sebelumnya didahului dengan restorasi jamaah dalam Islam, penunjukkan para Ulil Amri di antara mereka, yakni para 'Amir dan Sultan. 

Menarik dan membagikan Zakat adalah tugas dan kewenangan para Sultan dan 'Amir, sesudah mereka menjalankan tugas dan kewenangan sebelumnya, yaitu mencetak dan menjaga kadar dan timbangan Dinar emas dan Dirham perak. 

Tidak ada Zakat tanpa Dinar dan Dirham, dan tak ada Dinar dan Dirham tanpa otoritas, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019). 

Usai Penobatan, Sultan Kutai XXI, Putra Mahkota Adji Pangeran Adipati Praboe Soerya Adiningrat dengan gelar Sultan Adji Muhammad Arifin menggantikan Sultan Adji Muhammad Salehuddin II yang meninggal dunia pada 5 Agustus 2018 silam.

Tentunya diperlukan penerapan Dinar, Dirham dan Fulus, di zaman modern ini, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun