Pemberhentian di Stasiun Purwokerto luamayan panjang. Penumpang memanfaatkan waktunya untuk keluar dari kereta sekadar meluruskan badan, merokok, atau membeli jajanan dan minuman. Begitu juga dengan pedagang asongan yang mulai menerobos masuk menjajakan dagangannya.
Ah, pernah aku terkaget saat sedang tidur, tiba-tiba ada yang menaruh buku dipangkuanku. Buku TTS rupanya. Ini bukan dibagikan secara cuma-cuma ya, para pedang biasanya membagikannya terlebih dahulu kepada penumpang yang masih duduk di kursi.Â
Tujuannya, untuk memberi waktu kepada para penumpang untuk lihat-lihat terlebih dahulu dagangannya. Setelah berapa lama, ia kembali untuk mengambilnya, jika penumpang memutuskan membeli, tinggal bayar.
Pernah suatu kali ketika kereta sedang berhenti di Stasiun Purwokerto, tiba-tiba terdengar teriakan "Kebakaraaan! Kebaakaraan!". Tentu saja aku yang sedang bersantai langsung berdiri dan panik. Penumpang diminta keluar. Ternyata ada api kecil di gerbong belakang. Entahlah dari mana asalnya api yang bikin geger itu. Beruntungnya kereta pun sedang berhenti.
Delapan jam perjalanan Yogyakarta-Indramayu dan Indramayu-Yogyakarta sebenarnya selalu memuat banyak cerita. Menikmati kesendirian di dalam gerbong besi berkecapatan 120 km/jam itu menyenangkan. Namun, itu kisah perjalanan 14 tahun lalu. Empat tahun lalu saat mudik menggunakan kereta, mana bisa aku menikmati kesendirian. Apalagi bisa mendengarkan lagu, atau membaca novel, tidak sempat rasanya.
Mengapa demikian? Hem... bukan, bukan... Bukan karena fasilitas kereta yang tidak memadai untuk itu, tetapi 4 tahun lalu aku mudik sudah memboyong anak-anak. Ah, serasa Kerata Api Ekonomi Premium, Kutojaya Utara itu sudah menjadi taman bermain anak-anak.Â
Tak bisa diam duduk, anak-anak menghabiskan waktunya dengan berjalan di lorong-lorong memenuhi rasa ingin tahunya dengan moda transportasi yang pertama kali mereka tunggangi. Tentunya, aku pun tidak bisa duduk tenang mendengarkan musik, membaca novel, apalagi sampai bisa tidur, karena menemaninya jalan-jalan sepanjang lorong dan memastikan agar tidak mengganggu penumpang lain.
Untunglah, KA Ekonomi saat ini bak KA Executive. Tidak ada lagi penumpang-penumpang yang duduk bahkan tidur di lorong-lorong. Pedagang asongan pun sudah tak nampak. Hanya Prama dan Prami yang berkeliling menawarkan makanan, minuman, dan snack. Ya, semenjak kepemimpinan Bapak Didiek Hartantyo perkeretaapian mengalami perubahan yang signifikan, baik dari infrastruktur, tekonologi, maupun pelayanannnya. Apa saja?
Didiek Hartantyo : Pembawa Perubahan Perkeretaapian Indonesia
Didiek Hartantyo adalah sosok pembawa transformasi sektor perkeretaapian Indonesia yang cukup pesat. Beliau merupakan Direktur Utama Kereta Api Indonesia, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Keuangan KAI. Di bawah kepemimpinannya, Kereta Api Indonesia mengalami perubahan signifikan menjadi transportasi modern yang nyaman. Apa saja perubahannya?
1. Stasiun yang Lebih Modern
Untuk meningkatkan kenyamanan, Kereta Api Indonesia melakukan renovasi stasiun-stasiun besar, serta melengkapinya dengan fasilitas modern, seperti ruang tunggu yang nyaman, water station untuk refill air minum gratis, charging station, dan fasilitas inklusif seperti ruang laktasi, toilet ramah disabilitas, mushala, serta area bermain anak. Sebelumnya, dibeberapa stasiun yang pernah aku kunjungi, toiletnya kotor dan bau, seringnya membuat malas untuk ke toilet. Namun kini, toilet-toilet stasiun bak toilet restoran mewah. Mushala pun bersih dan nyaman.