Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pendataan tenaga non-ASN yang menyasar para Honorer/Pegawai non-ASN lainnya yang masih berstatus aktif bekerja di lingkup Instansi Pemerintah. Hal ini menurut BKN bertujuan untuk menjalankan ketentuan Pemerintah yang melarang adanya pengangkatan tenaga Honorer atau tenaga non-ASN lainnya.
"Pendataan tenaga non-ASN ini bertujuan untuk menindaklanjuti ketentuan Peraturan Pemerintah atau PP 48 Tahun 2005 dan PP 49 Tahun 2018, yakni larangan terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pemerintah untuk melakukan pengangkatan honorer dan/atau tenaga non-ASN." (sumber: www.bkn.go.id)
Sontak kebijakan ini di awal menimbulkan ambiguitas karena banyak yang mengasumsikan kalau pendataan ini dilakukan untuk mengangkat secara otomatis para pekerja non-ASN di pemerintahan. Nyatanya, pendataan tenaga non-ASN ini dilakukan Pemerintah sebagai upaya penyelesaian tenaga honorer yang tidak kunjung happy ending bahkan setelah berkali-kali pergantian pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan saat pertama kali program pendataan ini mencuat ke publik, banyak yang beranggapan kalau kebijakan ini bak "angin segar" yang mengakomodir siapa pun yang kini berstatus aktif sebagai non-ASN dan bekerja di pemerintahan dapat menjadi calon Aparatur Sipil Negara (ASN) tanpa seleksi.Â
Mmm... ada 3 (tiga) poin penting yang perlu dicermati publik dari kebijakan pendataan tenaga non-ASN agar tidak salah paham, apalagi beranggapan ini adalah jawaban dari harapan yang panjang. Pertama, pendataan dilakukan bukan untuk  mengangkat seseorang (pegawai non-ASN yang bekerja di Instansi Pemerintah) secara serta-merta menjadi calon ASN (CASN) bahkan tanpa seleksi. Mengapa? Karena justru pendataan ini dilakukan untuk pemetaan dan validasi data yang akan digunakan dalam membuat kebijakan penyelesaian tenaga honorer dan sejenisnya. Jelas karena ini amanat Peraturan Pemerintah yang menargetkan tidak ada lagi pengangkatan tenaga honorer/tenaga non-ASN lainnya di luar dari skema pengadaan atau rekrutmen CASN yang ditetapkan pemerintah secara nasional.
Kedua, definisi tenaga non-ASN yang dimaksud dalam kebijakan pendataan ini tidak dapat dimaknai sesuka hati, apalagi dipaksa sesuai pengertian sendiri. Layaknya setiap kebijakan pada umumnya, kategori pendataan tenaga non-ASN diiringi term and conditions dan disclaimer. Pemerintah telah menetapkan kategori apa saja yang masuk dalam syarat pendataan ini, boleh spill di portal pendataan milik BKN https://pendataan-nonasn.bkn.go.id/faq. Dengan kata lain, tenaga non-ASN yang dimaksud dalam kebijakan ini tidak bisa dikonotasikan secara eksplisit bahwa hanya selain pegawai ASN (PNS dan PPPK) masuk dalam kriteria pendataan.
Ketiga, peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir pengangkatan menjadi CASN tanpa seleksi. UU ASN mensyaratkan dengan jelas bahwa setiap calon ASN harus memenuhi kriteria dan kompetensi melalui serangkaian seleksi. Jadi bagi siapa saja yang berekspektasi pendataan ini seolah menjadi "jalan pintas" menjadi CASN, sebaiknya bangun dari tidurnya.
Lalu apa goals pemerintah dalam melakukan pendataan tenaga non-ASN di tahun ini? Kita tunggu saja tanggal mainnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H