PENDAHULUAN
      Hukum kesehatan belum lama lahir di Indonesia. Hukum ini Hukum kesehatan ini berfungsi untuk menjaga hak pasien serta pula melindungi hak dokter atau tenaga medis lainnya. Hukum ini juga bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat Indonesia dengan kepastian-kepastian hukumnya (Prof. Dr. Budi Sampurno, S.H, 2011). Peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum kesehatan pastinya mencoba untuk menghindari serta mengatasi masalah yang kerap terjadi dalam dunia kesehatan. Terdapat banyak sekali kasus-kasus yang terjadi dan hal ini menjadi krusial dikarenakan menyangkut keselamatan nyawa seseorang. Dari sekian banyak kasus yang terdapat di dunia kesehatan, terdapat salah satu kasus yang sering terjadi di Indonesia yang bukan lain ialah malpraktik. Malpratik atau malapraktik ini sendiri menurut KBBI ialah sebuah praktik yang salah, tidak tepat juga yang melanggar undang-undang maupun kode etik. Sedangkan secara etimologi, malpraktik berasal dari kata malpractice yang memiliki makna cara tindakan atau mengobati yang salah (Yosua David Mantiri, 2019). Sehingga dapat disimpulkan bahwa malpraktik merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan cara yang menyalahi peraturan.
      Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus malpraktik ini sangatlah marak terjadi di Indonesia. Menurut data yang diberikan oleh Tempo.co, terdapat 182 kasus malpraktik di Indonesia sampai tahun di 2012 silam. Dari kasus-kasus tersebut, 60 kasus diantaranya dilakukan oleh dokter umum, 49 kasus dilakukan oleh dokter bedah, 33 kasus dari dokter kandungan dan 16 kasus dokter spesialis anak, serta sisa kasus lain yang terjadi dibawah 10 laporan (Tempo.co, 2013). Salah satu contoh kasus malpraktik yang terjadi di Indonesia adalah kasus Rumah Sakit Grha Kedoya yang berlokasi di Kebon Jeruk. Dalam kasus tersebut, Stefy seorang wanita yang berumur 28 tahun mengaku bahwa Rumah Sakit Grha Kedoya melakukan tindakan tanpa seperjuannya. Dokter yang membedahnya melakukan operasi pengangkatan kista. Namun, sang dokter mengambil kedua Rahim Stefy tanpa persetujuannya yang pada akhirnya mengakibatkan ia tidak dapat memiliki keturunan (Untung Widyanto, 2018). Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu tindakan dari malpraktik, karena dokter tidak melakukan pekerjaannya sesuai prosedur.
      Dalam Undang-undang Kesehatan sendiri diatur dalam beberapa pasal mengenai malpraktik. Pertama, terdapat dalam Pasal 58 ayat 1 UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berisikan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi akibat kelalaian dari pelayanan kesehatan yang diterimanya. Lalu, diatur juga di Pasal 29 di UU yang sama mengatakan bahwa kelalaian tersebut harus lebih dulu diselesaikan melalui mediasi. Malpraktik dapat sangat merugikan pihak dokter maupun pasien. Akibat yang dapat ditimbulkan dari malpraktik dari sisi dokter adalah tanggung jawab secara pidana, perdata dan administrative (Joko Nur Sariono, 2001).
      Pada artikel ini, akan membahas secara lebih dalam mengenai penyelesaian sengketa terhadap malpraktik secara pidana, hubungan dokter dan pasien serta pertanggungjawaban dokter dalam aspek perdata dan pembahasan juga akan melingkupi mengenai kewajiban administrasi yang dilanggar oleh dokter atas tindakan malpraktik.
Â
POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan dari pendahuluan di atas, artikel ini akan mencakup beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimana penerapan penyelesaian sengketa malpraktik dari aspek pidana?
- Bagaimana hubungan dokter dan pasien dalam aspek perdata serta pertanggungjawaban dokter atas kegiatan malpraktik?
- Kewajiban administrasi apa saja yang dilanggar dalam malpraktik?
PEMBAHASANÂ
Bagaimana Penerapan Penyelesaian Sengketa Malpraktik dari Aspek Pidana?
- Pendahuluan permasalahan
      Dalam menyelesaikan sengketa, tidak jarang para pihak yang terikat sengketa langsung mengambil jalur hukum. Bukanlah hal yang jarang bahwa para pesengketa sering kali terbawa emosi sehingga tidak menghiraukan alur dari penyelesaian sengketanya itu sendiri. Dalam hal kesehatan, sebuah sengketa yang terjadi dari sebuah kelalaian harus melewati proses mediasi terlebih dahulu. Hal ini merupakan tindakan yang dilakukan agar kedua belah pihak mungkin dapat mendapatkan titik temu dari permasalahannya. Namun, apabila para pihak tidak juga mendapatkan titik temunya lewat mediasi, barulah diperbolehkan untuk membawa sengketa ini ke jalur hukum.
- Dasar Hukum
      Dasar hukum yang berkaitan dengan sub-pokok bahasan ini ialah Pasal 29 Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi kelalaian tersebut harus lebih dulu diselesaikan melalui mediasi.
- Analisis
      Seperti yang sudah disinggung dalam pendahuluan, jika dilihat dari aspek pidana, penyelesaian sengketa pada malpraktik haruslah dimulai dari mediasi. Hal ini tercantum pada Pasal 29 UU Kesehatan yang berisikan kelalaian tersebut harus lebih dulu diselesaikan melalui mediasi. Jika tindakan mediasi tidak membuahkan hasil, maka pihak yang dirugikan dapat mengambil jalur hukum atau pidana sebagai jalan terakhirnya. Namun, perlu diperhatikan bahwa sebelum menjatuhkan sanksi, haruslah memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut (Dr.  Tresno Novianto, 2017) :
1. Unsur perbuatan hukum dilakukan oleh subjek hukum, subjek hukum yang dimaksud adalah manusia atau badan hukum, sehingga pihak penuntut dapat menuntut tenaga medis ataupun rumah sakit yang merugikan pihak penuntut.
2. Unsur adanya kesalahan, unsur kesalahan yang dimaksud dapat diukur dari kelalaian kecil (culpa lewis) atau kelalaian besar (culpa lata)
3. Kesalahan yang dimaksud ialah yang terdapat pada Teori Pertanaggungjawaban Pidana, dalam Teori Pertanaggungjawaban Pidana, terdapat 3 arti kesalahan: kesalahan dalam arti seluas-luasnya atau pertanggung jawaban pidana, kesalahan dalam arti bentuk yaitu kesengajaan atau kealpaan.
4. Unsur perbuatan bersifat melawan hukum, sifat melawan hukum ini dapat dilihat dari kelakuan, keadaan, akibat tertentu yang dilarang oleh Undang-undang.
5. Pelaku dianggap mampu bertanggung jawab, pelaku yang dimaksud berarti pelaku yang sadar akan perbuatannya, atau dapat dikatakan memiliki akal pikiran yang sehat.
6. Tidak ada alasan penghapus pidana, tindakan yang dilakukan, tidak memiliki unsur penghapus pidana.
- Kesimpulan
      Suatu sengketa yang terjadi dalam ranah dunia kesehatan khususnya yang diakibatkan oleh kelalaian harus melalui tahapan mediasi. Hal ini berkaitan dengan UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 29 yang mengatur tentang penyelesaian sengketa. Jika penuntut dan yang dituntut tidaklah menemukan jalan tengah lewat tahapan mediasi, maka selanjutnya boleh dilanjutkan ketahapan jalur hukum. Namun, dalam jalur hukum, untuk menentukan sanksi yang akan diberikan harus memenuhi beberapa unsur untuk dijadikan pertimbangan. Unsur-unsurnya antara lain dilakukan oleh subjek hukum, adanya unsur kesalahan, perbuatan melawan hukum, pelaku dapat bertanggung jawab dan tidak memiliki unsur penghapus pidana.
Bagaimana hubungan Dokter dan Pasien dalam Aspek Perdata serta PertanggungJawaban Dokter atas Kegiatan Malpraktik?
- Pendahuluan permasalahan
      Dalam sebuah sengketa, pastinya terdapat pihak-pihak yang saling berhubungan. Jika disambungkan ke dalam kasus malpraktik, pihak-pihak yang bersengketa antara lain ialah dokter dan pasien. Hubungan antara dokter dan pasien ini menurut hukum ialah berada dalam suatu perikatan (Yosua David Mantiri, 2019). Di mana perikatan ini muncul akikbat adanya persetujuan atau Undang-undang. Dalam suatu perikatan, terdapat prestasi yang mana merupakan kewajiban untuk setiap pihak yang terikat. Jika pihak-pihak yang terikat melakukan wanprestasi atau melanggar prestasi, maka pihak yang melanggar harus melakukan pertanggung jawaban atas pelanggaran yang ia lakukan. Pihak yang dirugikan pun dapat meminta ganti rugi akibat kelalaian tenaga kesehatan yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
- Dasar Hukum
      Dasar hukum yang terdapat di subpokok bahasan ini ialah pada Pasal 1233 KUHPerdata yang berisikan bahwa perikatan lahir dari persetujuan dan Undang-undang. Selanjutnya, Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyikan perikatan yang mana adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Dasar hukum mengenai hak ganti rugi tercantum dalam Pasal 55 ayat 1 dan 2 Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang berisikan setiap orang berhak meminta ganti rugi atas kelalaian tenaga medis dan ganti rugi tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Analisis
      Tindakan malpraktik dalam kedokteran melalui aspek perdata terjadi jika pihak dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien melakukan tindakan prestasi yang melahirkan kerugian perdata kepada pihak pasien (Yosua David Mantiri, 2019). Di mana hubungan antara dokter dengan pasien dalam hukum merupakan sebuah perikatan. Sehingga jika dokter melanggar prestasi yang ditentukan dan berdampak kerugian perdata bagi pasiennya, dokter tersebut dapat dikatakan telah melakukan malpraktik perdata. Perikatan di sini terbagi menjadi dua, inspanningsverbintenis dan resultaatsverbintenis. Inspanningsverbintenis adalah suatu perikatan berdasarkan hasil upaya maksimal untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan resultaatsverbintenis yang mana adalah perikatan yang lahir berdasarkan prestasi atau hasil kerja (Sansorini Putra, 2001). Perbedaan dari keduanya adalah, Inspanningsverbintenis berarti bahwa pasien memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada dokter untuk melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Sedangkan resultaatsverbintenis ialah dokter yang telah menjanjikan kepada pasien akan mendapatkan hasil yang ia inginkan.
      Dalam aspek perdata, dokter sendiri memiliki dua pertanggungjawaban pokok yakni terdiri dari pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh wanprestasi dan pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum (Joko Nur Sariono, 2001). Fungsi dari pertanggung jawaban ini ialah untuk memberikan kompensasi dari kerugian yang diderita pihak lain dan agar mencegah terjadinya kasus serupa (Joko Nur Sariono, 2001).
      Dalam melakukan pertanggungjawaban atas tindakan malpraktik, dokter dapat diberikan tanggung jawab dalam hukum perdata yang berupa tuntutan ganti rugi (Joko Nur Sariono, 2001). Tuntutan ganti rugi dapat berasal dari pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh wanprestasi atau pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum. Dalam hal penuntutan ganti rugi, terdapat beberapa hal yang harus dipahami. Pasien yang melakukan penuntutan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum, harus dapat dipastikan kembali bahwa kerugiannya karena bertentangan dengan kewajiban profesional, melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesional, bertentangan dengan keasusilaan dan bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat (Joko Nur Sariono, 2001). Sedangkan jika penuntutan berdasar pada wanprestasi maka harus dipastikan kembali bahwa kerugiannya timbul karena dokter tidak memenuhi prestasi sama sekali, terlambat memenuhi prestasi dan memenuhi prestasi secara tidak baik (Joko Nur Sariono, 2001).
- Kesimpulan
      Kesimpulan dari sub-pokok bahasan ini adalah bahwa malpraktik perdata hanya terjadi bila pihak yang dirugikan mengalami kerugian keperdataan. Dalam aspek perdata, hubungan antara dokter dengan pasien adalah terikat dalam sebuah perikatan, karena terlahir dari persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan tindakan medis. Pertanggung jawaban seorang dokter dalam aspek perdata ini sendiri ialah tuntutan ganti rugi oleh pasien. Sebelum menuntut ganti rugi, penuntut harus mengetahui terlebih dahulu dasar atas penuntutannya. Dasar penuntutan yang pertama ialah karena melawan hukum dan penuntutan kedua yang berdasar pada wanprestasi.
Kewajiban Administrasi Apa Saja yang Dilanggar dalam Malpraktik?
- Pendahuluan permasalahan
      Malpraktik administrasi terjadi apabila pihak tenaga medis melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan hukum administrasi (Yosua David Mantiri, 2019). Contoh pelanggaran administrasi antara lain adalah tidak memiliki lisensi saat menjalankan praktek atau melakukan praktek yang berbeda dari lisensi izin yang dimiliki dan masih banyak lagi. Dalam aspek hukum administrasi, dokter memiliki dua kewajiban yang mana adalah kewajiban yang berhubungan dengan kewenangan sebelum melakukan pelayanan medis dan kewajiban saat sedang melakukan pelayanan medis (Yosua David Mantiri, 2019).
- Dasar Hukum
      Dasar hukum yang berkaitan dengan sub-pokok bahasan ini antara lain adalah Pasal 2 Permenkes Nomor 512 yang berisikan bahwa setiap dokter wajib memiliki Surat Izin Praktik atau SIP. Dasar hukum selanjutnya adalah Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No.46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan yang berisikan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik wajib untuk memiliki Surat Tanda Registrasi atau STR. Selain itu, dasar hukum lainnya adalah Pasal 2 ayat 1 dan 2 Permenkes No. 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang berbunyi segala tindakan dokter harus mendapat persetujuan baik lisan maupun tulisan.
- Analisis
      Seperti yang sudah disinggung di pendahuluan, dokter memiliki dua kewajiban jika ditinjau dari hukum administrasinya. Kewajiban tersebut yang pertama ialah kewajiban yang berhubungan dengan kewenangan sebelum melakukan pelayanan medis dan kewajiban saat sedang melakukan pelayanan medis (Yosua David Mantiri, 2019). Dalam hal malpraktik, pastinya dokter telah melanggar salah satu atau kedua dari kewajiban administrasi tersebut. Dokter yang melakukan praktik tanpa adanya surat izin telah melanggar kewajiban mengenai kewenangan sebelum melakukan pelayanan medis. Peraturan mengenai hal tersebut tercantum dalam Pasal 2 Permenkes Nomor 512 yang berisikan bahwa setiap dokter wajib memiliki Surat Izin Praktik atau SIP. Dalam Pasal 38 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dijelaskan syarat yang harus dilakukan untuk mendapatkan SIP. Syarat-syarat tersebut diantaranya:
- Memiliki Surat Tanda Registrasi Dokter
- Mempunyai tempat praktik
- Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi
Selanjutnya, dokter juga wajib memiliki Surat Tanda Registrasi yang mana diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (Yosua David Mantiri, 2019). Terdapat beberapa persyaratan agar dapat mendapatkan STR yang mana tercantum pada Pasal 29 UU No.29 Tahun 2004 yang berisikan:
- Memiliki ijazah dokte, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis
- Memiliki suat pernyataan telah mengucapkan sumpah janji dokter atau dokter gigi
- Memiliki surat keterangan fisik dan mental
- Memiliki sertifikat kompetensi
- Membuat pernyataan yang mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi
      Selain melanggar kewajiban wewenang sebelum melakukan pelayanan medis, malpraktik juga melanggar kewajiban saat sedang melakukan pelayanan medis. Salah satu hal yang dilanggar adalah mengenai informed consent yang dijelaskan di Pasal 7 ayat 3 Permenkes No.290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pada pasal ini dijelaskan bahwa dokter harus menjelaskan tindakan yang akan ia lakukan kepada pasien dan mendapatkan izin dari pasien tersebut. Hal ini bersinggungan dengan kasus Stefy yang sempat disinggung di awal pendahuluan artikel. Stefy seorang wanita yang menuntut Rumah Sakit Grha Kedoya karena telah mengambil kedua Rahimnya tanpa sepertujuannya. Dikarenakan dokter tersebut telah melanggar salah satu kewajiban administrasinya, maka dokter tersebut dapat dikatan telah melakukan tindakan malpraktik.
- Kesimpulan
       Kesimpulan dari sub-pokok bahasan ini adalah dokter telah melanggar kewajiban administrasinya jika ia melakukan tindakan malpraktik. Kewajibannya yang dilanggar itu antara lain kewajiban yang berhubungan dengan kewenangan sebelum melakukan pelayanan medis dan kewajiban saat sedang melakukan pelayanan medis (Yosua David Mantiri, 2019). Contoh dari pelanggaran kewenangan sebelum melakukan pelayanan medis ialah dengan tidak memiliki SIP dan STR bagi para dokter yang melakukan praktik. Sedangkan, contoh pelanggaran dari kewajiban saat sedang melakukan pelayanan medis adalah dengan tidak melakukan informed consent.
KESIMPULAN
      Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa malpraktik merupakan sebuah praktik yang salah, tidak tepat juga yang melanggar undang-undang maupun kode etik (KBBI). Ketentuan mengenai malpraktik ini sendiri tercantum dalam Pasal 58 ayat 1 UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berisikan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi akibat kelalaian dari pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dalam penyelesaian sengketa malpraktik, disebutkan dalam Pasal 29 UU Kesehatan yang berisikan kelalaian tersebut harus lebih dulu diselesaikan melalui mediasi sebelum meranah ke jalur hukum.
      Jika ditinjau dari aspek perdata, dalam malpraktik ini hubungan dokter dengan pasien adalah berada dalam sebuah perikatan. Perikatan ini di mana jika dokter melakukan wanprestasi yang merugikan pasien, maka dapat dikatakan dokter telah melakukan malpraktik perdata. Dalam hal pertanggung jawaban melalui aspek perdata, dokter memiliki dua pertanggungjawaban pokok yakni terdiri dari pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh wanprestasi dan pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum (Joko Nur Sariono, 2001). Pertanggungjawaban yang dapat dilakukan adalah dengan adanya ganti rugi. Pertanggungjawaban ganti rugi tersebut dapat dibagi dua lagi menjadi pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh wanprestasi atau pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum.
      Lalu, jika ditinjau melalui aspek administrasi, dokter memiliki dua kewajiban administrasi diantaranya adalah kewajiban yang berhubungan dengan kewenangan sebelum melakukan pelayanan medis yang mana adalah memiliki SIP dan STR dan kewajiban saat sedang melakukan pelayanan medis yang mana adalah melakukan informed consent (Yosua David Mantiri, 2019).
Daftar Pustaka
Buku
Novianto, W.T. (2017). Sengketa Medik Pergulatan Hukum dalam Menentukan Unsur Kelalaian Medik. Surakarta: Penerbitan dan Percetakan UNS.
Sampurno, B., (2011). Laporan Akhir Penyusunan Kompendium Hukum Kesehatan, Jakarta.
Jurnal
Mantiri, Y. D., (2019, Oktober-Desember). Pertanggungjawaban Perdata Tenaga Medis Terhadap Kasus Malpraktik Ditinjau dari Sudut pandang      Medicolegal, Lex Privatum, Vol. 7 (7), 76-219.
Sariono, J. N., (2001). Akibat Malpraktek Dalam Profesi Kedokteran (Suatu Tinjauan Hukum Perdata), Perspektif, Vol.6 (2), 93-105.
Putra, S., (2001, Oktober). Inspanningsverbintenis dan Resultaatsverbintenis dalam TransaksiJurnal Hukum, Vol. 8 (18), 201.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Kesehatan, UU No.36 Tahun 2009, LN No.144 Tahun 2009, TLN No. 5063.
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh Subekti.
 Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Indonesia, Undang-Undang Kesehatan, UU No.23 Tahun 1992, LN 1992.
Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Registrasi Tenaga Kesehatan, UU No.46 Tahun 2013.
Indonesia, Undang-Undang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN 4431.
Internet
KBBI. Malapraktik. Diakess 28 Maret 2021, dari https://kbbi.web.id/malapraktik.
Tempo.co. (2013, 25 Maret). Sampai Akhir 2012, Terjadi 182 Kasus Malpraktek. Diakses 28 Â Â Â Maret 2021, Â Â dari https://nasional.tempo.co/read/469172/sampai-akhir-2012-terjadi-182- kasus-malpraktek/full&view=ok.Â
Tempo.co. (2018, 11 Juli). Dugaan Malpraktik RS Grha Kedoya, Ini Kronologi Versi Pasien. Diakses 28 Maret 2021, dari https://metro.tempo.co/read/1105651/dugaan-malpraktik-rs- grha-kedoya-ini-kronologi-versi-pasien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H