Masalah pedofilia dan jenis pelecehan serta  bentuk kekerasan lain terhadap anak dan remaja beberapa bulan belakangan ini memang masih terus dibicarakan dan menjadi sorotan pubik. Berbagai wacana untuk merevisi Undang-Undang perlindungan anak diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah, terlebih untuk meninjau kembali sanksi hukum yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku kekerasan apapun terhadap anak di Indonesia.
Khusus mengenai pelecehan seksual terhadap anak, dapat kita baca melalui berbagai pemberitaan di media cetak maupun mainstream online.
Salah satunya melalui Tempo.co (10/05/2014), dimana Komisi Nasional Perlindungan Anak melalui Sekretaris Jenderalnya, Â Samsul Ridwan mengatakan bahwa peningkatan kekerasan seksual terhadap anak terjadi hampir setiap tahunnya.
Untuk kurun waktu Januari hingga April 2014 saja, Komnas Anak telah mencatat sebanyak 342 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Jakarta. Sebanyak 52 persen atau sekitar 175 kasus merupakan kejahatan seksual. Sedangkan sepanjang 2013 tercatat ada 666 kasus kekerasan anak yang terjadi di Jakarta, dengan 68 persennya merupakan kekerasan seksual.
Yang mencengangkan dari 175 Kasus yang diungkapkan tersebut, fakta menunjukan bahwa 40% kekerasan seksual terjadi di lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi tempat yang aman malah justru menguatirkan.
Lebih lanjut menurut Ridwan, Kalau data kekerasan seksual di lingkungan sekolah digabungkan dengan yang terjadi di lingkungan rumah, angka kekerasan seksual pada anak mencapai 70%
Perlu dicatat saja, bahwa data yang dihimpun tersebut adalah data yang terlaporkan, sehingga jumlah sebenarnya bak fenomena gunung es, diperkirakan masih banyak terjadi kekerasaan seksual pada anak yang masih belum diketahui, dengan berbagai pertimbangan baik korban maupun keluarga korban, apalagi karena karena ketakutan karena ancaman pelaku.
***
Melihat permasalahan yang sudah meresahkan di kalangan orang tua tersebut, banyak seminar, dialog dan sosialisasi dilakukan berbagai komunitas orang tua di masyarakat. Seperti halnya, pada Minggu, 8 Juni 2014. Atas inisiatif dari Persatuan Wanita Katolik Republik Indonesia cabang St. Servatius - Kampung Sawah - Bekasi. Mengundang dua pembicara utama dalam seminar singkat yang betema "Agar Anak Terhindar dari   Pedofilia", yaitu mas Valentino dari IDKITA dan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bapak Arist Merdeka Sirait.
Walau kegiatan ini diprakarsai oleh Persatuan Wanita Katolik, namun terbuka untuk umum secara gratis, namun harus mendaftarkan diri terlebih dahulu. Antusias orang tua ternyata cukup banyak, namun pada kegiatan perdana ini dibatasi hingga 300 peserta. Mereka yang hadir dari berbagai latar belakang komunitas atau organisasi lintas agama.
Selama kurang lebih 5 jam, termasuk tanya jawab, diskusi dan ramah tamah. Orang tua tetap menunjukan keseriusannya mengikuti kegiatan ini.
[caption id="attachment_312583" align="aligncenter" width="614" caption="Peserta Seminar Singkat (Dokumen : IDKITA)"]
Tim IDKITA memaparkan tentang peranan orang tua dalam melakukan pengawasan dan bimbingan pemanfaatan TIK di kalangan anak dan remaja, sekaligus mengarahkan anak-anak mereka untuk dapat memanfaatkan TIK Â agar dapat meningkatkan pengetahuan, bakat dan prestasi.
Dalam hal penaggulangan pedofilia online, IDKITA memberikan beberapa usulan dan rekomendasi baik penanganan secara psikologis (pendekatan humanis terhadap anak) maupun secara teknis. Salah satunya dengan memanfaatan aplikasi NQ Family Guardian melalui Android yang juga direkomendasi oleh Indosat dengan tarif langganan khusus bagi pengguna operator Indosat.
[caption id="attachment_312584" align="aligncenter" width="576" caption="Mas Valentino dari IDKITA sedang Memaparkan Materi (Dokumen :IDKITA)"]
Sedangkan dalam paparan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bapak Arist Merdeka Sirait, lebih banyak berbicara tentang Undang-Undang perlindungan anak dan rencana perubahannya, dengan menhadirkan beberapa fakta pelaporan yang diterima KPAI yang kemudian sudah ditindaklanjuti.
Dalam paparanya, data penelitian yang ditampilkan oleh ketua KPAI bersama mitra mereka, diperkirakan sekitar 93,7 remaja SMP dan SMA telah melakukan ciuman, genital stimulation, Petting maupun oral seks. Data yang sama dapat dilihat pada pemberitaan liputan6.com dengan judul dari Film Porno, Keperawanan Hingga Aborsi (22 Juli 2008)
[caption id="attachment_312586" align="aligncenter" width="576" caption="Ketua KPAI Memaparkan Materinya (Dokumen : IDKITA)"]
Paparan dari Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Â juga menekankan pada penanganan secara psiklogis, baik dalam upaya pencegahan dan menanganan anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
Pada akhir paparan, banyak orang tua yang bertanya. Salah seorang ibu hingga mencucurkan air matanya, menaruh perhatian serius terhadap anaknya yang diduga telah mengalami pelecehan seksual oleh kakak kelasnya sendiri.
[caption id="attachment_312587" align="aligncenter" width="576" caption="Salah Seorang Ibu Bertanya (Dokumen : IDKITA)"]
Acara dapat berjalan dengan lancar dan akan ditindaklanjuti kembali dalam workshop teknis Parental Control yang direncanakan akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan.
[caption id="attachment_312588" align="aligncenter" width="576" caption="Ketua KAPI dan Mas Valentino Sedang Berdiskusi (Dokumen : IDKITA)"]
***
Masih terkait persoalan yang sama, sebelumnya, pada hari Kamis (5/6/2014), mulai jam 19.30 - 22.30.Bertempat di Gedung Gereja Kristen Indonesia (GKI) Rawamangun, 5 Juni 2014, IDKITA juga diminta untuk mengisi sosialisasi dan dialog Pengaruh Pemanfaatan dan Penyalahgunaan TIK Dikalangan Anak dan Remaja.
[caption id="attachment_312590" align="aligncenter" width="576" caption="Mas Valentino Memaparkan Materinya (Dokumen : IDKITA)"]
Kegiatan ini sebenarnya sudah diajukan sejak bulan Mei 2014, namun baru dapat direalisasikan pada bulan Juni 2014. Â Adapun peserta yang hadir dari kalangan orang tua dengan tujuan untuk mendapat masukan tentang dampak penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi di kalangan anak dan remaja, membangun diskusi mengenai "pareting" maupun "grandparenting" terhadap anak dalam penyaluran bakat dan prestasi mereka dalam pemanfaatan TIK, sekaligus memberikan beberapa masukan yang mencakup pencegahan, penanggulangan, pelaporan terhadap indikasi penyalahgunaan TIK dikalangan anak dan remaja.
IDKITA berusaha menjelaskan secara sederhana mungkin karena yang hadir sebagain berusia di atas 60 tahun. Oleh karena itu sosialisasi dan diskusi yang dibangun juga menekankan pada "Grandparenting", dimana "kakek" atau "nenek" yang turut terlibat dalam pengasuhan "cucu-cucu" mereka dapat melakukan pengawasan dengan pendekatan yang lebih humanis bukan "kemanjaan", terlebih untuk menanamkan nilai-nilai agama, budaya, norma dan etika leluhur bangsa yang telah diterima dan diturunkan dari generasi ke generasi untuk membentengi anak dari pengaruh buruk pergaulan dari penyalahgunaan pemanfaatan TIK. Â Sehingga sosialisasi dan dialog atau diskusi ini tidak hanya membahas secara teknis namun juga secara psiklogis dan khususnya dalam tinjauan pendidikan kerohanian.
[caption id="attachment_312591" align="aligncenter" width="576" caption="Sebagian Peserta Kelompok Lansia (Dokumen : IDKITA)"]
Pada kesimpulannya Tim IDKITA menyampaikan bahwa ke depan, komunitas lebih banyak akan berbicara bagaimana memanfaatkan TIK secara baik agar dapat meingkatkan pengetahuan, bakat dan prestasi anak, namun tidak mengesampingkan pesan moral agar anak dapat membentengi dirinya dari pengaruh buruk penyalahgunaan TIK.
Kerjasama ini akan dibangun terus dengan berbagai stakeholders yang secara bersama-sama terpanggil untuk melaksanakan berbagai kegiatan untuk kemajuan pemanfaatan TIK di Indonesia. Dimana saat ini, IDKITA beberapa kali mengajak keterlibatan PT Indosat Tbk dan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dalam berbagai kesempatan.
Sedangkan kepada orang tua, komunitas IDKITAÂ akan memberikan pembekalan bagaimana mengupayakan pencegahan dan pendidikan secara mandiri kepada anak di rumah agar pemanfaatan TIK lebih di arahkan ke arah yang lebi positif yang tentu saja diharapkan upaya tersebut dapat menjadi Family Project. Â Kegiatan ini, akan didukung oleh beberapa praktisi dan profesional di bidang Psikologi secara berkesinambungan.
Saling bantu, keterbukaan, membangun diskusi yang sehat bukan saling mencurigai di dalam keluarga adalah salah satu cara yang cukup tepat. Semua itu untuk mencapai tujuan utama agar anak tetap harus dikawal dengan pendidikan budi pekerti, pemahaman dan mengamalkan ajaran Agama, Budaya, Etika dan Moral yang menjadi ciri khas bangsa yang seharusnya dapat dipertahankan dan dilestarikan. Perkembangan Teknologi dan Informasi tidak pada tempatnya dimanfaatkan untuk meniadakan semua itu..
Semoga...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H