Mohon tunggu...
Deasy Febriyanty
Deasy Febriyanty Mohon Tunggu... -

Mencari "value" dari Belajar Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kualitas Jadi Pembeda

1 November 2014   06:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:58 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila kita mengamati pemberitaan di media massa tentang dunia kesehatan, apa yang paling menonjol dan sering menghancurkan reputasi pemerintah di bidang kesehatan? Ya benar sekali, pelayanan kesehatan. Selalu saja ada kabar tentang penolakan pasien dengan berbagai alasan, penelantaran pasien karena minimnya fasilitas RS, kasus malpraktik yang diakibatkan karena kelalaian dan rendahnya kompetensi tenaga kesehatan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Buruknya pelayanan kesehatan, khususnya di fasilitas kesehatan milik pemerintah bukan barang baru dan seolah menjadi hal yang biasa terjadi. Maka tidaklah mengherankan jika masih banyak warga negara Indonesia yang berobat ke luar negeri, terutama ke Singapura dan Malaysia. Dua negara yang dulunya bahkan mungkin sampai sekarang mengirimkan orang-orangnya untuk belajar ilmu kesehatan dan kedokteran di Indonesia. Pihak pemerintah sendiri mengklaim sebenarnya dari sisi kemampuan tenaga dan kecanggihan peralatan, fasilitas kesehatan (khususnya RS) tidak kalah dari luar negeri. Akan tetapi setiap tahunnya Indonesia kehilangan dana ratusan triliun rupiah dari biaya berobat yang lari ke luar negeri. Jadi apa yang salah?

Menurut catatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kemenkes, hingga 2013 terdapat lebih dari 90 ribu tenaga medis dan 425 ribu tenaga keperawatan serta ribuan tenaga kesehatan dan non kesehatan lainnya yang bekerja fasilitas layanan kesehatan di seluruh Indonesia. Indonesia juga memiliki lebih dari 2100 RS dan 9600-an puskesmas yang tersebar hingga penjuru negeri.

Dari segi jumlah dan jenis tenaga mungkin sudah tidak menjadi permasalahan lagi. Yang masih menjadi persoalan sekaligus tantangan sekarang ini adalah soal mutu/kualitas dan penyebaran tenaga kesehatan. Terkait kualitas, mantan Menteri Kesehatan kita bahkan pernah menyinggung soal adanya indikasi Fakultas Kedokteran (FK) abal-abal alias asal-asalan. Menurut Menkes, FK abal-abal cenderung hanya mengejar aspek komersial tanpa memperhatikan kualitas pendidikan. Ini ditunjukkan dengan rasio jumlah tenaga pengajar tidak sesuai dengan mahasiswa. Bahkan, FK tersebut tidak memiliki rumah sakit (RS) pendidikan dan labroratorium yang memadai. Dengan adanya kondisi ini, Menkes meminta kepada Kemdikbud yang memiliki kewenangan untuk segera menutup FK abal-abal tersebut. Jika FK saja ada yang abal-abal bukan tidak mungkin fakultas pendidikan tenaga kesehatan lainya macam Fakultas Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat, Ilmu Keperawatan, Farmasi dan lainnya juga ada yang abal-abal, menghasilkan lulusan yang ala kadarnya. Kalau sudah begini keadaannya jangan salahkan rakyat Indonesia, khususnya kalangan atas yang masih lebih memilih berobat ke luar negeri. Itu baru dari segi kompetensi. Padahal tidak hanya itu alasannya.

Banyak pasien yang lebih memilih berobat ke luar negeri karena mendapatkan nilai tambah pelayanan. Para tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya menerapkan ilmu promosi dan pemasaran dengan sangat baik. Mereka sangat memahami kebutuhan pasiennya. Pasien tidak hanya butuh penanganan medis yang profesional, tapi juga perlu ‘diorangkan’, perlu diperlakukan dengan selayaknya. Itu yang tidak mereka dapatkan jika berobat di Indonesia. Kualitas dari tenaga kesehatan yang sesungguhnya, kualitas yang paripurna!.

Barangkali kita semua pernah mengalami sendiri bagaimana pelayanan kesehatan di salah satu fasilitas kesehatan di negeri ini, ambil contoh pelayanan rawat jalan di puskesmas atau rumah sakit pemerintah rujukan nasional di Jakarta. Untuk mendapatkan pelayanan, kita perlu datang pagi-pagi sekali untuk mendapatkan nomor urut pasien. Selanjutnya kita harus menuju ruang poliklinik yang letaknya cukup jauh dari tempat registrasi. Sampai di poliklinik, dokter belum ada di tempat dan baru terlihat setelah pukul 10.00. Setelah menunggu 2-3 jam barulah kita menerima pelayanan. Kemudian berhubung antrian pasien sudah cukup banyak maka dokter hanya menangani seorang pasien dalam waktu kurang dari 5 menit, cukup dengan menyuruh pasien membuka mulut dan menempelkan stetoskop, tanpa ada proses komunikasi yang intens antara dokter dan pasien. Begitulah gambaran pelayanan pasien di Indonesia. Bagaimana dengan di luar negeri. Tentu sangat berbeda.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari cerita pengalaman dari banyak orang yang sudah pernah merasakan berobat di luar negeri, pasien diperlakukan dengan pelayanan prima. Bahkan pelayanan sudah dimulai sejak dari bandara. Beberapa RS sudah melakukan penjemputan pasien di bandara untuk diantarkan ke RS. Sesampainya di RS, tenaga kesehatan yang memang sudah terlatih dengan keilmuannya dengan sigap melakukan penanganan yang dibutuhkan. Antrian pun tidak banyak dan lama, dan tempat tunggunya pun dibuat senyaman mungkin. Saat konsultasi dengan dokter/dokter spesialis, pasien diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari tahu penyebab penyakit, jenis perawatan, lama penanganannya. Satu hal lain yang jadi pembeda adalah soal komunikasi dan empati. Orang sakit tidak hanya membutuhkan penanganan medis tetapi juga perlu ketenangan batin dan rasa nyaman meskipun dalam kondisi tidak sehat. Ini yang hilang di negeri kita. Mungkin persoalan komunikasi dan empati perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan tenaga kesehatan. Karena jika tidak, tentu angka penduduk Indonesia yang lebih memilih memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan di luar negeri akan terus meningkat dan kita kehilangan potensi pemasukan negara yang begitu besar. Bukan berarti kita mengambil keuntungan dari orang sakit, tapi ini juga soal harga diri bangsa!

Persoalan pelayanan saat ini tentunya semakin menjadi sorotan dan tuntutan publik, terutama karena hadirnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Seiring meningkatnya animo masyarakat untuk memeriksakan kondisi kesehatan ke sarana kesehatan karena adanya jaminan kesehatan, maka fasilitas kesehatan terlebih lagi tenaga kesehatan harus bisa beradaptasi. Menyesuaikan diri, dengan perkembangan. Menjaga dan meningkatkan kompetensi. Tidak hanya itu, tirulah cara melayani pasien di luar negeri tadi. Perlakukan pasien secara manusiawi. Tenaga kesehatan dan non kesehatan harus lebih banyak bersabar, ikhlas dan tersenyum tatkala melayani. Tapi perlu diingat bahwa tuntutan tersebut juga harus dibarengi dengan memberikan mereka penghargaan yang pantas, pendapatan yang memadai.

Pada era JKN ini, skema pembayaran tidak lagi menggunakan Fee For Service (FFS) yang dianggap terlalu banyak mengakibatkan inefisiensi. Saat ini program JKN sudah menggunakan tarif kapitasi, non kapitasi dan INA CBGs. Perihal tarif ini telah diatur dalam Permenkes 59/2014 tentang tarif JKN yang merevisi Permenkes terdahulu (Permenkes 69/2013). Sekilas memang tarif yang tercantum, khususnya untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama sangatlah tidak manusiawi, sangat merendahkan martabat tenaga kesehatan. Jadi bagaimana mungkin kita bisa menuntut adanya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, jika pemerintah selaku regulator tidak mau menghargai jasa dan kemampuan dari para tenaga kesehatan.

Harapan kepada pemerintahan baru, problematika di bidang kesehatan khususnya dalam hal kualitas tenaga kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama dalam jangka waktu 5 tahun ke depan. Menkes yang baru juga perlu blusukan ke puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah untuk sesekali melakukan investigasi atau inspeksi mendadak menjadi pasien umum untuk mengetahui langsung bagaimana kondisi pelayanan di fasilitas kesehatan. Memang tidak semuanya buruk, banyak juga yang sudah sangat baik dan bisa mendapatkan akreditasi internasional. Akan tetapi perbaikan harus terus dilakukan terhadap semua sub sistem kesehatan. Agar derajat kesehatan rakyat Indonesia yang setinggi-tingginya dapat diraih. Semoga saja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun