Mohon tunggu...
Deassy M Destiani
Deassy M Destiani Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Magister Psikologi, Pendidik, Ibu Rumah Tangga, Pebisnis Rumahan

Seorang Ibu dua anak yang suka berbagi cerita lewat tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sahabat yang Dikirim Tuhan

26 Maret 2023   12:59 Diperbarui: 26 Maret 2023   13:06 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gbr :  u_uf78c121 dari Pixabay 

(By Deassy M Destiani)

Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sebentar lagi ujian sidang, suasana hatiku justru sedih dan galau. Padahal seharusnya bahagia karena sebentar lagi lulus kuliah dan tinggal cari kerja. Namun ternyata hidup gak semudah rencana di diary yang aku tulis. Terkadang Tuhan mengajakku bercanda  dengan ujian-ujian hidup yang bikin jantungan.  Tiga bulan sebelum ujian sidang, kedua orang tuaku bercerai. Ayahku selingkuh dengan teman kerjanya di kantor. Bahkan mereka sampai punya anak. Menjijikan!

Ibuku yang gak terima, ngotot berpisah dan tak mau menerima Ayahku lagi sebagai suaminya. Sebagai anak, aku tahu bahwa Ibuku sesungguhnya sangat mencintai Ayahku. Seluruh hidup Ibu hanya untuk berbakti pada suaminya. Namun bakti dan keikhlasan Ibu mendamping Ayah dari sejak tak punya apa-apa dibalas dengan sadis lewat sebuah perzinahan.

Sejak kedua orang tuaku bercerai, hidupku mulai berubah.  Ekonomi keluarga menjadi terganggu sebab Ayah sebagai pencari nafkah utama keluar dari rumah yang kami tempati. Ibu sudah tak sudi melihat Ayah, apalagi selingkuhan Ayah juga menuntut Ayah untuk menikahinya.  Sebagai anak pertama, aku merasa masalah ekonomi keluarga ini menjadi tanggungjawabku juga. Apalagi aku sudah hampir selesai kuliah. Aku terpacu untuk segera lulus agar bisa membantu Ibu mencari nafkah. Dua orang adikku yang masih duduk si SMP dan SMA pastinya butuh biaya tak sedikit. Meski Ayah tak melepas tanggungjawab namun Ayah juga punya keluarga baru yang harus Ayah beri nafkah. Sepertinya tak pada tempatnya keluargaku menggantungkan harapan hanya pada belas kasih Ayah yang sudah memilih jalan hidupnya sendiri.

Maka ketika ujian sidang tiba, mataku berkaca-kaca. Beberapa menit lagi aku akan dipanggil untuk mempresentasikan hasil penellitianku di hadapan para dosen pembimbing. Hari itu aku sudah memersiapkan segalanya dengan sepenuh hati. Materi presentasi sudah aku pelajari. Baju yang aku pakai model atasan dan bawahan warna biru pastel dengan jilbab bermotif batik nuansa merah muda. Baju ini aku jahit sendiri. Bermodal belajar di Youtube dan mesin jahit Ibu di rumah, aku coba membuat desain dan gunting polanya sesuai contoh. Hasilnya Alhamdulillah pas sekali di badanku.  Membuat rasa percaya diriku meningkat 3x lipat mengenakan baju ini. Katanya outfit itu bisa jadi moodboster untuk menutupi hati yang sedang rapuh.

Namun tetap saja ada yang kurang. Di saat semua orang punya teman yang support dan mendampingi ketika sidang, aku tak punya siapa-siapa. Beberapa temanku ada yang ditunggu oleh orang tuanya, kekasihnya atau sahabatnya. Ibuku tak bisa hadir karena harus menjahit seragam pesanan dan mengurus adik-adikku. Teman, sahabat, Pacar? Aku gak punya. Teman seangkatan belum ada yang ikut sidang karena aku termasuk yang pertama mengajukan.

Sambil menunggu sidang, aku lihat beberapa teman saling berkelakar. Ada juga yang foto-foto bersama keluarganya. Sementara aku sama sekali tak punya siapa-siapa. Sebagai seorang yang sangat introvert hidupku itu sepi. Tak ada teman yang berani menyapaku atau menjadi sahabatku. Apalagi aku juga sengaja menjauh dari mereka karena aku gak mau mereka tahu masalah hidupku.

Lalu datanglah seorang teman yang aku sendiri hampir lupa namanya kalau dia gak menyebutkan namanya duluan. Dia langsung memelukku sambil berkata,

"Hai Ratri... kamu masih inget aku kan? Dewi. Dulu kita pernah satu kosan di semester satu. Aku dengar dari dosen pembimbingku katanya hari ini ujian sidang kamu. Kebetulan dosen kita sama.  Nih aku bawakan buket bunga buat kamu. Ada coklatnya loh. Buat bikin kamu semangat menghadapi para dosen yang suka bikin bete." 

Tutur Dewi ke telingaku. Dewi berlagak sangat akrab dan tak berjarak. Aku jadi terhipnotis olehnya. Aku pun membalas hangat pelukannya. Kita memang tak begitu dekat apalagi setelah aku pindah kos, namun memang Dewi pernah curhat beberapa kali tentang keluarganya padaku di semester satu dulu.

"Ya Ampun Dewi... udah lama banget gak ketemu. Makasih ya udah mau datang dan repot-repot kirim buket ini segala. Kamu kapan ujian sidangnya?" 

 

"Bulan depan. Kamu datang yah!"

 

"Insya Allah... pasti aku datang. Duh maaf namaku udah dipanggil tuh. Aku ke dalam dulu yah."

 

"Iya cantik...ayoo semangat yah! Jawab semua pertanyaan dosen dengan percaya diri, jangan takut salah. Do The Best Ratri."

 

"Siapp!!"

 

Aku melangkah masuk ke sebuah ruangan yang katanya suka bikin gemetaran. Sidang yang aku pikir akan menegangkan ternyata berjalan sangat lancar. Alhamdulillah aku bisa menjawab semua pertanyaan dosen dari yang paling gampang sampai yang paling susah. Kehadiran Dewi membuatku lebih fokus dan semangat. Satu hal yang membuatku harus  berterimakasih pada Dewi,  karena di buket bunga yang dia kirim ada sekotak coklat dihiasi pita warna merah. Di dalam kotak coklat itu ada sebuah kartu dengan gambar wajah perempuan cantik. Ketika ku buka kartu itu tertulis sebuah kalimat dengan tulisan tangan nan indah :

"Astri, Berterimakasihlah pada dirimu sendiri yang sudah membuatmu bertahan hingga di titik ini. You Did Great!!"

Kalimat itu seolah menamparku. Seakan Dewi tahu kondisiku. Padahal aku tak pernah bercerita pada siapapun masalah hidupku.  Air mata tertahan di pelupuk mataku. Aku tak ingin orang lain tahu kesedihanku. Namun benar kata Dewi, Aku harus berterimakasih pada diriku sendiri yang sudah begitu hebat melalui semua ujian dari Allah SWT berupa masalah dalam keluargaku ini.  Jalanku masih panjang, aku harus membuktikan pada Ibuku bahwa aku akan menjadi perempuan sukses yang bisa membawa nama baik keluargaku dan membuat Ayahku menyesal telah melukai hati kami.

Aku juga berjanji tak akan pernah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain. Sebab sesakit itu rasanya Ayahku dirampas oleh orang tak dikenal dalam hidupku. Semoga aku bisa menjadi kebanggaan keluargaku dan membiayai adik-adikku hingga usai sekolahnya nanti. Terimakasih Dewi.. Kamulah sahabatku yang sesungguhnya. Sahabat yang dirkim Tuhan untuk menguatkanku disaat aku tengah rapuh dan tak berdaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun