Mohon tunggu...
Deassy M Destiani
Deassy M Destiani Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, Penulis, Pebisnis Rumahan

Seorang Ibu dua anak yang suka berbagi cerita lewat tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nasib Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini

28 April 2021   22:14 Diperbarui: 29 April 2021   07:06 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

By Deassy M Destiani
(Kepala Sekolah Paud Nusa Indah Yogyakarta)

Tahun ajaran baru 2021/2022 sebentar lagi akan dimulai. Bisanya sejak bulan Januari sekolah-sekolah swasta sudah membuka pendaftaran siswa baru. Begitu juga di lembaga pendidikan anak usia dini. 

Namun faktanya banyak lembaga pendidikan anak usia dini yang gulung tikar. Pada tahun 2020 ketika awal pandemi, sejumlah lembaga Paud mengeluhkan tidak bisa membayar gaji guru. 

Memasuki tahun 2021, satu persatu lembaga Paud berjatuhan tak bisa bertahan.  Ketika guru sudah tak bisa digaji, mereka juga harus berjuang untuk mencari rejeki. Pada akhirnya idealisme tak lagi bisa dipertahankan, kalah dengan kelaparan yang menghadang.

Kenapa lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bisa bangkrut? Sebab banyak orang tua murid tak sanggup lagi membayar SPP akibat penghasilan mereka turun.

Ada pula yang kehilangan pekerjaan terkena PHK atau dirumahkan. Dampaknya mereka memilih anaknya keluar dari sekolah sehingga tidak terkena kewajiban untuk bayar SPP. Ada pula alasan lainnya yaitu merasa percuma sekolah online untuk anak usia dini yang perlu banyak gerak dan eksplorasi. 

Jika sekolahnya online wali murid keberatan karena harus mendampingi anak mengerjakan tugas dari guru. Padahal tidak semua orang tua bisa sabar mengajar anaknya. Apalagi jika mereka juga tidak punya ilmunya. Tak jarang proses belajar ini menjadi ajang kemarahan orang tua karena anaknya tidak mau duduk manis mengerjakan tugas dari guru.

Jika anak-anak usia dini itu bisa protes, mungkin mereka juga ingin tetap datang ke sekolah buat belajar daripada diajarkan orang tuanya di rumah dengan penuh amarah. Namun situasi saat ini memaksa semua anak dari Paud hingga mahasiswa untuk belajar dari rumah. 

Mungkin belajar daring atau online cukup mudah buat mahasiswa, siswa SMA, siswa SMP. Mereka sudah terbiasa dengan gawai, laptop dan teknologi informasi.  Namun bagaimana dengan anak SD dan Paud? Tingkat kesulitan terberat belajar daring tentunya ada pada anak-anak usia dini. Semakin kecil umurnya semakin sulit belajar daring.

Kesulitan ini juga dirasakan oleh para guru Paud. Terbiasa berinteraksi secara langsung sekarang harus melalui pembatas layar gawai atau laptop. Perlu keahlian khusus pula mengoperasikan aplikasi pada gawai agar menjadi sebuah pembelajaran menarik buat anak-anak usia dini. 

Nah bagaimana guru Paud akan semangat belajar teknologi baru jika anak didiknya makin lama makin berkurang, SPP makin menghilang dan gaji gurunya tak kunjung datang.

Sebetulnya tak banyak orang awam tahu bahwa layanan pendidikan anak usia dini terbagi menjadi dua yaitu Paud Formal dan Paud Non Formal. Paud Formal itu lembaganya berupa Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA).  Paud non formal lembaganya adalah Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA), dan Satuan Paud Sejenis (SPS). Ada juga sih beberapa lembaga lainnya dengan istilah yang hampir mirip namun maksudnya sama.

Perbedaan Paud Formal dan Non Formal terletak pada pengelolaan dan klasifikasi usia. Paud Non Formal biasanya melayani anak umur 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Adapun Paud Formal melayani anak usia 4 tahun sampai dengan 6 tahun.

Paud Formal dikelola oleh guru yang sudah diakui dalam Undang-Undang Nomor 14 Tentang Guru dan Dosen. Sedangkan paud Non formal tidak diakui dalam UU tersebut.

Padahal Selama ini kedua jenis guru itu mengikuti pendidikan dan pelatihan berjenjang yang sama dan  bertujuan meningkatkan kompetensi. Hanya bedanya guru paud nonformal tidak dapat tunjangan sertifikasi jika ikut pelatihan apapun sementara guru paud formal selain gaji dari yayasan juga mendapat tunjangan sertifikasi yang setara dengan PNS.

Menurut Permendiknas Nomor 72 Tahun 2008, bagi guru tetap bukan PNS yang punya sertifikat pendidik tetapi belum memiliki jabatan fungsional guru, diberikan tunjangan profesi sebesar Rp 1,5 juta setiap bulan sampai dengan memperoleh jabatan fungsional guru. 

Jumlah itu belum ditambah honor dari yayasan dan tunjangan lainnya. Namun untuk mendapat tunjangan sertifikasi ini juga banyak syaratnya salah satunya jumlah murid yang diajarkan minimal 15 anak, Jika kurang dari 15 anak tunjangan tidak cair  atau guru tersebut di mutasi ke lembaga yang jumlah muridnya banyak dan kekurangan guru.

Makanya saat ini banyak Paud Formal yang menggratiskan biaya pendaftaran sekolah atau SPP-nya asalkan bisa mendapat murid. Gurunya rugi kan kalau tunjangannya tidak cair. Apalagi penghasilan mereka mislanya hanya dari itu saja. Bahkan ada beberapa kepala sekolah turun langsung mendatangi rumah-rumah warga yang punya anak balita untuk didafarkan di sekolahnya dengan iming-iming seragam atau SPP gratis untuk semester pertama.

Bagaimana dengan Paud Non Formal? Wah ini kabarnya lebih parah lagi. Sebab gaji guru Paud Non Formal hanya tergantung kebijakan dan kebaikan yayasan. Tidak ada tunjangan sertifikasi karena tak bisa diajukan. Apalagi di masa pandemi ini ketika anak balita lebih memilih bersekolah di rumah bersama orang tuanya daripada harus membayar SPP setiap bulan ke sekolahnya. 

Yayasan yang membawahi guru Paud Non Formal harus cerdas mengelola anggaran agar gaji guru bisa dibayarkan. Beberapa lembaga bahkan ada yang curhat harus mencairkan deposito dan tabungannya untuk membayar gaji gurunya. Entah sampai kapan bisa bertahan, karena sekolah sampai saat ini belum dibuka.

Pernah suatu kali seorang wali murid bercerita,

"Bunda, anak saya mau cuti sekolah dulu dari paud karena saya gak bisa mendampingi dia mengerjakan tugas dari sekolah. Saya nanti masukkan anaknya lagi kalau sudah belajar tatap muka saja."

Jika semua orang tua berpikiran sama, bagaimana pendidikan anak usia dini bisa bertahan? Adakah petinggi negara ini yang memikirkannya? Padahal pendidikan anak usia dini sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak agar optimal kecerdasannya. 

Memang benar untuk masuk sekolah yang lebih tinggi seperti SD tidak diperlukan ijazah Paud. Namun jika orang tua yang tak punya ilmu mendidik anak usia dini "mengabaikan" stimulasi di rumah dan membiarkan anak asyik main sendiri hanya ditemani TV dan gawai waspadalah. Jangan sampai anak usia dini kecanduan dan kena dampak negatifnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun