By Deassy M Destiani
Dalam dua minggu terakhir ini, saya diminta bertemu dengan beberapa orang untuk membicarakan sebuah kasus. Ada seorang anak laki-laki usia 7 tahun yang mengajak teman-teman sekelasnya mengajak bermain dengan istilah "starter."
Starter adalah sebuah kegiatan dimana ada dua orang anak posisi berhadapan. Ujung kaki kanan masing-masing anak saling menyentuh kelamin lawannya dan digesek-gesek sampai merasakan sensasi nikmat. Hal ini mereka lakukan dalam tempat terbuka, kadang di masjid saat Jumatan atau kegiatan TPA.Â
Saya juga pernah menemukan kasus yang mirip dengan kegiatan "starter" ini yaitu menggesek-gesekkan alat kelamin ke ujung meja atau benda yang agak tumpul lainnya. Biasanya ini dilakukan anak perempuan. Mereka melakukannya di tempat terbuka, kadang di rumah, di sekolah atau saat bermain bersama temannya.
Pada anak yang belum baligh sebetulnya sensasi yang mereka cari bukan orgasme. Hanya sebuah sensasi berbeda dan pelepasan emosi yang mungkin dirasakan. Sebab jika anak bertujuan mencari orgasme tentunya dia tidak akan melakukannya di tempat umum bahkan disaksikan orang lain. Waktu saya tanya anak 5 tahun yang menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke ujung meja jawabannya begini : "gak ngapa-ngapain kok.. cuman merasa enak dan geli gitu kalau digesekin." Mimik anak ini juga biasa saja tanpa rasa bersalah, tanpa rasa malu seolah-olah hal itu hanyalah sebuah permainan saja.
Kembali ke kasus anak 7 tahun itu. Anak ini juga sempat membuat heboh sekolahnya karena dikabarkan mengajak anak lain masuk kamar mandi sekolah untuk menggesekkan alat vitalnya ke anus temannya. Setelah ditelusuri, anak ini melakukan hal tersebut terinspirasi film porno yang dia tonton bersama kakaknya yang duduk di kelas 3 SD.
Jika dihubungkan dengan teori Psikoseksual Freud, Anak 7 tahun sebetulnya ada diantara fase falik dan laten. Fase falik adalah sebuah fase dimana anak mulai senang dan menikmati memainkan alat genitalnya. Biasanya dimulai sejak anak umur 3- 6 tahun. Fase ini anak juga bisa membedakan jenis kelamin temannya dan bertanya mengapa dia berbeda.
Rasa ingin tahu tentang mengapa dia bisa lahir, dari mana dia berasal biasanya menjadi pertanyaan yang sering diajukan.. Jika anak melewati masa falik ini dengan baik maka dia akan melanjutkan ke fase laten yaitu fase dimana anak tidak lagi berorientasi pada sensasi seksual tetapi lebih banyak di tumbuh kembang fisik dan kognitif (masa sekolah). Fase Laten biasanya terjadi saat anak umur 7 sampai dengan 11 tahun atau hingga dia baligh.
Nah yang jadi persoalan apabila si anak ini tidak mulus melalui masa falik. Seperti halnya yang terjadi pada anak 7 tahun diatas. Saat masa peralihan antara falik dan laten, otak anak ini dirangsang dengan film porno sehingga merusak bagian otak Pre Frontal Cortex (PFC). Jika PCF rusak bisa membuat seseorang sulit membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu, emosi, serta kesulitan dalam mengambil keputusan.
Pornografi juga bisa merusak keseimbangan hormon anak. Karena ada hormon-hormon dalam tubuh yang secara fisiologis dibuat bekerja terus menerus akibat reaksi menonton fim porno. Hormon yang terganggu adalah dopamin, neuropiniphrin, serotonin, oksitosin.
Hormon-hormon ini memaksa seseorang untuk mengases pornografi terus menerus alias kecanduan. Walaupun sesungguhnya anak mengetahui bahwa perbuatannya itu salah namun ia tidak bisa mengendalikan dirinya untuk menahan dan melawan hasrat yang ada dalam dirinya. Gangguan hormonal ini menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir jernih, malas berpikir, dan tidak dapat berpikir kreatif.
Jika dorongan seksual itu dia salurkan sendiri misalnya dengan masturbasi mungkin hanya akan merugikan dirinya saja. Namun bagaimana jika anak ini malah mengajak orang lain? Sebab anak 7 tahun awalnya hanya ingin coba-coba saja mempraktekkan apa yang mereka llihat di film. Ternyata saat mempraktekkan ada kenikmatan yang mereka rasakan.Â
Lalu akhirnya menjadi ketagihan. Awalnya korban hanya satu, besoknya dua, tiga, empat dan seterusnya. Awalnya hanya berani dengan anak laki-laki. Suatu saat bisa jadi mengajak anak perempuan. Sebab sifat dari kecanduan itu tingkatannya selalu nagih dengan yang dosis yang lebih besar dan lebih menantang.
Begitu pula yang terjadi dengan anak 7 tahun ini. Dia mencari teman laki-lakinya untuk bisa mempraktekkan apa yang dia lihat. Untunglah pihak sekolah tanggap dengan kejadian ini dan segera mengantar anak ini pulang ke rumahnya. Apakah masalah ini selesai? Tidak. Ternyata orang tuanya tidak percaya jika anaknya melakukan itu. Mereka yakin itu hanya permainan anak-anak saja, bukan bermaksud pada aktifitas seksual. Bahkan orang tuanya ini balik bertanya siapa saja korban anaknya dan berusaha mencari kesalahan korban bukan mengevaluasi perilaku anaknya.
Lalu sampai sini harus bagaimana? Padahal anak yang kecanduan pornografi jadi seperti terikat lahir batin dengan pornografi. Jika tidak melihat pornografi beberapa hari, ia akan merasa kangen. Hormon di dalam tubuhnya membuat seseorang jadi terikat pada pornografi. Bahkan anak ini seperti memiliki perpustakaan pornografi di otaknya. Jika sudah begini maka akan ada terus dorongan untuk menambah koleksi perpustakaanya itu. Lama kelamaan bisa terjadi penyimpangan seksual.
Pada tahun 2013 ada kasus remaja yang memperkosa ratusan ayam di Tasikmalaya. Setelah ditelusuri remaja ini juga punya kebiasaan menonton film porno. Setelah hasrat seksualnya tidak tertahankan lagi dia mencari ayam di sekitar rumahnya dan menjadikan ayam sebagai sasaran perilaku seksualnya. Hal ini sudah dia lakukan sejak umur 9 tahun. Kurang lebih ada 300 ayam dan beberapa kambing yang dia perkosa. Remaja ini kemudian ditahan karena pada umur 17 tahun dia memperkosa seorang anak SD.
Sebuah penelitian mengungkapkan bawah hampir seratus persen orang yang melakukan kekerasan seksual diawali dari mengases pornografi. Semakin sering otak terpapar pornografi maka semakin sulit ia melepaskan pikiran tersebut.Â
Parahnya bukan hanya ia yang jadi korbannya tapi orang lain menjadi korban kejahatan seksualnya. Apalagi jika ini terjadi pada mereka yang belum nikah. Korbannya bisa jadi orang terdekatnya, menjajal dunia prostitusi atau bahkan melakukan kekerasan seksual kepada orang di sekitarnya yang dianggap lebih lemah. Maka pecandu pronografi lebih merusak daripada pecandu narkoba sebab ia merusak dirinya dan merusak masa depan orang lain.
Untuk mereka yang sudah menikah kecanduan pornografi ini juga sangat berbahaya. Semakin sering seseorang melihat pornografi, semakin rendah kepuasan yang mereka dapatkan terhadap aktifitas seksual yang biasa saja. Apalagi jika hanya suami atau istri saja yang jadi pecandu maka tentunya terjadi ketimpangan ketika melakukan hubungan seksual karena perbedaan 'ilmu'.
Bisa jadi salah satunya akan merasa tidak puas dan terdorong untuk melakukan dengan bukan pasangannya untuk mencari kepuasan yang lebih besar. Saya menemukan kasus ada yang meminta istrinya mencari "teman" untuk melakukan aktifitas seksual bersama. Perilaku ini dikenal dengan istilah "Threesome." Bahkan sekarang ini ada pula yang melakukan seks party dengan banyak pasangan di satu ruangan. Mereka bebas bergantian mau melakukannya dengan siapa hanya untuk memenuhi kepuasan imajinasi seksual akibat kecanduan film porno.
Kembali lagi pada kasus anak 7 tahun, saya sebetulnya penasaran apakah ada "sesuatu" yang sudah dilakukan antara kakak dan adiknya ini. Sebab anak 7 tahun itu mengakui jika dia mendapatkan akses film porno dari kakak kandungnya. Saya juga penasaran apakah anak ini pernah melihat atau memperhatikan orang tuanya saat melakukan aktifitas seksual. Sebab saya melihat faktor terpenting dari kasus ini adalah relasi dan pengasuhan dalam keluarga si anak.
Sebetulnya adiksi pornografi bisa sembuh sama halnya dengan kecanduan narkoba. Sayangnya terkadang keluarga tidak mengetahui jika salah satu anggotanya terkena adiksi sehingga terlambat menolongnya. Bahkan yang sering terjadi jika sudah ada korban barulah keluarga merasa bersalah dan malu. Mungkin Anda bisa belajar dari kasus Reynhard Sinaga yang mempunyai kelainan seksual dan tidak mendapat pertolongan hingga korbannya sampai ratusan. Andai saja Raynhard Sinaga dulu ditangani oleh seorang ahli mungkin dia tidak akan menjadi predator seks yang menghebohkan dunia.
Dalam masa wabah korona ini anak-anak banyak diliburkan sekolahnya. Ketika belajar di rumah orang tua tidak selalu bisa mengawasi, bahkan membiarkan memegang gawai tanpa aturan dan pengawasan. Tolong pastikan jika yang diakses anak-anak adalah materi pelajaran atau tontonan yang sesuai umurnya. Jangan biarkan mereka terjerumus dalam jurang pornografi.
Saya mengajak siapapun yang membaca tulisan ini, jika ada laporan anak di bawah umur yang mempunyai kecenderungan untuk kecanduan pornografi segera bantu dia. Laporkan pada sekolah, orang tua dan konselor. Jangan tunda hingga ada korban. Sebab semua ini berpacu dengan waktu. Kebutuhan untuk menyalurkan hasrat seksual akan terus diciptakan melalui sinyal-sinyal di otaknya. Jangan sampai salah satu korban itu adalah mereka yang Anda kenal. Ayoo peduli, ayoo selamatkan generasi muda kita, selamatkan anak-anak dari bahaya pronografi yang mengancam moral dan jiwa mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H