Mohon tunggu...
Deassy M Destiani
Deassy M Destiani Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, Penulis, Pebisnis Rumahan

Seorang Ibu dua anak yang suka berbagi cerita lewat tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suamimu Kunci Surgamu

7 Februari 2017   13:25 Diperbarui: 7 Februari 2017   13:51 2927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sementara istri kedua dapat memberikan kenyamanan yang diinginkan. Selalu manis melayani suami, sabar terhadap hujatanku sebagai istri pertama, serta menerima dengan sukacita sekecil apapun pemberian suaminya. Sungguh sangat bertolak belakang dengan aku sebagai  istri yang terluka. Aku bingung antara memilih tetap bercerai karena gengsi semata atau tetap bertahan dengan segala sakit yang kurasakan ini. 

 Aku akhirnya belajar mengaji. Mengikuti majelis taklim. Membuka ayat tentang poligami. Diskusi kepada ustadzahku. Apakah yang diinginkan dan diharapkan oleh Islam dalam ayat mengenai poligami? Semua orang tahu bahwa poligami diijinkan dalam Islam. Wanita yang minta bercerai dari suaminya tanpa sebab yang benar, tak akan mencium harumnya bau surga.. Lalu harus bagaimana aku bersikap?

 Guru mengajiku mengatakan, pertama, sadarilah bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak dan ijin-Nya. Lahir, mati dan jodoh adalah takdir-Nya. Apakah kita ridho terhadap takdir yang telah tertulis dalam kitab terdahulu atau kita akan menolak dan menggugat? Pernikahan kedua telah terjadi, apakah harus diceraikan? tentu dosa  besar dan tidak dibolehkan sama sekali bagi istri pertama untuk meminta suaminya menceraikan istri keduanya. Apakah sanggup kita menanggung akibatnya?

 Aku kemudian diminta untuk introspeksi, apakah aku merasa sudah menjadi istri yang sempurna tanpa kekurangan? Suami pulang dibiarkan sendiri, tidak disambut atau dilayani. Ketika suami jauh, tak pernah diingat apakah dia baik-baik saja. Tiap bulan menerima nafkah dari suami, tanpa pernah suami bertanya untuk apa uangnya dibelanjakan. Kita terima sebagai suatu yang semestinya, kewajiban suami, sementara haknya untuk dipatuhi sering diabaikan. 

Karena kita merasa juga bekerja dan punya kewajiban pekerjaan yang penting dan tak bisa ditinggalkan.. toh suami sudah tahu dari dulu dan tidak keberatan. Baru terasa ketika ada wanita lain yang lebih memperhatikan dan membutuhkan suami. Ada wanita lain yang mencintai suami dengan penuh ketulusan, baru sadar bahwa suami adalah harta yang sangat berharga yang harus dipertahankan. Tapi kadang semua sudah terlambat. 

 Kedua, guruku juga bertanya, apakah dibenarkan jika atas nama sakit hati dan menganggap suami sudah melanggar janji, dibolehkan untuk minta cerai? Yakin mau minta cerai?  Apakah perceraian itu benar-benar kita inginkan atau hanya untuk memuaskan hati yang sakit. Agar suami tahu betapa berharganya kita, agar dia menyesal kehilangan kita, padahal ada anak-anak yang ikut menderita. Sementara suami, tidak punya pilihan lain, meski berat untuk bercerai tapi demi mengabulkan keinginan kita yang sudah tak bisa dibujuk, dia akan turuti.

  Tinggalah kita yang makin merana, apalagi jika tahu bahwa dengan istri barunya usahanya makin lancar, rejeki melimpah dan dia terlihat bahagia. Duh, sungguh makin bertambah-tambah rasa sakit, iri dan dengki. Makin sulit kita mencari ketenangan hati dan move on. Harapannya bisa dapat suami lagi yang baik hati dan setia. Tapi mungkinkah akan ada? Banyak kisah yang terjadi, istri sulit mendapat jodoh kembali, tak banyak jejaka yang berminat dengan janda, apalagi kalau sudah tak lagi muda. Jika iman kuat, jalani hidup sendiri dengan lurus, mohon ampun dan mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Tapi jika iman lemah, tak kuat menghadapi godaan nafsu, lantas menggoda suami orang hanya untuk kesenangan. Kalau beruntung menjadi istri kedua atau istri simpanan.

 Jangan-jangan nanti kebalik. Malah ikutan jadi istri kedua juga. Sesuatu yang dulu sangat dibenci dan ditangisi, malah sekarang dijalani. Jadi sudah siapkah hidup tanpa suami ? Mengapa Allah mengijinkan poligami, barangkali kita bisa berempati kalau sudah mengalami pahitnya hidup sendiri. Saat kita, terpaksa, menjadi istri kedua karena ingin mendapat naungan dan bimbingan dalam menjalani hidup. Saat kita, tak berniat mengambil banyak kebahagiaan dari istri pertama, hanya sedikit cukuplah… toh nafkah terbiasa mencari sendiri, hanya kasih sayang yang tak terbeli.

 Jika kita bisa mengatasi rasa sakit itu, berapa lama, mungkin satu tahun, dua tahun, lama-lama akan terbiasa. 

 Apakah pernikahan poligami tak bisa bahagia? Jelas salah kalau merasa tak mungkin bahagia.  Suamiku cinta pertama dan cinta sejatiku.  Ayah anak-anakku. Diialah orang yang paling cinta dan paling peduli denganku.  Bukan orang lain lagi yang akan kita temui di tengah perjalanan. Suamiku yang menerima kekurangan dan kelebihanku. Hanya karena  kekhilafannya terperosok dalam jerat pesona syahwat wanita, lalu aku tinggalkan dia begitu saja? Padahal Allah juga sudah mengingatkan, fitnah terbesar adalah wanita. Mungkin wajar jika suamiku tak tahan goda, pasti ada kontribusi aku terhadap kekhilafannya. 

 Lalu bagaimana aku berdamai dengan rasa sakit dan cemburu, yang datang dan pergi selalu tak pernah henti? Aku Pasrahkan semua pada Allah SWT. Janji Allah adalah pasti, Dia tak hendak menyulitkanku, tapi hendak membersihkanku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun