Sebagai seorang wanita yang pernah diteror pertanyaan "Kapan nikah?" oleh keluarga, tetangga, dan bahkan kenalan yang tak terlalu dekat, saya paham betul bagaimana rasanya. Rasa malu, kesal, dan tersinggung menghantui setiap acara keluarga dan kondangan pernikahan yang dulu banyak saya hadiri.Â
Saya termasuk dalam kategori wanita yang lambat menikah. Saya menikah pada 12 Februari 2022 Â di usia 34 tahun yang bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Ada beragam alasan mengapa seorang wanita terlambat atau menunda menikah. Saya sendiri lambat menikah karena sebagai anak pertama di keluarga, saya menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah saya meninggal. Sibuk kerja di luar negeri menjadi alasan utama saya tidak memiliki waktu untuk pacaran.Â
Jangankan pacaran, untuk istirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman pun waktunya tidak banyak. Pacaran juga menghabiskan uang, sehingga dulu saya berpikir daripada uangnya habis untuk beli make-up atau baju baru, lebih baik kalau uangnya dikirim ke keluarga atau dipakai beli buku dan jalan-jalan.
DULU, SAYA ENGGAN MENIKAH
Sepuluh tahun yang lalu, sebagai anak tertua yang punya beban finansial untuk membantu keluarga, pikiran saya tentang pernikahan sangat terwakili oleh tulisan Irmina Gultom tentang menunda menikah. Karena saya tahu persis betapa lelahnya banting tulang untuk membiayai keluarga, bagaimana mungkin saya bisa menikah dengan seseorang yang kesulitan secara finansial.Â
Sebagai seorang wanita, saya ingin menikah dengan orang yang kondisi finansialnya lebih baik dari saya. Saya yakin hampir semua wanita berpikiran seperti ini dan itu bukanlah sesuatu yang salah. Hanya saja, dulu saya tidak berpikir bahwa pria pun punya banyak pertimbangan dalam memilih calon istri. Hak memilih tidak eksklusif milik perempuan saja, tapi juga hak prerogatif pria. Bukan hanya sekedar cantik dan berpendidikan saja, tapi apakah dia memiliki kualitas yang dicari sebagai seorang istri dan ibu.Â
Tentunya sosok pria yang saya dambakan sebagai suami (dan puji Tuhan sudah menjadi suami saya hari ini) adalah sosok yang berkualitas dan memenuhi kriteria yang saya miliki. Yang terlewat dari pikiran saya kala itu adalah, apakah saya sudah memenuhi kriteria yang dimiliki oleh pria idaman saya tersebut?Â
Sebab, kalau saya harus jujur dan menilai secara objektif, ada lebih banyak perempuan yang cantik, cerdas, dan memiliki kualitas lainnya yang memenuhi syarat menjadi istrinya. Saya tidak sendirian. Ada banyak perempuan yang sosoknya seperti saya, hanya beda wajah, penampilan fisik dan mungkin pekerjaan dan usia saja. Tapi sosok pria yang seperti suami saya? Wah, bisa dibilang saya ini menang undian jadi istrinya! :)
Dari hukum supply-demand saja sudah terlihat jelas kalau jumlah wanita yang berkualitas lebih banyak daripada jumlah pria yang berkualitas.
Di sinilah timbul masalah. Ketika situasinya seperti ini, maka akan ada lebih banyak wanita yang melajang hingga lanjut usia. Studi yang dilakukan oleh Morgan Stanley yang dirilis pada tahun 2019 lalu menemukan bahwa di tahun 2030 mendatang, sekitar 45 persen wanita usia produktif (25-44 tahun) di Amerika Serikat akan berstatus lajang dan tanpa anak (baca di sini dan di sini).