[caption id="attachment_227244" align="aligncenter" width="531" caption="ki-ka: Salman Aristo, Angga Rulianto, Gina S. Noer, Haqi Achmad (dok. dearmarintan)"][/caption]
“What’s next after blogging? Could be a revolution!” ujar Salman Aristo di sela sesi sharing bersama movie bloggers di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Minggu 2 Desember 2012 (kemarin).
Ucapan itu menghentak dan menyadarkan saya bahwa sebuah blog film bisa membawa dampak yang besar bagi industri perfilman itu sendiri. Gina S. Noer, penulis naskah film yang didaulat sebagai salah satu pembicara dalam sesi tersebut pun menjelaskan bahwa dampak yang dibawa oleh movie bloggers sangat besar. Bisa buruk, bisa pula baik.
Beberapa kali dia menemukan bahwa tulisan resensi film yang dibuat oleh blogger film Indonesia menjatuhkan citra baik film maupun sang pembuat film. Meskipun tak sedikit juga yang resensi filmnya mengangkat citra film Indonesia tertentu, Gina mengungkapkan bahwa para pembuat film berharap bahwa segala bentuk kritik bisa disampaikan dengan baik.
“Bukan berarti baik-baikkin ya, tapi sampaikanlah dengan sudut pandang yang positif. Nulis review itu harus dengan bertanggung jawab,” katanya.
Penulis skenario untuk film layar lebar tersebut (Ayat Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Hari untuk Amanda, Habibie dan Ainun) mengatakan bahwa para pembuat film Indonesia selalu memperhatikan resensi film atau opini para penonton begitu film karya mereka dirilis di bioskop. Yang diinginkan saat membaca resensi atau opini penonton, khususnya movie blogger, adalah mendapatkan saran atau kritik membangun yang membuat mereka belajar. Agar ke depannya lebih baik lagi dalam menggarap film. Karenanya, bukan sekedar kritik nggak jelas atau cacian tanpa arah, apalagi tanpa bobot pengetahuan yang baik tentang film tersebut yang diharapkan para pembuat film.
“Ada yang nulis (resensi) Jakarta Hati, dibagus-bagusin deh pokoknya. Gue penasaran (lalu) cek twitternya. Eh, dia bilang di tengah-tengah (jalannya film) ketiduran,” jelasnya tentang contoh resensi film yang nggak bertanggung jawab.
Saat mendengar penjelasan ini, saya berpikir dalam. Iya juga ya, betapa film Indonesia saat ini masih kekurangan, kalau nggak mau dibilang ‘miskin’, kritik atau opini yang membangun dari para movie blogger. Masa tayang film-film Indonesia yang saat ini masih relatif sebentar menyadarkan saya bahwa apresiasi nyata dari penonton Indonesia memang masih belum memenuhi harapan para sineas. Mungkin ini juga sebabnya sharing session ini diadakan oleh Muvila.com yang bekerja sama dengan Institut Français Indonesia (IFI) Jakarta dalam rangkaian kegiatan Festival Sinema Prancis 2012.
Selain membahas tentang dampak tulisan blogger terhadap industri perfilman, khususnya lokal, para pembicara (selain Gina, ada pula Angga Rulianto, editor Muvila.com dan Haqi Achmad, penulis skenario Poconggg Juga Pocong, Radio Galau FM) juga menerangkan bahwa blog film bisa membawa sang penulis ke industri film.
Contohnya Haqi Achmad. Sebelum menjadi penulis skenario film seperti sekarang, cowok kelahiran Jakarta, 27 Februari 1990 itu dikenal sebagai blogger aktif yang sering menulis resensi film. Semua pemikiran tentang film-film yang ditontonnya kala itu dituangkannya dalam sebuah blog bertajuk “Jemari Menari”. Tanpa disangka, tulisan-tulisannya tersebut dibaca oleh para pembuat film. Bahkan salah satu aktris yang aktingnya sempat dikomentari dalam blognya tersebut, Acha Septriasa, mengucapkan terima kasih atas kritik tentang lakonnya dalam film “Love is Cinta”.
Didukung dengan bakat menulis yang baik dan banyaknya pelaku industri film yang membaca tulisannya, Haqi pun mendapat tawaran menulis skrip. Dari skrip FTV sepuluh halaman, karir penulisan Haqi pun menanjak hingga dia dipercayakan menggarap skrip film setebal 70 – 90 halaman. Apa rahasia Haqi sukses memasuki industri film dari sebuah blog?
“Buat gue, yang paling penting waktu lo nulis itu lo harus jujur. Orang dengan sendirinya bisa nilai tulisan lo jujur apa nggak dengan membaca. Kenapa gue bilang gini? Soalnya setelah gue menyadari kalo blog itu bisa menjadi tangga yang bisa bawa lo ke mana-mana, banyak yang jadi terlalu fokus sama tangga itu dan akhirnya kehilangan ketulusan dalam nulis,” jelas Haqi.
Dari omongan Gina dan Haqi, saya bisa menarik kesimpulan. Bahwa seorang movie blogger itu harus jujur dalam menulis ulasannya, tapi bisa menyampaikan pendapatnya dengan bahasa yang baik. Sekalipun kita nggak suka dengan film itu, bukan berarti kita bisa menghina atau ‘membunuh’ bukan hanya karya yang sudah dibuat dengan susah payah oleh para pelaku film, tapi juga industri film itu sendiri. Film Indonesia justru harus didukung dan diberi masukan yang baik agar bisa makin berkembang. Dan untuk ini, para movie blogger yang menjadi tulang punggungnya.
So, start from today, I will be more responsible in writing movie reviews. I’ll also feed my brains with every thing about movies, particularly local ones, to understand the industry’s struggle better. Let’s support Indonesian movies because we are proud to be Indonesians!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H