[caption id="attachment_226546" align="aligncenter" width="600" caption="(sumber foto: nasional.inilah.com)"][/caption]
Menarik bila kita menyimak hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) mengenai capres 2014 yang dirilis kemarin. Temuan yang dipaparkan secara deskriptif tersebut (dapat diunduh selengkapnya di sini) didapat setelah melakukan survei terhadap 223 responden yang berasal dari kalangan terpelajar dan berpengaruh atau disebut juga sebagai opinion leaders.
Sebelum menjabarkan hasil temuan LSI terhadap opinion leaders dan membandingkannya dengan survei serupa terhadap pemilih nasional yang diadakan sebelumnya, ada baiknya disimak beberapa hal berikut ini.
Kualitas tokoh pejabat publik diartikan sebagai sifat-sifat personal yang dinilai penting oleh pemilih. Berikut adalah daftar kualitas yang dimaksud:
a. Kapabilitas: pintar atau berwawasan luas, dianggap mampu memimpin negara.
b. Integritas: bisa dipercaya, satu dalam kata dan perbuatan, tidak melakukan tindakan kriminal, melanggar HAM, dan maupun melakukan praktik KKN.
c. Akseptabilitas: mampu berdiri di atas semua golongan atau kelompok kepentingan yang berbeda-beda, tidak menimbulkan penolakan publik.
Menuju Pilpres 2014 yang Berkualitas
Demikianlah tajuk penjelasan hasil survei yang terdapat dalam laman website LSI. Dengan memahami judul tersebut, maka jangan heran bila responden yang disurvei oleh lembaga tersebut adalah para pembuat opini. Sebab bila dibandingkan dengan pemilih nasional pada umumnya, mereka mengetahui dengan lebih baik latar belakang maupun track record nama-nama tokoh nasional yang dinilai mampu melaju ke bursa capres dua tahun mendatang.
Itulah mengapa nama-nama seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, Sri Mulyani, Dahlan Iskan, dan Hidayat Nur Wahid berulang kali muncul dalam beberapa kategori penilaian kualitas personal tersebut di atas.
Maka, tak heran bila terdapat penilaian kualitas personal pemimpin yang berbeda bila dibandingkan hasil survei atas para pembuat opini (responden 233 orang) dan pemilih nasional (responden 1.216 orang).
Bisa dilihat dalam grafik bahwa semua kualitas personal yang telah disebutkan memang penting. Namun bagi para pembuat opini, di antara semuanya yang dianggap paling penting adalah kapabilitas (mampu memimpin negara dan pemerintahan). Sementara bagi massa pemilih nasional yang paling penting adalah integritas (jujur, amanah, bisa dipercaya)
Calon Presiden Ideal versi Pembuat Opini Vs Massa Pemilih Nasional
Saya kira hasil survei LSI sedikit banyak menunjukkan realita yang ada. Di kalangan terpelajar yang tingkat pengetahuan dan pemahamannya tentang politik sudah tinggi, ada semacam kejenuhan terhadap tokoh-tokoh nasional yang sudah populer. Mereka mengharapkan adanya wajah-wajah baru di pemerintahan yang akan datang, tentu saja dengan nama baik, kapabilitas dan track record yang sudah teruji. Itulah sebabnya ketua-ketua parpol tidak melulu berada dalam beberapa kategori penilaian capres yang dianggap layak oleh para pembuat opini.
Sementara bagi rakyat kebanyakan (ini menurut pengamatan saya, sehingga tidak bisa digeneralisir) popularitas seseorang masih berpengaruh. Sebab mereka masih mengandalkan pada media untuk memperoleh informasi mengenai tokoh-tokoh nasional. Sedangkan untuk menganalisa lebih jauh sepak terjang politik, belum semua lapisan masyarakat memiliki kemampuan dan akses informasi yang memadai.
Baru mereka yang tinggal di kota-kota besar saja yang sudah melek politik dan lebih kritis dalam menggunakan hak pilihnya. Sedangkan di daerah-daerah lain? Belum tentu demikian. Itu sebabnya aspek penilaiannya akan sangat subjektif. Tokoh mana yang terlihat jujur, amanah, dan bisa dipercaya itulah yang akan memenangkan hati rakyat kebanyakan dalam pemilih. Hmm, tidak heran bila kata ‘jujur’ dan ‘amanah’ banyak dipakai sebagai slogan kampanye ya?
Parpol Sekarang Miskin Figur
Meski ada perbedaan penilaian kualitas capres antara para pembuat opini dan massa pemilih nasional, ada satu benang merah yang menghubungkan kedua perbedaan tersebut. Ada kerinduan akan sosok, kalau bisa di luar dari tokoh-tokoh parpol yang itu-itu saja. Saya kira ini muncul akibat ‘miskinnya tokoh pemimpin’ di antara parpol-parpol yang ada saat ini. Ada beberapa tokoh nasional yang kompeten dan saya yakini bisa memimpin pemerintahan dengan baik. Namun panasnya perang kubu di masing-masing parpol membuat semuanya seolah bersaing memperebutkan kursi, bukannya tampil solid dan menyatukan suara untuk merebut hati rakyat.
Lihat saja partai-partai besar yang ada saat ini. PDIP masih berkutat dengan Megawati Soekarnoputri, seolah tidak ada regenerasi figur pemimpin di tubuh partai berlambang banteng moncong putih itu. Sementara Golkar bak amoeba yang membelah diri, yang satu ke kubu Ical, yang satu ke kubu JK, dan yang satu lagi keluar dan bahkan mendirikan partai baru bernama Nasional Demokrat. Yang paling parah barangkali Partai Demokrat. Selain belum adanya figur pemimpin yang bisa menggantikan SBY, partai itu seolah tak berhenti dirundung kasus korupsi dan segudang permasalahan hukum lainnya.
Hasil survei LSI tentang capres 2014 ini sudah selayaknya membuka cakrawala berpikir kita mengenai alternatif capres di luar parpol yang memiliki kapabilitas, integritas, serta akseptabilitas yang tinggi, atau paling tidak memadai. Bila mayoritas rakyat menuntut adanya perbaikan figur pemimpin, maka tahun depan, saya kira, parpol-parpol akan berlomba ‘tawar-menawar’ dengan para figur nonparpol dalam survei tersebut yang dianggap mampu mendulang suara pemilih. Kita lihat saja bagaimana serunya situasi politik tanah air tahun depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H