Grup Nasyid Lampion dalam Perayaan Imlek PITI tahun lalu. (*dok: Syarif Tanudjaja)
Warga etnis Tionghoa harus rela bersabar menghadapi berbagai stereotipe yang melekat pada diri mereka. Tionghoa diidentikkan dengan pedagang, kaya raya, Nasrani, dan masih banyak label lainnya lagi. Tidak salah memang, tapi tak selalu label tersebut benar. Warga Tionghoa juga ada yang beragama Islam. Uniknya lagi, mereka juga merayakan Tahun Baru Imlek dengan antusias seperti warga Tionghoa pada umumnya.
Hal ini membuat saya sedikit terkejut. Bukankah dalam Islam ada Tahun Baru Hijriyah? Apakah tidak apa-apa bila mereka merayakan Tahun Baru Imlek? Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DPW Jakarta, Syarif Tanudjaja, berbaik hati menjawab pertanyaan-pertanyaan saya itu.
"Tahun Baru Imlek itu bukan perayaan agama, itu lebih ke tradisi kami (warga etnis Tionghoa). Memang kami sudah berpindah agama, tapi itu bukan berarti harus kehilangan akar budaya dan tradisi," tutur Pak Syarif dengan ramah.
Saya pun teringat bahwa dalam masa Perayaan Imlek terdapat tradisi bersih-bersih patung dewa, salah satu di antaranya adalah dengan mengoleskan madu pada mulut patung dewa dapur. Tujuannya adalah agar pada saat dewa datang ke dapur itu dan melihatnya, dia akan melaporkan hal yang baik-baik (ke kahyangan) tentang rumah tersebut.
Perihal ini, Pak Syarif menjelaskan bahwa tentunya masyarakat Muslim Tionghoa tidak menjalankan tradisi atau ritual seperti itu. Imlek mereka rayakan sebagai bagian dari pemeliharaan tradisi penyambutan musim semi yang sudah sejak ribuan tahun lalu dirayakan oleh leluhur mereka.
"Banyak yang masih berpikir bahwa Imlek itu ritual agama tertentu, makanya mungkin heran juga (melihat kami merayakannya). Imlek selama ini identik dengan Konghucu, apalagi karena penanggalan tahunnya (berdasarkan tahun kelahirannya). Tapi sebenarnya kalau mau tahu sejarahnya, itu sudah dirayakan jauh sebelum Konghucu lahir, sudah 4.000-an tahun yang lalu. Jadi Imlek bukan perayaan agama," terang Pak Syarif.
Tahun ini, kata Pak Syarif, PITI Jakarta akan kembali merayakan Imlek. Ini merupakan tahun ke-dua perayaannya, setelah perayaan tahun lalu mendapat sambutan cukup meriah dari warga Muslim Tionghoa. Bila kebanyakan orang Tionghoa merayakannya tepat pada 23 Januari atau paling lama 3-4 hari setelah hari H, maka PITI sedikit lebih lama daripada biasanya. Perayaan Imlek bersama ditetapkan pada 5 Februari, bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW.
"Kita ingin mewujudkan perayaan Imlek supaya menjadi lebih bermakna, terutama bagi kaum Muslim Tionghoa. Kita ingin ini bersamaan dengan hari besar umat Muslim. Ini juga sekaligus menunjukkan asimilasi antara budaya Tionghoa dengan agama Islam berjalan dengan damai," ungkapnya.
Percakapan saya dengan Pak Syarif hari itu pun ditutup dengan harapan beliau agar melalui acara ini nanti, cita-cita dan harapan PITI bisa terwujud. Apakah gerangan cita-cita tersebut?
"Kami ingin menjadi jembatan antara golongan Tionghoa dengan golongan non-Tionghoa. Supaya hilang semua anggapan bahwa kami ini hanya sebagai pendatang saja, kami ini juga anak Nusantara. Kami Mualaf, tapi kami tidak lupa akar dan dari mana asal kami. Semoga makin banyak kelompok yang bisa kami persatukan di sini," tutupnya.
Semoga, Pak. Saya doakan semoga segera terwujud harapannya.
Selamat Tahun Baru Imlek. Xin Nian Kuai Le. :)
*Note: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke akun : Cinta Fiksi
*Ini adalah karya peserta nomor 58 dalam rangka event "Imlek di Kompasiana" yang diselenggarakan oleh akun Cinta Fiksi :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H