[caption id="attachment_381956" align="aligncenter" width="587" caption="Halaman depan Museum Al Tayebat (dok. pribadi / dearmarintan.com)"][/caption]
Jalan-jalan ke museum merupakan salah satu cara saya untuk menghilangkan stres sekaligus mendapatkan hiburan. Kalau di Jakarta, mudah saja pergi ke museum. Tinggal tentukan mau ke mana dan berangkat saja. Lain ceritanya di Jeddah, untuk pergi ke mana pun gue harus mencari kawan yang juga ingin pergi ke sana, sebab moda transportasi yang tersedia untuk kaum hawa hanyalah taksi. Itu pun berisiko tinggi bila bepergian solo. Cara lainnya untuk jalan-jalan ya harus diantar oleh mobil atau shuttle bus yang disediakan oleh perusahaan.
Bersama beberapa teman, saya pergi ke Al Tayebat International City Museum. Berhubung kami ada 7 orang, jadi biaya masuk museum untuk rombongan yang besarnya SAR 500 harus dibagi bertujuh, sehingga setiap orang membayar SAR 72 atau sekitar Rp 236.706 (kurs 1 SAR = Rp 3.289).
[caption id="attachment_381949" align="aligncenter" width="587" caption="Abdul Rahim, sang pemandu wisata menyambut dengan ramah (dok. pribadi / dearmarintan.com)"]
Manajer museum menjelaskan pada kami bahwa untuk berkunjung ke museum ini lebih baik 10 orang atau lebih, sehingga tarif berkunjung bisa ditekan lebih murah. Untuk kunjungan individual bisa dilakukan kapan saja dengan tarif SAR 300 atau di hari Sabtu hanya dengan membayar SAR 50. Harga tiket masuk museum ini hanya berlaku untuk ekspatriat saja, untuk warga asli Saudi, gratis. Ya, GRATIS. *mendadak jadi ingin pindah kewarganegaraan, hahahaha*
Museum ini sangat unik karena didesain seperti sebuah kota kecil. Jadi saat masuk ke dalamnya ada beberapa bangunan yang bisa dikunjungi. Di gedung utama museum, terdapat empat lantai yang memamerkan beragam benda maupun relik bersejarah dari jaman dahulu hingga jaman modern.
Di lantai pertama, pengunjung bisa melihat sejarah terbentuknya dunia dan juga sejarah berdirinya Saudi Arabia. Ada banyak ruangan yang memamerkan benda-benda unik dari beragam kebudayaan dunia seperti Cina, Iran, Irak, Saudi, Turki, India, dan lainnya. Tentu saja dari semua itu yang paling menarik dan lengkap koleksinya adalah kebudayaan dan sejarah Saudi. Sebuah papan informasi memuat profil King Abdul Aziz lengkap dengan foto-foto di masa lampau dan penjelasan tentang betapa berwibawa dan bijaksana sosoknya dalam memerintah.
Di lantai dua, suasananya terasa sedikit magis dan sakral. Sebab ada berbagai manuskrip Al Qur’an dari beberapa ratus tahun yang lalu disimpan di lantai ini. Ada pula kain penutup Ka’bah di masa lampau yang disebut sittara yang terbuat dari benang emas dan perak murni. Sebetulnya di lantai ini pengunjung dilarang berfoto, tapi setelah meminta izin kepada tour guide yang bernama Abdul Rahim, kami diperbolehkan dengan catatan tidak mengambil foto manuskrip Al Qur’an.
[caption id="attachment_381950" align="aligncenter" width="432" caption="Inilah sittara, kain penutup Ka"]
Selain manuskrip, ada juga koin-koin emas (Dinar) dan perak (Dirham) yang dipergunakan sebagai alat tukar jual beli di masa lampau. Juga terdapat berbagai perlengkapan perang yang digunakan tentara jaman dahulu, mulai dari pistol berbagai ukuran yang dilengkapi ukiran indah dan tulisan dalam bahasa Arab hingga baju zirah dan koleksi pedang yang kelihatan menyeramkan sekaligus mengagumkan.
Di lantai tiga, kami dibawa melihat-lihat peradaban kuno berbagai suku di Arab. Yang paling berkesan adalah saat melihat cara hidup suku Bedouin dan juga rumah-rumah khas penduduk di Abha. Replika rumahnya benar-benar digarap sesuai aslinya, mulai dari ruang tamu, dapur, hingga kamar tidur semuanya dilengkapi dengan perabotan khas yang dipakai oleh kebanyakan penduduk Abha. Menarik sekali saat melihat ada jemuran baju digantung di ruang tamu.