Pendekar Tongkat Emas (2014)
Duration: 112 minutes
Casts: Eva Celia, Nicholas Saputra, Reza Rahadian,
Tara Basro, Christine Hakim, Aria Kusumah
Screenplay by: Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma,
Mira Lesmana, Ifa Isfansyah
Directed by: Ifa Isfansyah
*Note: photos on this review are screen captured from the trailer released by Miles Films.
Intisari: Cempaka (Christine Hakim) dikenal sebagai pendekar sakti yang menguasai jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi yang belum pernah terkalahkan oleh jurus pendekar manapun. Sayangnya, Cempaka semakin menua dan kondisi kesehatannya semakin memburuk. Ini membuatnya harus segera mewariskan jurus Tongkat Emas kepada salah satu dari empat muridnya, yaitu Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah). Sayangnya, belum sempat ia mewariskan ilmu tersebut, Tongkat Emas terlanjur jatuh ke tangan yang salah sehingga menimbulkan kekacauan di dunia persilatan. Berhasilkah sang pewaris sah Tongkat Emas memperoleh pusaka dari sang guru?
###
Sepertinya sudah lama sekali saya tidak menonton film laga kolosal Indonesia. Bahkan kalau boleh jujur, genre terakhir yang saya tonton bukanlah produksi layar lebar, melainkan layar kaca yang kini sudah sama sekali menghilang dari dunia pertelevisian tanah air. Hadirnya film Pendekar Tongkat Emas wajar saja menggerus rasa penasaran saya tentang film ini, apalagi nama-nama besar di dunia perfilman berada di balik produksinya. Jadi, bagaimana kesan saya tentang film ini setelah menontonnya?
Mari kita mulai dengan membahas akting dari para pemainnya. Tak salah memang bila film ini diisi oleh nama-nama besar karena untuk menggarap sebuah film dengan plot yang kuat dibutuhkan para aktor dan aktris dengan kemampuan akting kualitas jempolan juga. Dari semua aktor yang muncul, bagi saya yang kharismanya paling kuat adalah Reza Rahadian yang berperan sebagai Biru. Melakoni peran antagonis tanpa terkesan lebay sudah pasti sulit. Lebih sulit lagi adalah menjadikan peran antagonis yang ambisius dan tak kenal belas kasihan.
Tanpa terlihat ragu, sesuai dengan tuntutan peran dan skripnya, Reza menghajar seorang wanita dan anak kecil. Dalam kehidupan nyata, ini tidak mungkin terjadi. Tentu saja dia bisa dicap pria durhaka terhadap orang tua dan penyiksa anak. Namun, dalam skrip, dunia yang dijalaninya adalah dunia persilatan dan kedua orang tersebut bukanlah kaum minoritas yang lemah dan tak bisa membela diri, melainkan dua pendekar silat jagoan dengan jurus-jurus yang bisa mengalahkan banyak lawan sekaligus.
Untuk menjadi seorang aktor yang bisa menjalani perannya tanpa terlihat respek di depan kamera pada kaliber dan jam terbang lawan mainnya merupakan hal yang tidak mudah. Dan Reza berhasil melakukan itu.
Kehadiran pelakon lainnya yang juga tak bisa disepelekan adalah Tara Basro sebagai Gerhana, partner in crime Biru dalam film ini yang tampil dengan sangat meyakinkan. Di luar ekspektasi, Tara tampil dengan cemerlang dan membuat karakternya sulit dilupakan meskipun film sudah berakhir. Sungguh tepat pemilihan Reza dan Tara sebagai duet maut dalam film ini, saya bahkan tidak bisa membayangkan ada pasangan lain yang lebih tepat untuk memerankan Biru dan Gerhana dalam Pendekar Tongkat Emas.
Selain keduanya, wajah baru Aria Kusumah mengingatkan saya akan film-film Boboho di masa kecil, di mana dia memiliki teman yang berkepala botak juga dan jago silat seperti dirinya. Perannya yang irit bicara menjadikannya terlihat wajib disegani. Apalagi ketika dialog yang diucapkannya memiliki kekuatan di dalamnya dan sangat quotable. Aria Kusumah wajib diacungi jempol bukan hanya karena aktingnya, namun juga karena kemampuannya mengikuti koreografi martial arts yang tak mudah diikuti oleh orang dewasa, konon oleh anak kecil.
Di luar ketiganya, semua aktor dan aktris pendukung sudah pas porsinya dalam berakting. Tidak ada yang kurang dan tidak ada yang berlebihan, sehingga tidak lagi ada hal yang baru atau mengejutkan karena semuanya sudah memenuhi ekspektasi kebanyakan penonton.
Selain kualitas akting jempolan, saya suka sekali dengan gaya penyutradaraan Ifa Isfansyah dan gambar-gambar apik yang disajikan oleh W. Ichwandiardono. Ini membuat pemandangan Sumba Timur, NTT yang menjadi lokasi syuting tampak seperti koleksi kartu pos panorama yang cantik. Adegan-adegan yang tak membutuhkan banyak dialog terlihat lebih hidup dan berbicara dengan kepiawaian keduanya mengabadikan Sumba lewat kamera.
Contohnya ketika Dara dan Elang sang pendekar misterius (Nicholas Saputra) berlatih silat di sebuah bukit dan ketika Elang berbicara dengan Dewan Datuk Persilatan yang diwakilkan oleh Slamet Rahardjo. Berkat adegan ini, saya baru tahu kalau pemandangan matahari tenggelam bisa terlihat seperti sebatang emas yang dilelehkan dan melarut di dalam laut.
Siapapun yang menonton film ini pasti setuju bahwa semua anggota tim produksi baik para aktor maupun orang-orang yang berada di belakang layar bekerja dengan sangat serius dan sepenuh hati. Keseriusan untuk menggarap Pendekar Tongkat Emas terlihat dalam detil-detilnya, terutama pada setting tempat, kostum dan properti pendukung film. Baju para pendekar banyak menyematkan unsur etnik seperti kain lurik khas Jawa dan tenun ikat yang khas Sumba. Adalah Chitra Subiyakto yang patut diacungi jempol dalam membuat kostum para pemain yang terlihat keren tersebut. Kostum para pemeran utama maupun pemeran pendukung tampak kuat dan nyaman. Begitu pula sepatu kain yang digunakan oleh Dara dan Angin pada saat mereka memanjat pohon demi menyelamatkan diri dari kejaran musuh mereka.
Properti pendukung film pun digarap dengan sangat detil, mulai dari rumah-rumah penduduk, hingga alat-alat makan dan memasak yang mereka pakai. Semuanya kelihatan tradisional dan sesuai dengan setting waktu zaman dahulu di suatu wilayah antah-berantah. Hanya saja saya menyayangkan beberapa pemeran pendukung wanita yang rambutnya terlihat dikuncir samping dan tampak jepit rambut modern di salah satu adegan.
Demikian pula dengan potongan rambut Slamet Rahardjo dan beberapa pemeran pendukung pria yang rambutnya tidak terlihat bagaikan kumpulan pria dari zaman yang sama dengan Biru ataupun Elang dan para pendekar lainnya. Dengan rambut plontos dan tanpa ikat kepala, Slamet Rahardjo tak ada bedanya dengan pria masa kini yang tengah memakai pakaian adat. Minimnya ruang gerak dan akting juga semakin membuat penampilannya tidak meyakinkan sebagai perwakilan dari Dewan Datuk Persilatan.
Mungkin bila Pendekar Tongkat Emas dibuatkan sekuelnya (atau prekuel mungkin), Slamet Rahardjo bisa diberi lebih banyak dialog dan juga penonton bisa mendapat kesempatan untuk memahami lebih jauh mengapa ada Dewan Datuk Persilatan, apa fungsinya bagi masyarakat selain menjadi juri pertandingan silat dan bagaimana mereka dibentuk.
Satu lagi yang perlu diperhatikan dalam film ini adalah adegan makan yang tak tampak sama sekali pada para pendekar utama. Memang terdapat sepiring makanan dihidangkan bagi salah satu tokoh utama, namun tak tampak dia menyentuh makanannya. Mungkin bagi banyak orang adegan makan sangatlah sepele, namun di sisi lain ini menunjukkan kemanusiaan dan keseharian yang wajar. Terlebih lagi ada banyak adegan di mana para pendekar harus bertarung melawan satu sama lain. Tentulah mereka memerlukan energi untuk mengeluarkan untuk terbang menerkam lawan dan mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Secara keseluruhan, saya sangat suka menonton film Pendekar Tongkat Emas. Bukan karena nama-nama besar para pemerannya, melainkan karena keseriusan penggarapan film ini dan jalan ceritanya yang memikat saya dari awal hingga akhir. Semoga kemunculan Pendekar Tongkat Emas bisa membuat rumah-rumah produksi film lainnya mengekor jejak Miles Films dan KG Studio untuk membuat film-film laga kolosal yang menyemarakkan pilihan tontonan di seluruh bioskop di tanah air.
[caption id="attachment_385425" align="aligncenter" width="538" caption="Nobar Pendekar Tongkat Emas di Setiabudi One 21, 20 Desember 2014 lalu bersama para KOMiK (Kompasianer Only Movie enthus(i)ast Klub). Arsip foto: Aulia Gurdi)"]
Quotes: Jiwa yang besar tidak menginginkan apapun meskipun mampu memiliki semuanya. Jiwa yang kerdil menginginkan semuanya meskipun tak memiliki apa-apa. (Angin)
*Note: photos on this review are screen captured from the trailer released by Miles Films.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H