Diskusi tentang *Ilmu Pemasyarakatan*. Pada bulan Oktober tahun 1964, berdiri Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) melalui Kepres. Tapi paradoxnya sampai saat ini apa, mengapa dan bagaimana wujud keilmuan tsb, masih belum jelas. Beribu-ribu orang alumni lulusan AKIP sampai saat ini sdh dihasilkan, akan tetapi tidak ada satupun yang punya pemikiran dan berusaha kearah itu. Dampaknya jelas bahwa sampai saat ini *nomenklatur Ilmu Pemasyarakatan" hanya sebuah nama, tidak lebih. Untuk.itulah tulisan ini saya susun, minimal jadi sebuah langkah awal untuk mendiskusikannya.Â
Sehingga kita tidak terjerumus kepada pepatah seperti *punya bungkus tanpa isi* Secara *ontologis*, paradigma yg dipakai utk memandang apa dan siapa pelanggar hukum dlm kacamata reintegrasi sosial (meninggalkan paradigma lama ttg pembalasan, penjeraan, rehabilitasi/resosialisasi dg dasar argumen paradigmanya masing2), dianggap sosok manusia yang sedang mengalami *keretakan* dalam hal hidup-kehidupan-penghidupan, antara pelanggar hukum dg Tuhan Penciptanya - dengan sesama dlm lingkungan masyarakatnya serta dan atau dengan lingkungan alamnya (pekerjaannya) (Baharuddin Surjobroto) Sehingga karena hal tersebutlah, seseorang melakukan perbuatan yg melanggar hukum (ia tertinggal dan ditinggalkan oleh kemajuan masyarakatnya) .Â
Idealnya, sejauhmana *lama* dan *sejauhmana intensitas kebutuhan pembinaan yg dilakukan kpd yg bersangkutan* ditentukan oleh *sejauh mana besar kecilnya tingkat keretakan hubungan* yg dialami oleh ybs (pelanggar hukum) dengan korban dan atau lingkungan masyarakatnya. Dalam titik ini, mengetahui *tingkat keretakan hubungan tsb* menjadi sangat signifikan utk dapat melakukan *perencanaan pembinaannya* (case plan). Metode *keilmuan* yg digunakan utk mengukur (meneliti), sejauhmana tingkat keretakan tsb adalah melalui *penelitian kemasyarakatan (Litmas)*. Karena, Litmas, secara keilmuan memenuhi syarat2 sebuah ilmu (ada objek, ber metode, sistematis dan universal). Itulah landasan kontruksi berpikir saya, sehingga sy berpendapat bahwa *wujud* dari *Ilmu Pemasyarakatan* adalah *Litmas*. Di dalam *Implementation of SMR* point 9 dikatakan bhw : ..... *ber-macam2 bentuk pelanggaran, ber-macam2 berat ringannya suatu pelanggaran dan kompleksnya susunan kepribadian tiap manusia , menghendaki adanya macam2 pidana yang sesuai untuk tiap peristiwa kejahatan*.Â
Inilah makna apa yg disebut *individualisasi pemidanaan* yang dianut oleh *aliran hukum modern*, dan berujung kepada *individualisasi pembinaan* di Lapas. Dalam konteks ini *Implementation of SMR* point 51 menyatakan bahwa : " Pembinaan secara perorangan (individualisasi pembinaan) *memerlukan pencatatan yg teliti mengenai keadaan narapidana dan tehnik-tehnik penentuan Litmas yg terperinci sampai sekecil-kecilnya*......". Dengan konsep berpikir diatas, saya sangat setuju dg *Bpk Bahroedin Surjobroto* bahwa masa depan Pemasyarakatan adalah *Bispa* (sekarang *Bapas* yg dengan perubahan nomenklatur ini perhatian thdp *pengentasan anak* agak terpinggirkan. Dan dengan pemahaman inilah ketika Reformasi di Ditjen Pemasyarakatan thn 2009, salah satu yg di re-organisasi dan dibentuk adalah *Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak disingkat Bispa*).Â
Jadi idealnya setiap perlakuan terhadap pelanggar hukum harus melalui *Litmas* (dg konsep ini juga sy ingin mengoreksi nomenklatur yg saat ini dikembangkan yaitu istilah *profiling dan assesment* yang seharusnya semua *kader pemasyarakatan* menyadari kesalah-kaprahan ini utk diluruskan, demi kemajuan dan pemantapan *ilmu pemasyarakatan*), Berdasarkan *hasil Litmas* ini maka bisa ditentukan penempatannya (maksimum, medium, minimum security) dan kebutuhan pembinaannya (dlm hal kemandirian, kepribadian, kemasyarakatan, disamping kesehatan fisiknya). Utk itu, eksistensi *Bispa* harus berada di tiap Kota/Kabupaten sesuai dengan UU Pas utk mendukung tugas2 Lapas/Rutan/LPKA/LPAS. Dan kebijakan menunjuk Pembantu PK di LP/Rutan yg jauh dari Bapas adalah suatu kebijakan ,*terobosan* yg tepat.Jadi kesimpulannya, apabila ditinjau dari kontruksi berpikir diatas maka yg menjadi prioritas adalah bagaimana menyiapkan petugas Peneliti Kemasyarakatan (PK) yg berkualitas (berintegritas, profesional, humanisme dan memiliki *passion" dlm melaksanakan tugasnya).Â
Eksistensi program studi *Bispa* (istilah saat ini masih menggunakan nomenklatur *Bimbingan Kemasyarakatan* ) yang merupakan salah satu jurusan dlm *Politeknik Ilmu Pemasyarakatan* adalah salah satu solusi yg harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Semoga, para pemangku kepentingan, dapat menyadari hal ini, demi masa depan Ilmu Pemasyarakatan. Di kalangan internasional difahami bahwa konsep reintegrasi sosial adalah sebagai sebuah model dukungan yg diberikan kepada narapidana selama mereka kembali ke masyarakat selepas ybs menjalani pemenjaraan. Juga hal ini termasuk tindakan yg meliputi sejumlah intervensi untuk menghindarkan ybs di masukan dalam proses penegakan hukum (diversi) termasuk *restoratif justice* dan proses rehabilitasi (bagi pengguna narkoba dll). Dengan demikian maka konsep reintegrasi sosial bergerak sejak tahap pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi dalam sistem peradilan pidana.Â
Pengertian tsb, kemudian di adopsi oleh pemikiran pak Baharuddin Surjobroto sebagai *integritas hidup, kehidupan dan penghidupan* (pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan) antara pelanggar hukumnya dg sebahagian unsur2 yg ada di dlm masyarakat. Kontruksi berpikir pak Baharuddin Surjobroto, ingin membedakan paradigma rehabilitasi/resosialisasi yg fokusnya sangat terpusat kepada (kekurangan, kelemahan) yg melekat pada individu pelanggar hukum. Paradigma Rehabilitasi/Resosialisasi berasumsi bhw kesalahan ada pada individu pelanggar hukum, sehingga pelanggar hukum menjadi objek perhatian secara eksklusif dan kurang memperhatikan peran masyarakat di dalam pelaksanaan pembinaannya. Sedangkan masyarakat (yg juga punya andil) dalam menimbulkan terjadinya kejahatan kurang mendapat perhatian semestinya. Utk itulah dlm paradigma reintegrasi sosial versi Indonesia (pemasyarakatan) muncul istilah yg disebut dg *social support, social participation and social control* sbg peran masyarakat dlm membina pelanggar hukum.Dengan penuh hormat kpd para pemrakarsa UU no 12/1995 dan PP pelaksanaannya, yg sangat signifikan dlm merubah paradigma pemenjaraan menjadi paradigma reintegrasi sosial, dan bukan bermaksud *mengkritik apalagi menyalahkan* sy ingin mengajukan fakta bhw *pelaksanaan* Sispas mengalami distorsi al. masih mengemukanya (heavy) fungsi *pengamanan* ketimbang *pembinaan*. Adalah suatu fakta bahwa struktur organisasi Lapas memperlihatkan fakta tsb, dimana hal itu dicerminkan adanya kebijakan mendesain struktur organisasi Lapas pada tahun 1982 sampai saat ini.Â
Dalam desain struktur tsb ada 2 (dua) struktur organisasi pengamanan yakni KPLP dan Administrasi Keamanan dibanding dengan hanya satu struktur Pembinaan. Pada saat sy mulai bertugas sesudah lulus Akip thn 1976 (Januari), sy diangkat menjadi Kasi Pengamanan (sekarang KPLP) di Kakanditjenpas Majene. Siapa atasan sy? Atasan saya adalah Kabid Pembinaan. Fakta ini menunjukan bhw pada saat itu Pas masih *murni* (karena *heavy* atau kecenderungannya masih dominan *pembinaan* ketimbang *pengamanan*). Pemahaman yg demikian muncul krn kurang memahami situasi sosial masyarakat penjara. Di dalam *Implementation of Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner (PBB, 1968)* point 53 al dinyatakan bahwa :....Tujuan-tujuan pembinaan di dalam Lapas cenderung berbelok kearah yg menyimpang itu, karena terpengaruh oleh kekuatan2 yg merusak yg terdapat di dalam hubungan kehidupan para penghuni Lapas dan oleh *sarana-sarana yg diperlukan untuk mengekang mereka*. Prof. Harkristuti Harkrisnowo dalam persentasenya yg berjudul "HAM dalam Management Pemasyarakatan* menyatakan bahwa : " Its quite wrong to say that treating prisoners with humanity and fairness would lead to reduction of security or control. Au contraire, the obyektive of preventing selaparang pendukung control can best be archives within a well-ordered environmental is safe for prisoner and staff (adalah pemikitmranvyg *salah*, apabila berpendapat bahwa memperlakukan terpidana secara wajar dan manusiawi akan *melemahkan* upaya pengamanan atau pengawasan. Sebaliknya tujuan untuk mencegah pelarian dan memastikan terselenggaranya *pengamanan yg optimal*, dapat dicapai melalui penciptaan lingkungan yg teratur yang pada gilirannya dapat menyelamatkan narapidana dan petugas).Â
Bapak Baharoeddin Surjobroto memahami betul hal ini karena beliau disamping sebagai seorang praktisi yg malang melintang di dunia Kepenjaraan, beliau juga sekaligus sebagai seorang teoritis. Tapi setelah beliau wafat, pemahaman tsb mengalami *distorsi*. Dengan idiom bhw *pendekatan pengamanan hrs seimbang dengan pendekatan pembinaan*. Idiom ini sering disampaikan oleh para petinggi pemasyarakatan sehingga pengaruhnya sangat *signifikan * terhadap kebijakan di lapangan.Â
Pertanyaannya mengapa demikian? Jawabnya karena pemahaman keilmuan pemasyarakatan yg di pelopori oleh Bpk Baharuddin Surjobroto tsb tdk diwariskan secara *mulus* kpd generasi penerusnya karena terjadi *gap generation* akibat peristiwa G 30 S/PKI. Kita mengetahui bhw pada saat itu para kader lapisan kedua banyak dipecat karena disangka terlibat dengan gerakan ini (menjadi anggota Serikat Buruh Kepenjaraan yg berafiliasi ke organisasi PKI). Gara2 itulah pemahaman keilmuan pemasyarakatan mengalami *distorsi* yg mengakibatkan al dg munculnya model struktur organisasi yg *heavy nya* ke *pengamanan* (menyerupai paradigma penjeraan) yang berdampak kepada terpinggirkannya *peran Bapas* *KESIMPULAN* : 1. Wujud dari ilmu pemasyarakatan adalah Litmas karena dalam Litmas mengandung ciri-ciri sebuah ilmu yakni ada objek, ada metode, sistematis dan universal. 2. Konsep reintegrasi sosial yg menjadi dasar paradigma keilmuan Pemasyarakatan, secara praktek bergerak semenjak tahap pra-adjudikas, tahap adjudikasi dan tahap post adjudikasi. Dalam kaitan ini *Litmas* diperlukan dalam semua tahapan tersebut, terkait dengan *kebutuhan dan resiko* yg dimiliki pelanggar hukum yang berguna dalam proses kebijakan pemidanaannya dan atau tindakannya ( dlm model tujuan hukum pidana *double track system* ), Wallahu'alam bissawab
 *Dindin Sudirman, Oktober 2016*.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H