Mohon tunggu...
Deddy Arifin
Deddy Arifin Mohon Tunggu... -

Mencoba terus belajar .....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orangtua : Optimalkan Potensi Anak, Strategikan Kekurangannya..

7 Juni 2014   19:21 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak didik terlahir sebagai potensi unik, bukanlah populasi seragam. Seperti Einstein bilang if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid, jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan keyakinan bahwa ia adalah bodoh. Sekolah yang banyak kita kenal saat ini ibarat sebuah pabrik, menghasilkan output yang seragam tak peduli materi inputnya berbeda/unik tadi. Jika dianalogikan anak didik itu adalah tanah liat, logam, kayu, batu, minyak, dsb maka jika pabriknya adalah pabrik keramik, sudah bisa ditebak siapa yang akan menjadi yang terbaik. Sulit membayangkan jika materi minyak dijadikan sebagai bahan baku pabrik keramik. Dan mohon maaf, demikian juga ketika (mungkin) kayu, batu, (termasuk) minyak tak akan menjadi yang terbaik, label "bodoh",label "gagal", bahkan label "nakal" akan didapati anak didik. Sangat sangat tidak adil, jika selain kecerdasan akademik dianggap gagal dalam pendidikannya, bahkan dianggap gagal masa depannya. Seharusnya sekolah itu seperti sebuah workshop/bengkel/laboratorium dengan segala penunjangnya, maka apapun materi inputnya maka akan menjadi hasil terbaik sesuai karakter materinya. Workshop dengan segala penunjang yang memadai yang dapat mengakomodir karakter tanah liat, logam, kayu, batu, minyak, dsb tadi maka mereka akan menjadi yang terbaik. Kayu akan menjadi sebuah karya seni, atau bahan baku bangunan atau apa saja terbaik sesuai karakter kayunya. Demikian juga dengan logam, kayu, minyak, dsb.

(http://rinaldimunir.files.wordpress.com/2013/04/our-education-system.jpg)

Sistem pendidikan pada era industri ini menjadi anak didik menjadi "budak industri" bukan lagi pengemban peradaban. Menjadi pemasok memenuhi permintaan industri. Lihatlah kurikulum sekolah berlabel "wah" selalu mengatakan kurikulum mereka uptodate terhadap perkembangan industri/pasar. Seharusya setiap anak didik mengambil perannya dari berbekal potensi unik dirinya menjadi pembawa amanah terhadap peradaban dijamannya. Jadikan diri mereka menjadi dirinya bukan menjadi keinginan siapapun termasuk orangtua. Orang tua sekarang ini sering "mengekplotasi" anak sesuai kenginannya bahkan menjadi penerus terhadap "dendam" masa lalunya yang mungkin belum/tidak tercapai. Anak adalah anak yang terlahir dijaman yang sangat mungkin berbeda dengan orangtuanya, sehingga peran peradaban anak terhadap pengemban peradaban itu sendiri belum tentu sama dengan orangtuanya. Biarkan anak menjadi dirinya sendiri mengambil perannya berbekal potensi uniknya. Orang tua terbaik adalah orang tua yang dapat mengakomodir keunikan/kelebihan diri anak sebagai bekal masa depannya. Ingat....! peran orangtua sangat sangat besar mengantarkan anak sukses dengan segala kelebihan potensi dirinya bukan menjadi gagal karena mengeksploitasi keinginan orangtua yang belum tentu menjadi potensi/kelebihan unik dirinya. Coba perhatikan kita sebagai orangtua ketika melihat nilai sekolah anak. Kebanyakan dari kita akan bergegas untuk memberi bimbingan belajar atau les tambahan untuk "menambal" kekurangan anak. Sampai hari ini kita orangtua masih berfokus pada kekurangan anak bukan berfokus melihat potensi/kelebihan anak. Mengapa ini terjadi? Karena sistem pendidikan kita telah mengubah pandangan dan paradigma para orangtua bahwa kercerdasan adalah identik dengan keberhasilan mendapatkan nilai sekolah yang baik. Bukan hanya itu, para guru dan pendidik telah ikut dalam sistem pendidikan ini. Sekolah menjadi tempat dalam mengejar orientasi nilai ketimbang proses belajar mengajar itu sendiri. Orientasi nilai semakin telihat jelas ketika mendekati ujian akhir apalagi menghadapi UN. Terlepas dari kontroversi akan legalitas UN, ternyata UN menjadi korban anak didik. UN menjadikan proses belajar mengajar tergadaikan. Anak didik difokuskan dan dibiasakan menjawab soal dengan mudah bukan melatih proses dalam kemampuan berpikirnya. Belajar menjadikan latihan menjawab soal-soal sehingga menghilangkan kesempatan anak didik untuk berlatih berpikir kritis, berlatih membangun sebuah konstruksi nalar yang benar. Anak didik hanya terlatih pada kemampuan berpikir tingkat rendah yaitu menghafal dan menjawab pertanyaan. Orientasi UN ini seolah menjadikan UN menjadi UJIAN NASIB bagi para anak didik. Masa depan anak seolah ditentukan berapa baiknya Ujian Nasib ini. UN menjadikan orientasi pendidikan beorientasi pada nilai-nilai mata pelajaran yang di UN kan, sehingga mata pelajaran lain seolah kurang diperhatikan. Saatnya pendidikan kita tidak lagi mengabaikan potensi unik anak didik sebagai bekal masa depannya bukan sekedar proses mendapatkan nilai. Saatnya para orangtua untuk dapat melihat potensi anak, karena orangtulah yang seharusnya dapat melihat ini bukan guru di sekolahnya. Para orangtua : Optimalkan Potensi Anak, Strategikan Kekurangannya.. (dear)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun