Pengemis adalah mereka yang hidup dari meminta-minta belas kasihan orang lain sebagai sumber penghidupan mereka. Mereka sering kali berada di jalanan, di depan tempat-tempat umum, atau tempat-tempat yang ramai untuk meminta bantuan berupa uang atau makanan. Kehadiran pengemis seringkali menjadi cerminan dari ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Meskipun demikian, pandangan terhadap pengemis bisa beragam, ada yang menganggapnya sebagai penerima manfaat dari kebaikan hati orang lain, namun ada pula yang melihatnya sebagai simbol dari kegagalan sistem sosial yang tidak mampu memberikan perlindungan dan keadilan bagi semua warganya.
Seperti yang disampaikan dalam Puisi Chairil Anwar yang berjudul "Kepada Peminta-Minta" yang menggambarkan keprihatinan dan kegelisahan sang penyair terhadap keadaan sosial-politik pada masanya.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Pada bait ini, penyair mengungkapkan keraguan dan konflik batin terhadap sikap mereka kepada pengemis. Meskipun menyadari pentingnya membantu sesama, mereka juga merasa tidak nyaman dengan cara pengemis meminta belas kasihan. Sikap mereka yang semakin dingin terhadap pengemis mungkin merupakan respons alami atas ketidaknyamanannya, meskipun mereka juga menyadari bahwa sikap tersebut tidak selaras dengan ajaran agama yang mengajarkan untuk berbelas kasihan kepada sesama.
Hal yang membuat mereka tidak nyaman biasanya karena pengemis yang terlalu sering atau agresif (memaksa), hal ini dapat mengurangi rasa empati dan solidaritas dalam masyarakat, karena orang-orang akan menjadi kebal terhadap permintaan bantuan yang berlebihan.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka