Mohon tunggu...
Dean Tanzilla
Dean Tanzilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bachelor of Political Science

Democracy, Military-Politics, Human Rights, and Citizenship Enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penegakan dan Pengintegrasian HAM Kedalam Sistem Pendidikan di Indonesia

2 Mei 2023   11:57 Diperbarui: 2 Mei 2023   12:13 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak asasi manusia seharusnya melekat pada semua manusia secara setara, terlepas dari kebangsaan, jenis kelamin, asal kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Hak asasi manusia sejatinya tidak dapat diberikan atau diambil. Hak asasi manusia adalah dasar untuk kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia. Merujuk pada Universal Declaration on Human Rights yang menyatakan "the inherent dignity and ... equal and inalienable rights of all members of the human family [as] the foundation of freedom, justice and peace in the world".

Salah satu hak asasi yang cukup mendasar dalam bingkai kehidupan manusia adalah hak atas pendidikan. Umat manusia sedang menghadapi momen kritis dalam sejarahnya. Pada awal abad ke-21, diperlukan perubahan besar dalam keyakinan dan sikap, yang melibatkan penolakan terhadap paksaan dan kekerasan, pengakuan hak asasi manusia untuk semua dan partisipasi semua anggota masyarakat. Pendidikan harus menjadi inti dari perubahan ini. Korelasi antara "hak asasi manusia" dan "pendidikan" merujuk pada lima bidang praktik dan penelitian: (1) pengajaran tentang dan untuk hak asasi manusia; 

(2) pendidikan sebagai hak asasi manusia itu sendiri, (3) hak asasi manusia dalam pendidikan; (4) pendidikan dan pelatihan para profesional yang dihadapkan pada isu-isu hak asasi manusia; (5) aspek pendidikan dan kondisi sosial dari hak-hak anak. Hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak atas pendidikan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi pada tahun 1948, menyatakan dalam Pasal 26 bahwa setiap orang berhak atas pendidikan.

Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional Ekonomi Sosial dan Budaya dan Kovenan Sipil dan Politik pada bulan September tahun 2005. Ratifikasi tersebut kemudian dituangkan dalam UU Nomor 11 dan 12 tahun 2005. konsekuensinya, Indonesia adalah negara pihak yang harus tunduk dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dari materi muatan kovenan internasional tersebut.

Namun dalam penerjemahannya, penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi ke dalam sistem pendidikan di Indonesia masih belum sepenuhnya ditegakan dan diintegrasikan baik secara sistem maupun kurikulum yang termuat di dalamnya. Nilai-nilai penghormatan terhadap HAM belum bisa dikatakan optimal, karena masih terdapat ketidaksetaraan yang seringkali ditemukan dalam bingkai pendidikan, hal tersebut disebabkan oleh akses dan infrastruktur pendidikan yang tidak merata di setiap daerah.

Penyebab belum optimalnya penegakan dan pengintegrasian nilai-nilai penghormatan terhadap HAM dalam sistem pendidikan di Indonesia menurut saya bisa disimpulkan karena, tata kelola pendidikan di Indonesia yang masih belum mengefisiensi penggunaan sumber daya dengan maksimal, lemahnya sumber daya manusia PNS menentukan kualitas pendidikan yang buruk menyebabkan birokrasi dijalankan oleh orang-orang yang tidak kompeten. Hal tersebut bisa termasuk ke dalam pengabaian terhadap nilai-nilai HAM di mana generasi membutuhkan pemberian pendidikan yang berkualitas agar mampu bersaing.

Penyebab selanjutnya adalah korupsi sektor pendidikan yang masih tinggi menjadi bukti bahwa nilai penghormatan HAM belum sepenuhnya ditegakkan dan diintegrasikan dalam sistem pendidikan. Korupsi di bidang pendidikan mengancam kesejahteraan masyarakat karena mengikis kepercayaan sosial dan memperburuk ketidaksetaraan. Hal ini berpotensi untuk menyabotase pembangunan dengan merusak pembentukan individu yang terdidik, kompeten, dan beretika untuk kepentingan bangsa di masa depan.

Penyebab berikutnya adalah ketidaksesuaian paradigma pendidikan dan kesadaran pelajar. Pada tingkatan SMP dan SMA sederajat, banyak masyarakat yang memilih tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang tersebut, dengan anggapan pendidikan dasar sudah cukup, hal ini juga sebagai efek domino dari ketidaksetaraan modernisasi pendidikan perkotaan dan daerah. Kajian PPKK UGM (2016: 33) menyatakan bahwa salah satu aspek yang mendorong anak untuk tidak melanjutkan belajar di sekolah adalah adanya tradisi menikah dini. Menurut studi tersebut para guru mengeluhkan tradisi menikah dini anakanak perempuan oleh orang tua mereka di usia sekolah sebagai penghambat anak untuk bersekolah.

Kementerian Pendidikan dan Kementerian Dalam Negeri perlu saling bersinergi untuk dapat menerjemahkan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan layanan pendidikan yang sarat akan penghormatan terhadap nilai-nilai HAM. Hal tersebut antara lain perlu adanya program pemerataan guru yang kompeten dan berkualitas di setiap daerah, program bantuan dana pendidikan yang tepat sasaran dan ketat pengawasan, dan mampu membangun program pemberdayaan kepada para pelajar tingkat dasar terkait bahaya pernikahan dini dengan mendorong pemahaman kesetaraan gender dan pendidikan seks untuk menekan angka pernikahan dini yang mampu menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun