Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Deansyah
Muhammad Rizky Deansyah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Siswa/Peminat Sejarah/Umum

Seorang Pelajar di dunia Tuhan. "ᬇᬤᬲᬂᬳ᭄ᬬᬂᬯᬶᬤᬶᬯᬲᬗᬫᬗ᭄ᬕᬾᬳᬗ᭄ᬢᬸᬃᬗᬫᬾᬃᬢᬦᬶᬦ᭄ᬇᬤᬲᬂᬧ᭄ᬭᬩᬸ᭟"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesawat Mahdi, Visi Perjuangan Rakyat Jambi pada 1916

30 Januari 2025   09:44 Diperbarui: 30 Januari 2025   09:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wahai sekalian Muslim, Mahdi telah tiba ke dunia untuk berjuang bersama kita melawan 'Kafir Kompeni', niscaya dia akan datang dengan pesawatnya dan membawa kemenangan bagi kita." Kira-kira begitu kalimat untuk menjelaskan kepercayaan rakyat Jambi selama Perang Sarekat Abang pada tahun 1916. Perang Sarekat Abang merupakan sebuah perjuangan rakyat Jambi melawan kolonialisme Belanda di Jambi. Menurut Snouck Hurgronje, Perang Sarekat Abang merupakan reaksi politik rakyat Jambi terhadap kebijakan-kebijakan kolonial yang tidak memihak rakyat. Sarekat Abang (SA) percaya bahwa kekuasaan Kolonial Belanda di Jambi telah mencapai waktunya untuk berakhir dengan kemunculan Imam Mahdi di Jawa Barat. Selain berpegang pada ilmu mistis yang disebut "Ilmu Abang", SA juga berpegang pada kepercayaan mahdiisme dalam mengobarkan perjuangan rakyat Jambi. 

Mahdiisme adalah salah satu kepercayaan mesianisme dalam Islam yang percaya akan kedatangan Mahdi sebagai utusan ilahi yang dijanjikan dan juruselamat umat manusia di akhir zaman. Gerakan mahdiisme di Dunia Islam sering muncul sebagai bentuk protes sosial dan politik terhadap kolonialisme bangsa Eropa. Salah satu gerakan mahdiisme terbesar adalah Perang Mahdi (1881-1889) di Sudan. Di Nusantara, gerakan mesianisme serupa juga dikenal, seperti "Ratu Adil" di Jawa. Adapun di Jambi, ada Raden Goenawan yang dipercaya sebagai Imam Mahdi. 

Raden Goenawan adalah salah satu pendiri dan pemimpin Sarekat Islam (SI). Bersama Samanhoedi di Jawa Tengah dan Tjokroaminoto di Jawa Timur, dia memimpin SI di Jawa Barat. Semasa hidupnya, selain sebagai pemimpin SI, Goenawan sempat berkarier sebagai klerek di Ngawi. Kemudian pada 1907, dia sempat menjadi kontraktor kuli dan pernah juga menjadi editor di surat kabar Medan Prijaji. Sebagai pemimpin SI, Goenawan giat mempropagandakan Sarekat Islam di Sumatra Selatan. Pada 1914, bersama R. M. Tirtohadisuryo, Goenawan membawa Sarekat Islam ke Sumatra Selatan dengan mendirikan Sarekat Islam lokal di Palembang dan Jambi. Raden Goenawan sangat dikagumi di Sumatra Selatan berkat figur dan aktivitasnya. Sampai-sampai dia seakan-akan menjadi personifikasi dari kepemimpinan rakyat. Sosok Goenawan ini menginspirasi Pesirah Abdul Hamid dan Muhammad Amin untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang disebut dengan "Sarekat Abang" atau SA. Praktik SA yang islam radikal, anti-Belanda, serta antikolonialisme mendapat tempat di hati rakyat Jambi, terutama setelah masa kritis Jambi pada 1914--1916. SA memercayai Raden Goenawan adalah Imam Mahdi. Raden Goenawan dipuja-puja sebagai Imam Mahdi dalam kunjungannya ke Jambi pada 1916, namun dia  tidak ikut terlibat langsung ke dalam perang.

Sejak pendirian Keresidenan Jambi pada 1906, merebak kebencian dalam hati rakyat Jambi terhadap pemerintahan Kolonial Belanda. Kebijakan seleksi pejabat administrasi dalam pemerintahan kolonial menyisihkan banyak orang asli Jambi dari kekuasaan di tanahnya sendiri, menyebabkan setiap tingkatan jabatan sampai posisi tingkat rendah sekalipun di dalam pemerintahan kolonial diisi oleh orang non-Jambi . Telah dilakukan upaya perombakan pada tahun 1912, namun gagal. Faktor selanjutnya yang turut berkontribusi menyulut perang adalah ekonomi. Kebijakan ekonomi, seperti penanaman karet dan impor ekspor menghantarkan Jambi pada kelesuan ekonomi sejak tahun 1914. Kondisi tersebut memberatkan rakyat Jambi yang tetap dipaksa membayar pajak dan menjalani kerja paksa. Selain itu, kebijakan kolonial lainnya banyak yang menyalahi kepercayaan setempat. Akibatnya, implementasi Politik Etis di Jambi tidak mendapat kepercayaan mayoritas rakyat. Dalam bidang pendidikan salah satunya, rakyat Jambi tidak percaya dengan pendidikan 'kafir' Belanda. Adapun dalam bidang kesehatan, kebijakan selama wabah kolera 1909--1910 dan pelarangan menjual jimat penangkal penyakit menambah rasa benci di hati rakyat Jambi. Selain kebijakan tersebut, masih banyak kebijakan kolonial yang bertentangan dengan adat lokal. Dengan demikian, sejak awal memerintah, pemerintahan kolonial menabur sendiri bibit perang di Jambi sebagaimana disinyalir Snouck Hurgronje dalam peringatannya. Perpaduan ampuh faktor-faktor tersebut dan unsur-unsur mistis serta mahdiisme antikolonialisme adalah senjata sakti Sarekat Abang dalam menyulut perjuangan rakyat Jambi pada 1916.

Pengkabaran Perihal Perang Sarekat Abang di Jambi, Bataviasch Niuwsbald [15-01-1917](Delpher)
Pengkabaran Perihal Perang Sarekat Abang di Jambi, Bataviasch Niuwsbald [15-01-1917](Delpher)
Perang akhirnya meletus di Muaro Tembesi pada 26 Agustus, 1916. Bermula dengan penyerangan terhadap polisi menyebabkan tujuh petugas polisi tewas. Sekitar dua ribu di bawah pimpinan Abdul Wahid membakar barak, membuka paksa penjara dan membebaskan tahanan, menghancurkan kantor pos, dan menjarah rumah-rumah orang Cina dan para pejabat. Pada akhir hari, total korban jiwa adalah seorang Mantri asal Jawa, seorang kerabat Demang, dan semua Petugas Polisi Muaro Tembesi. Pertempuran ditutup dengan para pejabat yang tertangkap dan semua penduduk Tembesi dipaksa masuk Sarekat Islam dengan Haji Agus-Ketua Sarekat Islam Muaro Tembesi-dipaksa menjadi pengambil sumpahnya.

Perang menyebar ke seluruh Jambi, bahkan sampai ke Rawas dan Surulangun di Keresidenan Palembang. Perang meluas ke Sarolangun pada 31 agustus 1916, lalu ke Muaro Tebo 1 september 1916 dengan penyerangan oleh ratusan orang terhadap pos-pos polisi di Muaro Tebo. Pada 1--2 September 1916 di Muaro Tebo pecah pertempuran yang berujung dengan terbakar habisnya Pasar Muara Tebo.  Penyerangan lebih besar dilakukan ribuan orang di berbagai daerah lainnya. Di banyak tempat, mereka membunuh para administrator pribumi yang dituduh bekerja sama dengan "Kafir" dan menghancurkan jaringan telegraf serta telepon. Kemudian Manna bin Andun menyebar peperangan ke Bangko pada 11 September 1916 yang berujung kepada terbakarnya pasar serta hancurnya barak pasukan Kolonial, rumah kontrolir dan beberapa rumah lain, benteng, dan wilayah pengungsian. 

Keadaan berbalik pada 15 September 1916, dimana Abdul Wahid dan pasukannya berhasil dikalahkan pasukan Kolonial Belanda yang telah mendatangkan pasukan bantuan dari sekitar Jambi, Palembang, dan Jawa. Secara pasti setelah itu pasukan kolonial terus memukul mundur pasukan Sarekat Abang di seluruh Jambi, termasuk Abdul Wahid dan pasukannya. Sedikit demi sedikit wilayah yang dikuasai SA jatuh ke tangan pasukan kolonial. Pada 2 September 1916, Kolonial Belanda berhasil mengambil alih Muaro Tembesi. Sejak akhir September, rakyat mulai menyerahkan para pejuang kepada pihak Kolonial Belanda. Akhirnya pada Desember 1916, seluruh perlawanan rakyat Jambi dan Sarekat Abang benar-benar berhasil dipadamkan. Korban jiwa pada perang ini sebanyak 390 orang pada Sarekat Abang dan pada Kolonial Belanda ada 63 pasukan, 9 administrator pribumi, dan 1 kontrolir Eropa. Terdapat juga korban jiwa sipil dengan 5 orang Cina dan 49 orang Jambi tewas.

Kekalahan Sarekat Abang mengkhianati kepercayaan rakyat Jambi terhadap janji-janji mesianik SA, salah satunya kedatangan Raden Goenawan dengan pesawat terbang bak deus ex machina. Seorang pemimpin SA di Rawas yang tertangkap menjelaskan saat dia diinterogasi bahwa saat penyerangan, dia memandang ke langit mencari tanda-tanda Goenawan, namun tidak melihat satupun pesawat, kecewa, dia lari ke hutan. Meskipun gagal mengalahkan Belanda, perang tersebut memaksa pemerintah kolonial lebih hati-hati dalam memerintah Jambi. Pascaperang, Snouck Hurgronje dalam peringatannya mendesak pemerintah kolonial agar meningkatkan pendidikan bagi rakyat, menciptakan lembaga pengaduan rakyat, memastikan praktik kerja paksa dan pajak yang jujur, memperbaiki seleksi pejabat administrasi di Jambi, dan tidak memperbanyak aturan. Sementara itu pada tahun yang sama, tidak lama sejak kekalahan SA di Jambi, Raden Goenawan tersandung kasus korupsi dana pendaftaran keanggotaan SI sebesar 60.000,00. Kasus tersebut berujung kehancuran karier Goenawan dan didepaknya dia dari keanggotaan SI dan melengkapi akhir sebuah gerakan mahdiisme.

Referensi

Locher-Scholten, E. (2008). Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Banana & KITLV-Jakarta.

Margono, H., Mujilan., Chaniago, J. R. (1984). Sejarah Sosial Jambi: Jambi Sebagai Kota Dagang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun