Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Deansyah
Muhammad Rizky Deansyah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Siswa/Peminat Sejarah/Umum

Seorang Pelajar di dunia Tuhan. "ᬇᬤᬲᬂᬳ᭄ᬬᬂᬯᬶᬤᬶᬯᬲᬗᬫᬗ᭄ᬕᬾᬳᬗ᭄ᬢᬸᬃᬗᬫᬾᬃᬢᬦᬶᬦ᭄ᬇᬤᬲᬂᬧ᭄ᬭᬩᬸ᭟"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dokumentasi Sejarah Jambi dalam Catatan Kolonial Belanda

1 April 2024   08:40 Diperbarui: 5 April 2024   15:42 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah di sepanjang Sungai Batanghari Jambi. Huizen langs de Batang Hari te Jambi. KITLV. Leiden University Libraries, Digital Collections.

JAMBI DAN KOLONIAL BELANDA

Interaksi Kesultanan Jambi dan Kolonial Belanda dapat kita runut sejak awal abad-17 ketika perdagangan negeri-negeri Selat Melaka sedang meningkat. Kesultanan Jambi dalam sejarah, berinteraksi dengan beberapa negara-negara Barat diantaranya Portugis, Inggris, Amerika, termasuk Belanda. Interaksi internasional ini terjadi berkat posisi Jambi sebagai pelabuhan lada utama hingga abad ke-17. Kesultanan Jambi menjalin hubungan dagang dengan Portugis sejak abad ke-16. Menurut Tome Pirez dalam catatannya Suma Oriental menyebut Jambi sebagai pemasok utama lada bagi Eropa kala itu. Spanyol di lain pihak, biarpun salah satu kekuatan kolonial yang dominan, namun Spanyol lebih fokus pada ekspedisi dan eksploitasi ke Amerika dan Filipina. Inggris sendiri melalui East India Company (EIC) diketahui berdagang dengan membawa tekstil dan emas dari India untuk ditukarkan dengan lada dari Jambi. Adapun interaksi antara Jambi dan Amerika Serikat terjadi pada 1852 ketika seorang penjelajah Amerika, Walter Murray Gibson tiba di Jambi dalam upaya mencari sekutu bagi Amerika di wilayah jajahan bangsa Eropa. Posisi dan peran Kesultanan Jambi seperti dijabarkan wajib dikaji lebih lanjut, mengingat tidak seperti kesultanan sumatera lainnya seperti Siak dan Aceh, Jambi adalah sebuah kesultanan yang relatif kecil baik secara luas wilayah dan kekuatan. 

Kesultanan Jambi pertama kali berinteraksi dengan Belanda pada 1615, ketika kapal Wapen van Amsterdam dan Middelburg dikapteni Abraham Strek tiba di Tanah Pilih dalam upaya perizinan pembukaan loji dagang VOC di Jambi. Saat itu Jambi dipimpin oleh Pangeran Keda gelar Sultan Abdul Kahar. Kontrak dagang pertama Belanda dan Jambi ditandatangani pada tahun 1643 di bawah Kekuasaan Pangeran Depati Anom gelar Sultan Abdul Jalil gelar Sultan Agung. Diketahui Belanda berperan penting sebagai sekutu Jambi selama Perang Jambi-Johor (1661-1681). Intervensi Kolonial Belanda mengubah berbagai aspek dalam struktur pemerintahan Jambi, termasuk kendali  atas perdagangan rempah-rempah, pengaruh dalam pemilihan sultan, pembatasan kekuasaan sultan, intervensi dalam konflik internal, dan bahkan dalam pembangunan infrastruktur di Kesultanan Jambi. Hubungan Kesultanan Jambi dan Kolonial Belanda cenderung fluktuati, namun seiring waktu menguntungkan Belanda, dari semula mitra dagang menjadi monopoli, dari semula sama-sama negara berdaulat menjadi negara protektorat dan negara protektor. 

Kesultanan Jambi menjalin hubungan diplomatik dengan Kolonial Belanda dari pembukaan Kantor Komisari Loji VOC pertama di Pecinan, Tanah Pilih pada 1616 hingga aneksasi akibat Perang Jambi (1858-1904). Dalam rentang waktu tersebut, Belanda memiliki andil penting dalam sejarah Jambi. Belanda bersikap hipokrit dan oportunis dalam interaksinya dengan Jambi. Jatuhnya harga lada dan maraknya perompakan di pesisir Jambi Dilihat dari Intervensi Belanda pada Perang Jambi-Johor (1661-1681), Masalah Tembesi (1681), Insiden Kumpeh (1690) yang berujung pada Perang Saudara Jambi (1690-1709), dan Perjanjian Rawas yang menjadikan Jambi sebagai negara protektorat Belanda. Segala upaya kolonialisme dan Imperialisme Belanda ini tentunya mendapat perlawanan dari Jambi, puncaknya pada Perang Jambi, dimana Jambi dipimpin Sultan Thaha Syaifuddin berusaha merestorasi kemerdekaan penuh Jambi dari tangan penjajahan Belanda. 

Rumah di sepanjang Sungai Batanghari Jambi. Huizen langs de Batang Hari te Jambi. KITLV. Leiden University Libraries, Digital Collections.
Rumah di sepanjang Sungai Batanghari Jambi. Huizen langs de Batang Hari te Jambi. KITLV. Leiden University Libraries, Digital Collections.

SEJARAH DALAM CATATAN KOLONIAL

Merujuk The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta) karya G. L. Balk dkk dari situs sejarah-nusantara.anri.go.id, Sejarah Jambi terdokumentasi pada arsip Hoge Regering (Pemerintahan Agung) Kasteel Batavia. Sejarah dokumen-dokumen ini tidak begitu jelas, hampir tidak ada dokumen yang selamat dari sebelum tahun 1620-an, kondisi perang menjadi alasan utama. Arsip tersebut juga tidak menyimpan surat-surat asli, tetapi hanya salinan dari surat asli yang telah melalui proses transkripsi dan translasi. Dokumen asli  mungkin telah kehilangan nilai setelah diterjemahkan kemudian dibuang atau bahkan diberikan sebagai hadiah kepada pihak yang berminat. Situasi serupa ditemukan dalam arsip East India Company (EIC) yang sekarang disimpan di Arsip Kantor India di British Library, di mana hampir tidak ada surat-surat asli dalam bahasa Melayu atau dari kerajaan asing lainnya.

Sampul The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). sejarah-nusantara.anri.go.id.
Sampul The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). sejarah-nusantara.anri.go.id.
Pada tanggal 29 Juli 1641 Hoge Regering mengangkat dan menugaskan komisi dipimpin Joan Maetsuycker, yang pada waktu itu menjabat sebagai Raad van Justitie Secretarie (Sekretaris Dewan Peradilan) untuk memeriksa kertas-kertas tua yang tersimpan di kantor gubernur jenderal. Perawatan arsip-arsip ini menjadi tanggung jawab juru tulis kepala Generale Secretarie (Sekretariat Umum). Ditemukan adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan pada arsip dokumen tersebut, sehingga pada 1735 perawatannya diserahkan kepada dua archivaris (Juru Arsip), Gerardus Kluysenaar dan Carel Anthony le Vasseur de Rocques. Mereka bertugas membandingkan daftar arsip dengan fakta di tempat. Pada 1739, ruang penyimpanan arsip telah terisi penuh, sehingga disediakan ruangan baru yang pada 1768, ruangan ini pun juga terisi penuh. Diputuskan untuk memusnahkan semua surat rangkap (yakni versi asli surat-surat yang telah dikirim ke kantor-kantor cabang, catatan-catatan harian yang asli, lampiran-lampiran, dan lain-lain). Pada 1770 dibuatlah inventaris untuk semua dokumen arsip, dan disusun dalam suatu daftar (sudah musnah). Mungkin dimusnahkan karena rusak oleh rayap dan serangga lainnya. 

Selama abad ke-18, pekerjaan di kantor Sekretariat Umum menanjak pesat. Kepala Juru Tulis menulis surat permohonan kepada Hoge Regering agar jajaran Juru Tulis di Generale Secretarie, yang pada waktu itu berjumlah 34 orang, ditingkatkan. Pekerjaan tulis-menulis telah meluas bukan main. Kepala Juru tulis mencatat dalam kurun waktu 100 tahun, jumlah bab notulen singkat bertambah dari 51 menjadi 261. 1781, bagian-bagian arsip yang rusak karena serangga dibersihkan. Pada 1792 sekretaris sekali lagi mengirim surat berhubungan dengan beban kerja kantor, di samping itu, dia menyatakan bahwa pengawasan terhadap arsip-arsip sama sekali tidak memadai. Ia memandang perlu sekali para archivaris segera menyusun sebuah daftar inventaris. Daftar Inventaris tersebut diserahkan pada tahun 1793. Pada waktu itu pun diputuskan untuk membuang berkas-berkas yang tidak terpakai (sekali lagi terutama surat-menyurat dengan kantor-kantor cabang). Pada 8 mei 1801 Hoge Regering membentuk komisi untuk meninjau arsip-arsip dan perpustakaan pemerintahan. Komisi ini pun memberikan saran agar dokumen-dokumen yang tidak terpakai dimusnahkan saja (khususnya surat-surat masuk dari kantor-kantor cabang, lampiran-lampiran pada resolusi-resolusi dari kurun waktu 1678-1797, dan dokumen-dokumen yang berasal dari Direktur Pembangunan Benteng-benteng, Gedung-gedung, dan Bangunan air). Daftar inventaris baru ini (yang sama sekali tidak lengkap) baru diterima pada tahun 1804, dan sama sekali tidak memuaskan.

Kedatangan Inggris Membawa perubahan besar. Dibawah Deandels, pada 1808 fungsi Archivaris dihapus dan jumlah Juru Tulis berkurang. Ketika Benteng Batavia dibongkar, dilakukan pembersihan besar-besaran pada arsip yang tersimpan disana. Selama masa pendudukan Inggris tersebut, Pastor P. Wedding, Pustakawan Bataviaasch Genootschap secara resmi bertindak sebagai pengelola arsip. Pada kenyataannya, dari 1814 sampai 1826, tugas pengelola arsip dilakukan oleh seorang Juru Tulis, D. A. Tempel. Dengan keputusan tanggal 19 Februari 1819 no. 19, pengawasan arsip-arsip lama menjadi tanggung jawab langsung Algemeen Secretarie (Sekretaris Umum). Keputusan ini tetap berlaku sampai pengangkatan J. A. van der Chijs menjadi landsarchivaris. Selama rentang waktu tersebut, terjadi beberapa kali pemindahan lokasi penyimpanan arsip.

Pada 1837 Algemene Secretarie mendirikan sebuah Biro Statistik (Statistisch Bureau), yang pada tahun 1858 diubah namanya menjadi Biro Sejarah (Historisch Bureau). Biro ini antara lain mengemban tugas mengumpulkan berbagai dokumen kearsipan yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian tentang Hindia Belanda. Akhirnya, pada 1860, Jacob Anne van der Chijs, mantan Inspektur Pendidikan Pribumi di Hindia Belanda, bersama dengan H.D. Levyssohn Norman diberi tugas meneliti sejumlah besar berkas yang tersimpan di loteng beberapa gudang. Sesudah beberapa waktu, mereka menyatakan tidak sanggup melaksanakan tugas itu, dikarenakan panas yang yang tertahankan.  Pada tahun 1862 dan 1863, lima belas peti yang berisikan arsip dikirim ke Belanda (kini dikenal sebagai koleksi "Hoge Regering"’, "Boekhouder-Generaal", dan "Schepenbank" dalam Arsip Nasional di Den Haag). Lagi pula, ada rencana untuk mengangkut semua arsip lama ke negeri Belanda. Rencana ini mendapat perlawanan dari pihak Bataviaasch Genootschap. Akhir Maret 1872, Gubernur Jenderal mengangkat sebuah komisi di bawah N.P. van den Bergh, dengan tugas mengadakan penelitian terhadap nilai sejarah arsip-arsip gubernemen yang tersimpan di beberapa gudang. Segala arsip yang, setelah dilakukan penyusutan sementara, ternyata layak disimpan, dipindahkan ke salah satu gedung milik Bataviaasch Genootschap di Koningsplein (Medan Merdeka). Pada tanggal 31 Desember 1872 komisi ini menyerahkan daftar inventarisnya. 

Dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda tertanggal 29 Mei 1880, J.A. van der Chijs kembali diberi tugas untuk, bersama dengan D. Koorders, N.P. van den Berg, dan L.W.G. de Roo, membuat katalogus dan klasifikasi arsip-arsip lama dari kurun waktu 1602-1816. Daftar inventarisnya, yang  terbit pada tahun 1882, merupakan hasil jerih payah Van der Chijs sendiri. Dalam pendahuluan inventaris itu, ia menggambarkan keadaan arsip "kacau-balau" yang telah ditemukannya. Semua bundel dan jilid, yang berjumlah 18.287, telah diberi nomor sementara, kemudian ditata, dan akhirnya diberi nomor tetap.

Inventaris tersebut tidak mengandung penomoran apa pun dan bersifat hibrida, sebab merupakan repertorium. Pada masa Van der Chijs belum berlaku prinsip-prinsip dasar ilmu kearsipan, yakni asal-muasal dan tujuan dokumen-dokumen yang bersangkutan. Van der Chijs bertolak dari paham lain mengenai asal-muasal dokumen-dokumennya. Dalam Pendahuluannya beliau menulis,

Pada dasarnya dokumen-dokumen ditata menurut tempat asal masing-masing. Umpamanya, surat-surat dari Batavia ke Banten digolongkan pada rubrik “Batavia”. Sebaliknya, surat-surat dari Banten ke Batavia termasuk rubrik Banten….

Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada zamannya, Van der Chijs memperhatikan topik-topik, bukannya badan-badan pembentuk arsip, yang dalam ilmu kearsipan modern menentukan struktur sebuah daftar inventaris.

Kendati beberapa titik tolak yang dipakai Van der Chijs kini sudah tidak diterima lagi, haruslah diakui bahwa jerih payahnya turut menjamin kelestarian arsip yang ada pada zamannya hingga masa kini. Misalnya, ia menyuruh mengumpulkan dan menjilid kertas-kertas terlepas dalam sampul pelindung. Dalam pada itu, ia pun menyadari pekerjaannya jauh dari selesai. Tulisnya, 

Karenanya, hendaklah orang memandang daftar inventaris ini sebagai inventaris sementara... 

Pada tanggal 28 Januari 1892 lewat keputusan Gubernemen Van der Chijs diangkat menjadi Landsarchivaris (Arsiparis Negara) pertama Hindia Belanda.

Beberapa sumber lain yang termasuk arsip Hoge Regering sudah diterbitkan pula. Pertama, Daghregisters van Batavia (1891-1931) oleh J. A. van Der Chijs, H. T. Colenbrander, dan beberapa sejarawan belanda lainnya. Catatan ini berupa daftar kejadian yang berlangsung di bidang perdagangan, politik, dan militer serta di kota Batavia sendiri. Selanjutnya terbitan Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, yang mengandung informasi penting mengenai cara penegakan peradilan di daerah jajahan dan mengenai sistem kemasyarakatan kolonial. Adapun kebijakan terhadap raja-raja di kawasan Asia dan terhadap kepala-kepala rakyat direkam dalam Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum (1907-1955), koleksi kontrak-kontrak VOC dengan raja-raja pribumi, yang amat penting oleh Prof. Mr. J. E. Heeres dan Dr. F. W. Stapel.

HARTA KARUN JAMBI

Menurut pengamatan penulis secara langsung, arsip Hoge Regering (Pemerintahan Agung) terbuat dari kertas yang dalam kondisi memprihatinkan, menguning, berlubang, dan rusak akibat serangan serta tingginya tingkat keasaman. Tinta hitam yang digunakan telah memudar menjadi coklat tua. Beberapa naskah masih dapat dibaca, tetapi sebagian lainnya hampir tidak terbaca secara selayang pandang karena tinta yang memudar. Catatan ini ditulis dalam bahasa Belanda. Penyusunannya mengikuti prinsip yang digunakan van Der Chijs. Saat ini, arsip-arsip tersebut telah didigitalisasi dan dapat diakses secara umum melalui situs sejarah-nusantara.go.id. Didapati ada 324 arsip. Dari jumlah tersebut, 93 surat rubrik Batavia, sementara, 231 surat rubrik Jambi. Adapun arsip terawal yang mencatat Jambi bertanggal pada 24 Juli, 1620. Adapun untuk dokumen fisik tersimpan dalam Depo Arsip ANRI di Jakarta. 

Penulis bersama rekan melakukan tinjauan pada arsip Hoge Regering di Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Pribadi.
Penulis bersama rekan melakukan tinjauan pada arsip Hoge Regering di Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Pribadi.

Keberadaan dokumen-dokumen tersebut adalah Harta Karun yang tak ternilai bagi kajian Sejarah Nusantara umumnya dan Jambi Khususnya. Dokumen-dokumen tersebut adalah sumber data primer dalam mengkaji Sejarah Jambi. Mengingat minimnya kajian Sejarah Jambi  pada Zaman Modern Awal. Sejarah Jambi pada masa akhir Kesultanan Jambi dan pada awal berdirinya Kerajaan Jambi masih lebih favorit dikaji oleh sebagian peneliti. Daftar inventaris arsip yang terdapat pada Sejarah-Nusantara ANRI menunjukkan arsip Hoge Regering yang mendokumentasikan dokumen-dokumen mengenai hubungan Jambi dan Kolonial Belanda dalam rentang waktu 1636-1811. Rentang waktu tersebut masih minim dikaji oleh peneliti dan akademisi. 

Dalam perjalanannya, Sejarah Jambi tidaklah mulus bahkan banyak lika-likunya. Kita lihat dari awal Zaman Modern, Kesultanan Jambi dihadapkan dengan Krisis Tungkal sejak 1630-an yang memuncak pada Perang Jambi-Johor (1661-1681), diikuti dengan Masalah Tembesi dan Pembelotan Petualang Bugis Daeng Mangika; Insiden Kumpeh (1690) yang berujung Perang Saudara Jambi (1690-1709), Perang Rawas yang berujung pada Perjanjian Rawas yang mengorbankan kemerdekaan penuh Jambi; dan Perang Jambi (1858-1904) sebagai upaya akhir Jambi dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Dari deretan peristiwa-peristiwa besar tersebut, Jambi tetap berdaulat sebagai negara merdeka hingga tahun 1904. Hemat Penulis, ini adalah sebuah pencapaian besar. Padahal, jika kita tinjau lebih lanjut, merupakan fakta yang mengagumkan Jambi, sebuah kesultanan kecil di Sumatera dapat bertahan dari bahkan berupaya melawan kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.  

REFERENSI

Andaya B. W. 1989. The Cloth Trade in Jambi and Palembang Society during the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Indonesia 048: 27-46. Cornell University Southeast Asia Program.

Balk G. L., van Dijk F., Kortlang D. J. 2007. The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). Brill, Leiden.

Lindayanti., Noor J. T., Hariadi U. 2013. Jambi Dalam Sejarah 1500-1942. Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi, Jambi.

Locher-Scholten E. 2003. Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism 1830-1907. Southeast Asia Program Publications, Ithaca, New York.

Meng, H. U. 2006. Napak tilas Provinsi Jambi. Pemerintah Provinsi Jambi dalam memperingati Tahun Emas Jambi 1957-2007, Jambi.

Ooi K. G. 2004. Southeast Asia: A Historical Encyclopedia from Angkor Wat to East Timor. ABC-CLIO, Santa Barbara.

Ricklefs M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.

Swastiwi A. W. 2010. Jambi dalam Lintasan Sejarah Melayu (Abad I-XVII). Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, Tanjungpinang.

Tideman J., Sigar P. F. L. 1938. Djambi. Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap en het Zuid Sumatra Instituut, Amsterdam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun