Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Resesi Global di Depan Mata, UNCTAD Saran agar Pemerintah Ambil Kebijakan yang Lebih Pragmatis

5 Oktober 2022   20:46 Diperbarui: 10 Oktober 2022   05:25 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrasi (Shutterstock/Gguy via KOMPAS)

Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan turun menjadi 2,5% pada tahun 2022, dan 2,2% pada tahun 2023. Perlambatan tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan global sekitar 17 triliun dolar.

Pada 14 Juli Steven Blitz dari ts Lombard, sebuah perusahaan riset investasi, memprediksi akan terjadi resesi tahun ini di Amerika Serikat, sehari setelah Bank of America memprediksi hal yang sama.

Bank Goldman Sachs, memperkirakan PDB di zona euro turun di kuartal ketiga dan keempat tahun ini. Pencarian Google Amerika untuk kata kunci "resesi" tidak pernah setinggi sekarang. Para trader menjual tembaga (indikator sektor industri sedang tidak baik-baik saja), membeli dolar (pertanda kalau mereka cemas) dan memperkirakan pemotongan suku bunga pada tahun 2023.

Kini, semua pemimpin di seluruh dunia menghadapi masa depan menantang yang sama - RESESI GLOBAL yang sudah di depan mata. Bulan lalu Bank Dunia memberikan warning kepada bank-bank sentral jika menaikan suku bunga terlalu tinggi dapat menyebabkan resesi global tahun 2023.

Sekarang topiknya berubah. Bukan lagi tentang apakah akan ada resesi, melainkan tentang seberapa parah resesi tahun depan menghantam ekonomi global.

Perusahaan konsultan keuangan KPMG mensurvei 400 Pemimpin Bisnis di  Amerika Serikat. 91% peserta survei memprediksi resesi. Hanya 34% memperkirakan jika resesi yang terjadi nantinya akan ringan dan pendek. Sisanya hampir 66% memprediksi jika resesi akan sangat lama dan menyakitkan.

Para pemimpin bisnis tersebut melacak pasar kerja. Jadi mereka tahu tentang hutang dan investasi. Saat ini mereka memprediksi resesi yang terjadi nantinya akan sangat menyakitkan.

Pemimpin-pemimpin perusahaan terkemuka mulai bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk dari resesi. Langkah kebanyakan perusahaan adalah dengan memecat karyawan, apalagi perusahaan tingkat menengah. Survei baru-baru ini menemukan bahwa 25% dari perusahaan tingkat menengah memecat karyawan.  

Bahkan beberapa telah melakukan PHK. Sisanya lagi merencanakannya untuk melakukan PHK dalam rentang waktu 12 bulan mendatang. Hal ini merupakan indikator bahwa lampu merah resesi sedang berkedip-kedip. Bagaimana tidak, selama resesi tahun 2008 tingkat pengangguran Amerika naik dua kali lipat dari 5% menjadi 10%. Hal yang sama terjadi selama masa lockdown tahun 2020, tingkat pengangguran AS mencapai 14,7%. Yang jadi sekarang adalah apakah tahun 2023 akan sama?

Goldman Sachs percaya bahwa pengangguran AS akan meningkat dari 3,6 menjadi 4 persen, jadi bukan peningkatan besar-besaran tetapi masih substansial. Bahkan badan PBB UNCTAD sudah mulai membunyikan alarm.

Pada hari Senin (3/9/2022), Konferensi PBB tentang perdagangan dan pembangunan merilis laporan baru mengenai ekonomi global. Laporan itu berjudul "Development Prospect in a Fracture World" (Prospek Pembangunan di Dunia yang Retak". Isi laporannya cukup panjang jadi saya simpulkan saja hal-hal penting yang menjadi sorotan judul ini.

Pertama, dunia menuju resesi dan stagnasi berkepanjangan. Dua, krisis yang membayangi bisa lebih parah daripada  resesi 2008. Tiga krisis ini adalah hasil dari kebijakan yang buruk dan political will yang salah tempat. Empat, beban resesi akan sangat terasa di negara-negara berkembang terutama di Amerika Latin dan Afrika.

Laporan itu juga memberikan beberapa data. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan turun menjadi 2,5% pada tahun 2022, dan 2,2% pada tahun 2023. Perlambatan tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan global sekitar 17 triliun dolar.

Berikutnya adalah krisis utang. Enam puluh persen dari semua negara berpenghasilan rendah dalam kesulitan utang. Ditambah 30% dari negara-negara Pasar Berkembang (Emerging Market Countries) tidak punya uang untuk membayar utang. Negara-negara Pasar Berkembang antara lain Brazil, Russia, India, Indonesia, Iran, Korea Selatan, Meksiko, Saudi Arabia, Taiwan and Turkey. Jadi jika keadaan tambah buruk, akan muncul lebih banyak negara seperti Sri Lanka.

Berita buruknya lagi, mata uang 90 negara berkembang telah melemah terhadap dolar, yang berarti Impor mereka lebih mahal. Negara-negara ini akan menghabiskan lebih banyak dolar untuk membeli makanan, bahan bakar dan komoditas lainnya.

Karena PBB menyebut bahwa krisis ini diakibatkan oleh kebijakan dan political will yang salah dari pemerintah, apakah ada cara "yang benar" untuk menghadapi tantangan ekonomi sekarang? atau apakah kita masih bisa menghindari resesi ini?

Sekjen UNCTAD Rebeca Grynspan percaya jika masih mungkin untuk menghindari resesi. Saya menangkap tiga hal yang disarankan Grynspan. Pertama mari kita lihat apa yang dikatakan beliau, "hanya berfokus pada pendekatan kebijakan moneter tanpa menangani masalah sisi penawaran dalam krisis perdagangan, energi, dan pasar makanan hingga biaya hidup mungkin memang memperburuk masalah."

Jadi, Sekjen PBB menyarankan kebijakan yang lebih pragmatis seperti pajak tak terduga (windfall taxes). Perusahaan multinasional biasanya menggunakan krisis ini untuk meningkatkan keuntungan mereka sendiri. Karena harga komoditas yang melambung tinggi pada situasi seperti ini. Contoh terbaiknya adalah Perusahaan minyak. Jadi PBB ingin pemerintah mengenakan pajak atas keuntungan ekstra ini sehingga negara bisa menghasilkan devisa ekstra yang sangat dibutuhkan dalam situasi ini.

Saran kedua dari Grynspan adalah meredam spekulasi. Harga makanan dan bahan bakar yang bergejolak tahun lalu telah menyebabkan hiruk-pikuk spekulasi dalam kontrak berjangka dan pertukaran komoditas (commodity swap).

Biasa orang memasuki pasar untuk membeli komoditas untuk  langsung dikonsumsi diritel. Tapi di masa-masa ini biasa muncul mafia yang mencari keuntungan dalam kesempitan. Mereka menimbun komoditas berdasarkan spekulasi yang beredar lalu menjual kembali komoditas tersebut setelah harganya naik. Akibatnya kekuatan permintaan dan penawaran melemah yang mengakibatkan pasar menjadi semakin tidak stabil. Jadi PBB ingin pemerintah menjinakkan hal tersebut.

Saran ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan. Saya tahu ini mungkin terdengar aneh karena biasanya jika pemerintah terlalu cepat menurunkan inflasi angka pengangguran akan meningkat. Artinya jika pemerintah gegabah terlalu cepat meningkatkan lapangan pekerjaan, inflasi jadi tak terkendali. Tetapi dalam hal ini, PBB meminta pengeluaran cerdas seperti energi hijau atau infrastruktur tahan iklim. Langkah ini tidak hanya akan berkontribusi pada aspek green economy tetapi juga akan menciptakan pekerjaan yang sangat dibutuhkan.

Intinya, masih ada waktu. Mungkin bukan untuk menghindari resesi sepenuhnya, tetapi setidaknya untuk mengurangi dampaknya. Anggaplah memasang bantalan pada tangan resesi, jadi pukulannya tidak terlalu menyakitkan nantinya.

Untuk itu dunia butuh pilihan pragmatis dan politik seperti mencari solusi untuk perang di Ukraina, atau mengurangi gesekan perdagangan di antara negara-negara besar ekonomi seperti AS dan China. Saya sadar, ini mungkin bukan langkah yang populer secara politis tetapi karena tenggat waktu yang semakin menipis, pilihan kita juga semakin sedikit.

Sumber: UNCTAD's Trade and Development Report 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun