Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bahaya Pemanis Buatan, Bebas Kalori Tidak Berarti Bebas Diabetes

28 September 2022   20:35 Diperbarui: 29 September 2022   14:34 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berada di kafe, pesanan kopi baru saja diantar sepaket dengan gulanya. Ada gula putih dan coklat. Ada juga yang kemasannya (biasanya) warna kuning pake gambar jagung. Ada juga pemanis buatan lainnya. Yang peduli kesehatan pasti lebih memilih pemanis buatan yang katanya rendah kalori.

Jadi banyak yang mengklaim kalau pemanis buatan membantu menjaga berat tubuh dan mencegah diabetes. Tapi sebuah penelitian baru-baru ini mengatakan kalau kedua klaim ini salah. Dalam penggunaan jangka panjang, sebagian besar pemanis buatan meningkatkan risiko diabetes dan bikin berat badan cepat naik. Saya seperti menelan pil pahit karena bertahun-tahun lebih pilih pemanis buatan "biar sehat".

Biar tidak salah paham, mari kita bahas dasar-dasarnya terlebih dahulu.

Apa itu pemanis buatan?

Pemanis buatan atau artificial sweetener adalah pengganti gula sintetis. Fungsinya menggantikan gula sebagai pemanis. Rasanya berkali-kali lipat lebih manis daripada gula. Jadi pake sedikit saja kita sudah bisa mendapatkan rasa manis yang diinginkan.

Kebanyakan pecinta diet menganggap pemanis buatan sebagai salah satu sweet innovation. Karena tidak menambah jumlah kalori tubuh alias punya nol kalori. Ukuran pasar pemanis buatan dunia lebih dari tujuh miliar dolar. Pada tahun 2027, jumlahnya diperkirakan akan menyentuh 9,7 miliar dolar. Pasar pemanis buatan sedang booming seiring tren gaya hidup sehat yang meningkat gegara pandemi.

Sebuah studi tahun 2017 menemukan bahwa hampir 42% orang dewasa Amerika mengkonsumsi pemanis buatan, anak-anak 25%. Mengingat penelitian ini dilakukan pada tahun 2017 jadi bisa kita boleh berasumsi kalau jumlahnya meningkat sekarang.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya kira pemanis buatan masih dianggap mewah. Alasannya karena sebuah studi dari Mordo Intelligence. Studi tersebut mengatakan bahwa hanya 2% dari kelompok berpenghasilan menengah ke bawah di Indonesia yang mengkonsumsi pemanis buatan. 70% dari kelompok berpenghasilan tinggi. Meski begitu, saya kira di negara kita pemanis buatan saset-an ditemukan di hampir semua kafe dan restoran kelas atas. Atau mungkin ada juga yang pernah melihat teman yang bawa pemanis buatan dalam kemasan kotak.

Selama bertahun-tahun pemanis telah disahkan sebagai pengganti gula yang bebas kalori. Tapi sebenarnya yangt bebas kalori belum tentu bebas diabetes dan ramah kesehatan. Pada dasarnya pemanis buatan diproduksi menggunakan bahan kimia kimia seperti sakarin (300 kali lebih manis dari gula pasir) dan suklarosa (320 -- 1.000 kali lebih manis dari gula pasir).

Peneliti mempelajari efek kedua bahan kimia ini pada 120 orang dewasa sehat. Mereka menemukan bahwa sakarin dan suklarosa mempengaruhi toleransi glukosa seseorang. Toleransi glukosa merupakan kemampuan tubuh untuk membersihkan glukosa dari aliran darah dengan cara mengubahnya menjadi otot dan lemak. Jadi kedua bahan kimia ini menyebabkan intoleransi glukosa. Intoleransi glukosa itu ketika tubuh kita tidak mampu lagi melakukan membersihkan glukosa dari aliran darah.

Saat gagal membersihkan glukosa aliran darah, maka terjadilah peningkatan kadar glukosa dalam darah kita. Kadar gula darah jadi tinggi. Ujung-ujungnya Intoleransi glukosa mengakibatkan diabetes dan kelebihan berat badan. Jadi, alih-alih sebagai solusi diabetes dan berat badan, pemanis buatan justru menjadi biang keroknya.

Tapi kok BPOM (dan badan pengawas makanan lainnya) kasih izin edar pemanis buatan dengan klaim menyesatkan seperti itu? Apa BPOM ketinggalan info?

Katakanlah badan pengawas makananan tidak mungkin meloloskan klaim menyesatkan, dan studi-studi yang saya sebut di atas harus dipertanyakan lagi. Atau bisa saja studi-studi tersebut masih terlalu baru dan perlu dilakukan penelitian lanjutan.

Tapi harus saya ingatkan lagi kalau penelitian serupa sudah pernah dilakukan sedari delapan tahun yang lalu. Pada 2014, peneliti memaparkan tikus pada pemanis buatan. Mereka menemukan intoleransi glukosa dan obesitas pada tikus tersebut.

Penelitian lain pada tahun 2014 menemukan  bahwa pemanis buatan sering "nge-prank" otak kita. Otak kita jadinya mendambakan lebih banyak junk food. Seperti yang kita semua tahu, semakin banyak mengonsumsi junk food, berat badan jadi cepat naik dan semakin tinggi risiko diabetes.

Jadi haruskah kita berhenti mengonsumsi pemanis buatan? saran saya, tanyakan lagi ke dokter. Tapi kalau berhenti sekarang bisa mengobati kerusakan yang telah terjadi pada tubuh. Karena pada penelitian tahun 2021 kemarin mmenemukan bahwa menghentikan penggunaan pemanis buatan bisa mengembalikan kesehatan usus seperti sedia kala.

Tapi kalau mau yang tidak benar-benar bermasalah yah kurangi yang manis-manis. Bukan pemanis alami atau buatan, tapi justru kecanduan kita sama yang manis-manis yang jadi akar masalah. Saran dari WHO, konsumsi enam sendok teh saja dalam sehari biar tidak jadi masalah kesehatan.

Sumber: 1, 2, 3, 4, 5.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun